Maksud hati pergi untuk menenangkan diri, Afkar justru pulang dalam keadaan emosi. Ucapan kedua sahabatnya malam ini seketika masuk ke dalam hati, sungguh kekanak-kanakan sekali.
Entah karena tengah banyak masalah atau apa, tapi yang pasti Afkar kesal setengah mati. Tanpa peduli dengan kekhawatirannya kedua temannya, Afkar memilih pulang sendiri.
Dalam keadaan setengah mabuk, Afkar sebenarnya nyaris kehilangan kendali dan hampir menghilangkan nyawa salah-satu pejalan kaki. Beruntung saja malaikat maut belum dikirim untuk mencabut nyawa pria yang tadi Afkar temui, jika tidak bisa jadi malam ini Afkar berurusan dengan polisi.
Begitu tiba di kediamannya, pria bertubuh gagah itu melangkah panjang. Bermaksud buru-buru masuk ke kamar dan memejamkan mata karena memang begitu cara Afkar menikmati dunia jika tidak sedang bersama kedua sahabatnya.
Sesekali Afkar memegangi kepala yang terasa agak pening, tenaganya untuk melakukan banyak hal sudah tidak ada. Ucapannya pada Justin maupun Hiro beberapa waktu lalu hanya sekadar candaan.
Malam ini, Afkar tidak benar-benar berniat mewujudkan dendam. Hanya mulutnya saja kerap kali menciptakan ketegangan, untuk beberapa alasan Afkar suka saja melakukan hal semacam itu.
"Den ...."
Panggilan itu membuat Afkar mengerjap pelan, langkahnya menuju ke kamar terhenti seketika tatkala sadar akan panggilan tersebut.
Dengan penuh keraguan, wanita paruh baya itu mendekat perlahan. Seperti ada yang ingin disampaikan, dan tamkanya cukup penting tentu saja.
"Ada apa?"
"Nona." Wanita itu menunduk, lidahnya begitu keberatan hanya untuk sekadar mengungkapkan apa yang seharusnya perlu dia utarakan. "Nona belum makan juga, Den."
Suaranya terdengar amat pelan karena memang berhati-hati. Khawatir Afkar akan murka dan berakhir menjadi petaka.
Akan tetapi, di sisi lain Bi Minah juga merasa ini perlu dilakukan dengan harapan Afkar akan sedikit lebih lembut pada wanita yang dia akui sebagai istri itu.
Ya, tak salah dengar, tadi siang Afkar sempat mengatakan bahwa dia akan pulang dengan membawa seorang istri.
Karena itulah Bi Minah masak begitu banyak untuk majikannya. Namun, yang justru aneh Afkar justru terkesan tak peduli tenrang Iqlima walau itu sedikit saja.
Sama halnya seperti malam ini, meski Bi Minah sudah berusaha berbicara baik-baik, tapi Afkar hanya menanggapi dengan helaan napas panjang sebelum kemudian kembali berucap.
"Kan saya sudah bilang," ucapnya singkat dengan mengandung begitu banyak makna tersirat di dalamnya.
Bi Minah mendongak, ucapan Afkar yang sepotong-sepotong itu agak sulit dipahami sama sekali.
"Bilang apa, Den?"
"Biarkan saja, kembali ke kamarmu, Bi."
"Baik, Den." Secepat itu Bi Minah berlalu dari hadapan Afkar, sudah tentu dia khawatir majikan kecil yang kini sudah dewasa itu akan mero-bek mulutnya jika terlalu banyak bicara.
Kepergian Bi Minah tak lepas dari pandangan Afkar. Selepas kepergian wanita itu, mata Afkar beralih menatap lantai dua, tapi hanya sekilas.
Tidak sampai lima detik, kemudian bermaksud untuk melanjutkan tujuannya ke kamar tidur. Mencoba untuk tidak peduli, andai sakit atau semacamnya ya salah sendiri, toh tidak ada yang menghalangi sedari tadi.
Iqlima saja yang mendramatisasi keadaan dengan menolak makan malam, jika harus membujuknya jelas saja enggan.
Begitu pikir Afkar sembari menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, berharap rasa kantuknya akan segera menghampiri dan dia akan menutup malam panjang ini.
Satu menit, dua menit hingga lima menit mencoba Afkar tak kunjung mendapati rasa kantuknya, yang ada justru makin resah.
Pikirannya tak karu-karuan, bersatu padu, tapi agak sedikit condong tentang Iqlima yang tadi Bi Minah katakan belum makan.
"Ck." Afkar beranjak, dia duduk di tepian ranjang sembari menunggu apa yang hendak dia lakukan setelahnya.
Sesekali pria itu mengusap kasar wajahnya, memijat kepala hingga menghasilkan rambut yang kini acak-acakan, persis biji mangga.
"Benar-benar merepotkan, apa susahnya diajak makan," gerutu Afkar seraya menghela napas kasar.
Dia jelas saja kesal, tapi kakinya tergerak untuk menghampiri Iqlima ke kamarnya. Seolah ada tuntutan dari hati kecil Afkar, dengan langkah perlahan pria itu kini berada di depan pintu kamar kecil tersebut.
Sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam hidup Afkar, membujuk perempuan. Sekalipun dia memiliki kekasih, tapi Afkar tidak pernah memperlakukan wanita seperti ratu, melainkan sebaliknya.
Dia yang diperlakukan bak raja, begitu dimengerti oleh kaum Hawa yang terpikat dengan ketampanan dan juga kekayaan dalam dirinya.
Berbagai cara mereka lakukan demi bisa memiliki Afkar seutuhnya, dan hal itu agak membuat Afkar sedikit besar kepala.
Egonya tinggi, mungkin mengalahkan Burj Khalifa dan ya, tentu saja membujuk Iqlima adalah hal yang nyaris mustahil dalam hidupnya.
.
.
Tok tok tok
"Aku tidak lapar, Bi."
Di dalam, Iqlima hanya menanggapi ketukan pintu yang rasanya sudah berkali-kali sampai dia malas menanggapi.
Meski benar adanya dia belum makan sejak tadi siang, tapi sedikit pun Iqlima tidak memiliki keinginan untuk makan.
Tak peduli sekalipun Bibi mengatakan sudah begitu banyak hidangan yang tersaji, Iqlima tetap enggan.
Karena itulah, ketukan kali ini Iqlima enggan beranjak dan hanya menatap pintu itu dengan malas.
Kebetulan memang tidak dikunci, andai nanti Bi Minah lelah memanggil, wanita itu bisa masuk tanpa Iqlima perlu mengeluarkan tenaga.
Tok tok tok
Lagi, ketukan tanpa disertai panggilan itu terdengar dan Iqlima mulai kehabisan batas sabarnya. Segera dia meringkuk dan menutup telinga dengan harapan gangguan kecil itu akan menghilang dengan sendirinya.
Sayangnya, alih-alih berhenti ketukan itu justru semakin menjadi sampai Iqlima muak sendiri. Dia beranjak bangun dan bermaksud membuka pintu kamar tersebut.
"Astaghfirullah seben-"
Ceklek
Belum sempat Iqlima membuka pintunya, seseorang dari luar sudah mendorong pintu itu lebih dulu. Bukan Bi Minah sebagaimana yang Iqlima duga, melainkan Afkar dengan mata tajam di hadapannya.
Iqlima gelagapan, bergegas dia meraih kerudung yang berada di atas nakas karena memang baru saja dia lepas beberapa saat lalu.
Tak ubahnya seperti disaksikan orang asing, Iqlima sepanik itu dan khawatir sehelai rambutnya disaksikan oleh mata pria yang bukan mahramnya.
Padahal, sangat sah bagi Afkar dan memang haknya. Akan tetapi, berhubung situasinya begini, Iqlima sampai lupa bahwa pria berhak atas dirinya.
Hal itu jelas tertangkap di mata Afkar yang sedari tadi menatap, tanpa berkata apa-apa, pria itu hanya menatapnya.
"I-iya, Mas, kenapa?" tanya Iqlima setelahnya.
Suara wanita itu bergetar, dan Afkar bisa menarik kesimpulan bahwa Iqlima ketakutan.
"Makan." Itu perintah, bukan ajakan yang Iqlima paham betul apa maknanya.
"Aku tidak lapar," tolak Iqlima sembari menggelengkan kepala, diajak baik-baik oleh Bi Minah saja dia malas, apalagi dengan cara Afkar yang tak ubahnya seperti memperlakukan tahanan.
Penolakan tersebut jelas saja membuat Afkar murka. Rahangnya mengeras dengan tangan yang mengepal sempurna. "Jangan keras kepala, aku tidak punya waktu untuk membawamu ke rumah sakit esok lusa."
Iqlima mendongak, berusaha memberanikan diri untuk menatap balik pria yang semakin terang-terangan dalam membuatnya tertekan.
Sempat ingin menangis, tapi Iqlima sadar hal itu percuma. Dia mengalah dan menuruti perintah Afkar sebagaimana nasihat uminya.
Beberapa saat lalu mereka sempat bicara via telepon, dan yang Iqlima terima lagi-lagi berisi nasihat tentang pernikahan.
Ingin rasanya Iqlima jujur dan membongkar perubahan sikap Afkar setelah di Jakarta, tapi seperti yang dikatakan Umi Zalina, semua butuh waktu dan mungkin Afkar memerlukan itu.
Dia mengekor di belakang punggung Afkar, berjalan menuju ruang makan sembari menutup hidung karena merasakan aroma yang cukup menyengat menusuk indra penciumannya.
Ingin bertanya dan memastikan, Iqlima bisa menerka pria itu mengonsumsi alkohol, tapi khawatir hatinya justru berakhir sakit lagi.
Karena itulah, Afkar hanya fokus pada tujuan. Tanpa menunggu diperintahkan seperti b***k untuk kedua kalinya, Iqlima mulai menikmati makan malam yang memang sudah tersedia di meja.
Sudah tentu yang menyiapkan adalah Bi Minah, mana mungkin Afkar karena menurut pengakuan wanita paruh baya itu, Afkar pergi pasca makan malam.
Sedikit dipaksakan, Iqlima makan malam agar tidak sakit dan berakhir merepotkan pria itu saja.
Sementara Iqlima menikmati makan malamnya, Afkar menyeduh segelas teh hijau dan duduk berjauhan dari Iqlima.
Tanpa bicara sepatah katapun, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing dan Iqlima merasa kehadiran Afkar di sana hanya untuk memantau.
Entah itu cara makan atau mungkin khawatir menghabiskan banyak nasi, Iqlima tidak mengerti dan tidak ingin tahu juga.
Hanya saja, dia cukup sadar diri dan berhenti tanpa makan berlebihan. Setelahnya, Iqlima berlalu beranjak untuk membersihkan piring kotor bekasnya.
Begitu pelan Iqlima lakukan, jangan sampai piring dan gelas sultan tak berperasaan itu pecah. Tidak ada larangan dari Afkar, pria itu seolah membiarkan Iqlima melakukan tugas-tugas semacam itu.
Bahkan, Iqlima merapikan meja makan itu hingga tuntas dan sama sekali tidak mengandalkan bibi keesokan harinya.
Hingga selesai, Afkar tak juga beranjak dan masih tetap di posisinya. Iqlima tak ambil pusing, lagi pula saat ini Afkar tampak fokus dengan ponselnya.
"Ehm Mas ...." Iqlima mengatur napas, meski sikap Afkar sebegitu dinginnya, dia masih berusaha untuk bersikap sopan karena bagaimanapun juga, pernikahan mereka sakral dan melibatkan Tuhan di dalamnya.
Tak peduli meski tidak ada tanggapan, Iqlima tetap pada tujuannya. "Aku duluan ya."
"Hm." Hanya itu, sahutannya luar biasa singkat sampai Iqlima sendiri tidak bisa menyimpulkan maksud Hm itu sendiri.
Yang pada akhirnya dia simpulkan sebagai jawaban iya hingga Iqlima bisa melangkah tanpa beban di dalam benaknya.
"Tunggu!!"
Belum genap lima langkah, Afkar tiba-tiba memanggil namanya hingga langkah Iqlima terhenti seketika.
"Iya, Mas?"
Kali ini, Afkar menatap ke arahnya, meski dengan tatapan tak bersahabat dan penuh permusuhan tentu saja. "Kunci pintunya," pungkas pria itu kemudian ikut berlalu.
Meninggalkan Iqlima yang masih terpaku di tempatnya sembari dibuat bingung dengan sikap sang suami. "Dia benar-benar mabuk sepertinya."
.
.
- To Be Continued -