BAB 09 - Kita Sekamar?

1401 Kata
Tanpa berpikir negatif, Iqlima menurut begitu saja. Kebetulan dia juga akan merasa lebih aman dengan mengunci pintu, toh dengan cara ini privasinya akan lebih terjaga. Ruang untuknya terasa lebih leluasa, dan Iqlima bisa tidur dengan tenang tanpa mengenakan kerudungnya. Tak hanya itu, khusus malam ini dia berpikir untuk mengenakan baju tidur pendek yang tersedia di lemari. Kamar kecil tanpa AC seperti ini agak menyebalkan, Iqlima seperti akan meledak rasanya. Sungguh Afkar benar-benar tega, seolah sengaja ingin membuat Iqlima tersiksa. "Kalau memang keberatan menampungku kenapa mau ... tahu begini, lebih baik aku tidak menikah seumur hidup." Tak terhitung sudah berapa kali kata-kata itu terlontar dari bibir Iqlima. Meski terlihat diam dan tidak banyak bicara, Iqlima sangat amat terluka. Lebih menyedihkan lagi, luka itu Iqlima tanggung sendiri karena dia tidak ingin membuat hati kedua orang tua, terutamanya Umi Zalina hancur berkeping-keping. Mengingat selepas akad wanita itu sudah terlihat paling menyedihkan, dia juga menggantungkan harapan pada Afkar dan Iqlima adalah saksi nyata selembut apa Afkar bersikap sewaktu menyampaikan janjinya. Tidak punya pilihan lain, Iqlima hanya bisa bertahan atas segala sesuatu yang sudah telanjur terjadi. Selagi masih mampu dia terima dan tidak membahayakan nyawa, wanita itu masih bisa menerima. Selesai mengganti pakaian, Iqlima merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur kecil itu. Mencoba memejamkan mata di kamar yang tak ubahnya bak neraka. Bukan semata-mata karena ukuran dan fasilitas yang begitu kontras dari keadaan rumah itu, tapi sikap pemiliknya. Sebelum tidur, Iqlima sempat melangitkan doa pada Sang Khalik. Bukan hanya doa agar dirinya bisa tidur nyenyak, tapi teguran pada pria gila yang telah membuatnya begitu tertekan. "Jika dia memang berusaha menciptakan neraka, Hamba mohon buat dia merasakan hal sama ... cepat atau lambat terserah ya Allah, Aamiin." Pertama kali dalam hidup, Iqlima melangitkan doa untuk keburukan seseorang karena memang kesal luar biasa. Tak peduli kapan karma itu datang kepada Afkar, Iqlima berserah diri tapi yang pasti, dia sangat amat berharap Tuhan mendengar doanya malam ini. . . "Ck, sial!!" Segelas teh hijau yang tadi dia nikmati tak juga membuat Afkar tenang. Dia yang nekat memantau kegiatan Iqlima lewat kamera pengintai itu nyatanya kembali menghadirkan petaka. Dalam keadaan seperti ini, sudah tentu Afkar akan kembali menyalahkan seseorang yang bertanggung jawab penuh dalam menyiapkan kamar Iqlima. Tanpa berpikir untuk menunda waktu, Afkar segera menghubungi Justin demi melayangkan protesnya. "Ada apa, Afkar?" "Siapa yang punya ide membelikannya baju tidur sependek itu, Justin?" Afkar bertanya sembari menahan emosi. Sedari tadi gigi pria itu bergemelutuk saking kesalnya. Andai saja ada seseorang yang berdiri di hadapannya, bisa dipastikan sudah Afkar jadikan pelampiasan amarah. Justin yang mendengar protesnya tak segera menanggapi, kemungkinan dia sedang berpikir sebelum menjawab pertanyaan Afkar. "Justin? Kau dengar aku?" "Dengar, aku dengar." "Kalau dengar jawab!!" "Ck, kau ini ... apa tidak ada hal yang lebih penting lagi?" "Jangan mengalihkan pembicaraan, jika sudah keluar dari mulutku berarti itu penting!!" Suaranya mulai meninggi, Afkar sama sekali tidak memberikan toleransi atas sikap Justin sekalipun mereka cukup dekat. "Aku tidak tahu ide siapa, yang pasti aku hanya mengatakan pada Adera untuk menyiapkan beberapa perlengkapan khusus pengantin baru ... tentang pakaian itu mana kutahu, bisa jadi Adera dan tim-" "Ah diam!! Sudah kukatakan kau saja yang atur, kenapa justru dilimpahkan pada orang lain?" "Astaga laki-laki ini, kau dengar ...." Helaan napas panjang Justin terdengar di sana, agaknya pria itu juga mulai malas menghadapi Afkar. "Tanggung jawabku sudah sangat besar, menurutmu apa mungkin waktuku cukup untuk memikirkan hal-hal semacam itu?" "Lagi pula apa mungkin aku tahu? Justru aku menyerahkan ini semua kepada orang-orang yang telah memiliki pengalaman di bidangnya, Afkar." Tak ada jawaban, Afkar memilih diam dan mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Justin. Sebenarnya jika dipikir-pikir memang benar, ucapan Justin tidak salah. Namun, berhubung Afkar tengah uring-uringan, semua menjadi serba salah bahkan napas Justin yang terdengar di telinganya saja sudah salah. "Apapun itu tetap salah!! Seharusnya kau pastikan lebih dulu pantas atau tidaknya!!" "Perkara baju tidur apa salahnya? Yang patut dipertanyakan itu matamu!!" "What? Kau menyalahkanku?" "Sebenarnya tidak cuma ...." Ucapan Justin terhenti sesaat, seolah berusaha memilih kata-kata yang masih terkesan sopan untuk disampaikan kepada seorang bos seperti Afkar. "Cuma apa?" "Cuma ... ya aneh saja." "Apa yang aneh?" "Otakmu!!" Tidak hanya Justin sendiri, tapi Afkar dengan jelas mendengar bahwa Hiro juga ikut campur dan turut memojokkan dirinya. "Otakku? Memang apa yang salah? Hah?" "Masih saja bertanya apa yang salah? Ya semuanya, Afkar!!" "Spesifiknya?" tanya Afkar masih tidak menemukan "Huft benar-benar, sekarang aku tanya ... orang gila mana yang punya ide mengintip seorang wanita lewat CCTV selain kau? Hah?" . . Konon katanya, doa orang terdzolimi akan lebih cepat diijabah. Dan, selama dua minggu menjadi istri Afkar, Iqlima tak henti-hentinya melangitkan doa yang sama. Sikap dingin dan perlakuan Afkar yang menganggapnya seperti penumpang di rumah itu benar-benar membuat Iqlima terluka, lahir dan batinnya. Entah kapan Tuhan berbaik hati padanya tidak tahu juga. Namun, satu hal yang Iqlima belum ketahui, bahwa Tuhan telah mendengar doanya sejak lama. Ya, secepat itu doa Iqlima menembus langit, karma tersebut telah Afkar terima sejak malam pertama dia tinggal di kamar super sempit itu. Afkar berusaha menciptakan neraka untuk Iqlima lewat kamar yang dia rencanakan sejak lama, tapi justru berakhir ikut tersiksa. Niat hati membuat Iqlima tidak bisa tidur nyenyak, nyatanya dia sendiri yang merasakan hal itu. Sejak dua minggu terakhir jam tidur Afkar benar-benar berantakan, bahkan harus menggunakan kacamata hitam demi menyembunyikan kantung mata yang berpotensi mengurangi kadar ketampanannya. Tidak ada yang tahu alasan di balik kacamata hitam Afkar, bahkan Justin pun begitu. Sikap Afkar yang memilih tertutup sejak dijadikan bahan candaan kedua sahabatnya adalah alasan kenapa dia memilih bungkam. Andai saja jujur bahwa selama dua minggu terakhir dia dibuat uring-uringan karena Iqlima kian meresahkan, bisa dipastikan dia akan menjadi topik pembicaraan hingga kiamat menjelang. "Aku tidak bisa terus begini." Afkar mengusap kasar wajahnya. Keresahannya dalam menyimpan masalah ini sendirian semakin tak terkendali. Puncaknya hari ini, saat dimana Afkar mulai merasa kualitas hidupnya menurut sebagai pemimpin perusahaan. Tak ingin efeknya lebih buruk lagi, Afkar bangkit dan merasa harus mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah ini. "Sepertinya benar, aku salah strategi." Dalam keadaan begini, Afkar baru menyadari bahwa dirinya salah strategi. Ucapan Hiro terbukti, menyiksa Iqlima dengan cara itu tidak efisien sama sekali. Memantau Iqlima dari CCTV hanya membuang-buang waktu dan menimbulkan efek samping lainnya. Terlebih lagi, selama dua Minggu ini Iqlima terlihat biasa saja. Tak peduli bagaimanapun sikapnya, Afkar tidak melihat air mata Iqlima. Atau, dengan kata lain balas dendamnya gagal total. Karena itu, Afkar mulai berpikir untuk mengatur strategi lain demi melanjutkan misi balas dendam tanpa membuatnya Ikut tersiksa. Cukup lama Afkar berpikir keras, mencoba mempertimbangkan risiko dan tingkat keberhasilan dari opsi kedua yang baru dia pikirkan ini. "Iya, aku rasa cara ini akan lebih bekerja." Afkar berusaha meyakinkan diri sebelum kemudian angkat kaki dan menemui Iqlima di kamarnya. Kali kedua setelah mengajak Iqlima makan malam dua minggu lalu, Afkar mengubur ego dan memberanikan diri untuk bicara empat mata bersama Iqlima siang ini. Sengaja dia pulang lebih cepat, karena masalah ini mulai serius dan berimbas negatif untuk dirinya sendiri. Sama seperti yang sudah-sudah, Afkar akan mengetuk pintu kamar Iqlima tanpa memanggil namanya. Tanpa perlu mengulang berkali-kali, siang ini Iqlima langsung membuka pintu dan seperti memang sudah tahu siapa yang mengetuk pintu tersebut. Terbukti dengan penampilan Iqlima yang tertutup, sama seperti penampilannya di luaran sana. "Kenapa, Mas?" tanya Iqlima lembut, wajahnya tampak berseri meski tanpa dipoles sedikit saja. Tak segera bicara, Afkar menatap jauh ke dalam kamar Iqlima. Lirikan tak terbaca yang juga cukup membingungkan, Iqlima benar-benar tidak mengerti apa yang Afkar pikirkan saat ini. "Kemasi barang-barangmu," ucap Afkar seketika membuat jantung Iqlima berdegup dua kali lebih cepat. Sama seperti yang sudah-sudah, pria irit bicara itu sekalinya bicara berhasil membuat panik para pendengarnya. "Mas ngusir aku?" "Bukan begitu." "Lalu?" "Aku lupa kamar ini belum ada AC dan beberapa fasilitas lainnya, jadi ...." Ucapan Afkar tertahan di udara, seolah tengah berpikir kata-kata yang akan dia utarakan selanjutnya. "Akan lebih baik kamu pindah kamar saja dulu." Pernyataan itu agak membuat Iqlima kecewa, jujur saja dia berharap diusir agar pulang ke Bandung sekalian. Sialnya, hanya diminta pindah kamar dengan alasan kamar ini belum ada AC-nya. "Oh, pindah ke mana?" "Kamarku," jawab Afkar sembari menyentuh ujung hidung hingga Iqlima kurang bisa mendengar ucapan pria itu. "Hah? Kamar tamu?" "Kamarku, Iqlima." Afkar menjelaskan dengan penuh penekanan disertai memanggil namanya di akhir kalimat. Iqlima yang sedikit terkejut mendengar itu tentu saja bingung. "Sebentar, kalau pindahnya ke kamarmu berarti kita sekamar gitu?" . . - To Be Continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN