BAB 07 - Mewujudkan Dendam

1590 Kata
Nasihat Justin sama sekali tak Afkar indahkan. Tanpa perlu dijelaskan Afkar tahu, dan seperti yang dia katakan, kematian kedua orang tuanya sudah sangat cukup untuk menjadi bukti sekejam apa Sean - mertuanya di masa lalu. Berdasarkan informasi yang dia dengan dari Antonio - paman sekaligus pengganti kedua orang tuanya, Sean bahkan tidak pantas disebut manusia, melainkan binatang. Cara pria itu menghabisi nyawa kedua orang tuanya digambarkan dengan sangat tidak manusiawi, bahkan Afkar sendiri enggan mendengarnya lagi. "Bahkan saat Emran sudah berlutut pun pria itu masih tutup mata, Afkar ... tanpa belas kasihan, mereka memperkos-sa Kinanti tepat di depan-" Prank Dalam hitungan detik, Afkar melemparkan ponselnya hingga membuat cermin di kamarnya pecah seribu. Kepalanya menggeleng cepat, berusaha menghilangkan perkataan pamannya yang hingga detik ini terus terngiang. Padahal, cerita tentang itu sudah begitu lama Afkar dengar. Akan tetapi, setiap kali mengingatnya, Afkar merasa seketika hancur. Meski kala itu dia masih kecil, belum mengerti apa yang terjadi, tapi hingga detik ini Afkar selalu menyalahkan dirinya sendiri. "Maafkan aku, Ma, Pa," ucap Afkar lirih. Bersamaan dengan air mata yang sebenarnya haram menetes dalam hidupnya, pria itu kembali mengutuk diri karena merasa tidak berguna sebagai anak. Di tengah kesedihannya, ketukan pintu terdengar hingga Afkar sontak mengakhiri kesedihannya. Seperti biasa, di hadapan siapapun dia tidak ingin terlihat hancur, lemah apalagi menyedihkan. Biar dunia tahu dia sekuat baja, meski pada faktanya Afkar tidak lebih dari sekadar raga yang terus hidup sementara dendamnya terwujud. Jika saja dendamnya sudah terbalaskan, maka tujuan Afkar hanya bertemu kedua orang tuanya, itu saja. "Ada apa, Bi?" Afkar bertanya dengan nada datar, tak ketinggalan tatapan sendu yang tertuju untuk wanita paruh baya itu. "Makan malam sudah siap." "Hm iya," jawab Afkar seadanya, sedari dulu dia memang begitu. Bi Minah juga sangat memaklumi, sejak awal dia bekerja memang tidak pernah melihat majikannya bersikap hangat pada siapapun, termasuk dirinya sendiri. "Oh iya, Den, soal Nona sendiri bagaimana?" Pertanyaan itu seketika membuat langkah Afkar terhenti. Matanya beralih menatap ke atas, tanpa arah dan seolah tengah mempertimbangkan keputusan selanjutnya. Setelah diingat-ingat, sejak mereka tiba Iqlima belum makan, kemungkinan memang lapar, sama seperti dia. "Panggil." "Baik, Den." Bergegas Bi Minah menghampiri Iqlima yang berada di lantai dua. Sementara Afkar, memilih tak peduli dan menuju ruang makan segera. Setelah melewati hari yang cukup panjang, dia juga butuh asupan. Tanpa menunggu Iqlima turun, Afkar sudah mengambil nasi untuknya lebih dulu. Bertemankan lauk pauk yang disediakan Bi Minah, pria itu mencoba menikmati masakan rumahan yang sejak beberapa tahun terakhir sangat cocok di lidahnya. Tak heran kenapa Afkar sampai membawa serta wanita itu dari Malang ke Jakarta sewaktu dia pindah rumah. Selang beberapa menit, Bi Minah kembali. Tanpa Iqlima, wanita paruh baya itu sendirian dengan wajah yang terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Namun, sikap Afkar yang terlihat tenang dan masih fokus dengan makan malamnya membuat Bi Minah bingung hendak memulai percakapan. "Ehm, Den ...." "Langsung saja, apa apa, Bi?" Tanpa melihat lawan bicaranya, Afkar melontarkan pertanyaan demi menuntut penjelasan. Semata-mata hanya karena dia merasa terusik dengan keberadaan Bi Minah di sekitarnya, bukan yang lain. Bi Minah tampak gelagapan, sedari dia memang kerap diuji dengan sikap tenang Afkar yang kadang kala justru menghanyutkan. Contohnya seperti malam ini, aura Afkar memang sama sekali tidak dapat diajak kerja sama. Akan tetapi, jika dia diam bingung juga karena keadaannya berbeda. "Nona menolak makan malam, Den." Tak ada tanggapan, pria itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus menikmati makanannya. "Apa tidak sebaiknya saya baw-" "Tidak perlu, biarkan saja." Begitu ucap Afkar, dan dia menjawab tanpa menunggu wanita itu selesai bicara. "Biarkan?" "Iya, biarkan." Kali kedua Afkar menjawab dengan tegas, biarkan saja. Bi Minah yang sempat melihat wajah pucat Iqlima seketika tidak tega, dia bermaksud untuk bernegosiasi sekali lagi. "Tapi, Den, wajah Nona terlihat pucat, pasti beliau lapar sebenarnya." "Bibi." Bersamaan dengan dentingan sendok dan garpu yang seketika dia lepaskan, Afkar memperlihatkan ketidaksukaannya. Perlahan, Afkar mengalihkan pandangan. Mata tajam pria itu kini kembali tertuju pada Bi Minah hingga wanita itu ciut seketika. Dari guratan wajahnya, dapat disimpulkan bahwa Afkar tengah murka. Tanpa menunggu pria itu melontarkan kata-kata mematikan khas dari bibirnya, Bibi berlalu begitu saja. Meninggalkan Afkar yang tengah mengepalkan tangan seraya menarik napas dalam-dalam. Naf-su makannya seketika musnah, Afkar mendorong piring yang tadinya baru berkurang sedikit, nyaris tidak sampai setengahnya. "Si-al, kenapa tiba-tiba dia jadi keras kepala?" . . "Wih, pengantin baru ngapain kemari?" "Tutup mulutmu, Justin!!" Afkar menghempaskan tubuh ke sisi Justin yang tampak terkejut akan kehadirannya malam ini. Setelah sebelumnya sempat melewati drama panjang dan berakhir malas makan, Afkar berusaha mencari ketenangan di tempat biasa. Ya, tidak lain dan tidak bukan sebuah ruangan dengan gemerlap lampu berbagai warna di atasnya. Alunan musik yang cukup memekakkan telinga seolah tak membuatnya terusik. Rangkulan tangan Justin juga demikian, Afkar bahkan tidak berniat menyingkirkannya. Tak berselang lama, Hiro juga menghampiri keduanya. Tatapan kosong Afkar seketika menarik perhatian pria blasteran itu. "Hai, Bro ... aku tidak salah lihat?" tanya Hiro berbasa-basi, senyumnya memperlihatkan ejekan yang kemudian ditanggapi gelak tawa oleh Justin. Sama sekali Afkar tak tertarik, entah di mana letak lucunya, pria itu memilih menenggak segelas minuman yang sudah tertata di depannya. Sudah tentu itu milik Justin, pria itu sama sekali belum memesan apa-apa dan duduk dengan begitu santainya di sini. "Ha-ha-ha dia kenapa? Menyesali keputusannya kah?" tanya Hiro mulai memantik api, dan ditanggapi dengan cepat oleh Justin di sana. "Kupikir juga demikian." Hiro melirik keduanya bergantian, seolah tengah menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. "Ehm, agaknya ada yang dia pikirkan." "Tentu saja, dia baru saja menikah ... jelas-" "Apa yang kau katakan padanya, Justin?" selidik Hiro memastikan, karena biasanya Justin kerap kali menyampaikan sesuatu yang membuat suasana hati Afkar berantakan. "Hem?" "Ah? Ti-tidak, aku tidak mengatakan apa-apa." "Mustahil, Justin." "Demi apapun, memang tidak, Hiro!!" "Buktinya dia galau begini," ucap Hiro tidak mau kalah, dia berusaha menjauhkan beberapa botol minuman yang hendak Afkar raih lagi. Khawatir pria itu minum lebih banyak, dan Hiro enggan direpotkan untuk kesekian kalinya. "Stop, Afkar!! Sudah kukatakan sejak awal pertimbangkan!! Menikahi wanita itu bukan cara yang genius untuk balas dendam!!" "Shuut!! Mulutmu, Hiro, kalau sampai ada yang dengar bagaimana?" tanya Justin panik setengah mati, dia melirik ke kanan dan kiri demi memastikan bahwa tidak ada yang mendengar ucapan Hiro barusan. Berbeda dengan Justin, Hiro justru santai saja, begitupun dengan Afkar. "Cih kalian, sudah kukatakan tidak perlu protes ... keputusanku sudah bulat dan kalian tidak memiliki hak menghalangiku, paham?" Tanpa peduli dengan teguran Hiro, Afkar kembali menenggak minuman itu untuk kesekian kalinya. Seolah tidak ada air yang bisa melegakan rasa hausnya, Afkar sampai menenggaknya langsung dari botol sampai Justin sendiri menganga. Bukan sebal karena minuman tersebut dibeli dengan uangnya, tapi khawatir saja imbas setelah Afkar minum sebanyak itu. "Tebak apa yang akan terjadi, sudah pasti dia merepotkan kita lagi." Justin mulai bersuara, dia tak segan menyindir Afkar yang memang kerap merepotkan jika sedang kumat-kumatnya. Sembari bertopang dagu, Justin enggan berkomentar apa-apa. Hanya menunggu bom waktu itu meledak saja. Tak jauh berbeda dengan Justin, Hiro juga melakukan hal sama. Sebal karena merasa percuma menghalangi niat Afkar, dia memilih diam sembari memantau apa yang akan Afkar perbuat selanjutnya. "Aaakh!!" Di tetes terakhir yang Afkar tenggak, dia seolah menunjukkan bahwa sudah puas. Setelahnya, Afkar beranjak berdiri dan bermaksud angkat kaki hingga membuat kedua temannya panik seketika. "Afkar tunggu!!" "Apa lagi?" tanya pria itu bergantian menatap wajah kedua sahabatnya yang tak seberapa itu. Sungguh malas Afkar bicara, matanya terlihat sayu dan terkesan mengkhawatirkan tentu saja. "Sepertinya kau mabuk, nanti saja pulang ... biar kami yang an-" "Ck lupakan, bukankah kalian berdua tidak mau direpotkan?" Afkar menepis tangan Justin yang sedari tadi mencoba menahan kepergiannya. Tak sedikit pun mereka mengira bahwa Afkar yang sedari tadi sibuk dengan kegiatannya sendiri ternyata sadar bahwa tengah menjadi topik pembicaraan. Alhasil, baik Justin maupun Hiro tak memiliki keberanian untuk banyak bicara lantaran khawatir berakhir mendapat bogem mentah. Sikap Afkar yang kerap tak terduga dan bisa jadi membahayakan orang-orang di sekitarnya adalah alasan kenapa mereka tidak berani menghalangi Afkar saat ini. "Fine, tapi setidaknya tolong beritahu kami tujuanmu mau ke mana?" tanya Hiro berusaha menenangkan. Meski memang tidak akan dihalangi, tapi keduanya mengekor di balik punggung Afkar. Memastikan bahwa pria itu memang belum terlalu mabuk dan sanggup untuk pulang sendiri, persis pengakuannya. Hingga pria itu hendak masuk ke mobil, Justin dan Hiro masih mengekor. Benar-benar tidak akan dilepas sebelum mendapat jawabannya. "Afkar jawab dulu, kau mau ke mana?" "Pulang," jawab Afkar singkat, padat dan tak terbantahkan. "Serius pulang?" "Hem, kenapa memangnya?" tanya Afkar dengan dahi berkerut, pertanda malas menanggapi spesies yang terlalu banyak tanya. "Pulang untuk apa, Bro? Baru juga datang ... minimal party, kita rayakan keberhasilanmu hari ini, bagaimana?" "Malas, aku banyak pekerjaan setelah ini," jawabnya sok sibuk, sudah seperti pejabat dengan jawab yang luar biasa padat. "Pekerjaan apa? Bukankah semua pekerjaanmu hampir dilimpahkan pada Justin semua?" Pertanyaan itu tak segera Afkar jawab, tidak justru menatap nanar tanpa arah. Senyumnya terukir tipis, terlihat mengerikan jika dilihat-lihat lagi sebenarnya. "Ada satu hal yang tidak bisa Justin lakukan, Hiro." "Apa itu?" "Mewujudkan dendamku," pungkasnya kemudian benar-benar masuk ke mobil dan dalam hitungan detik pria itu telah berlalu. Benar-benar secepat itu sampai Justin dan Hiro kini saling menatap demi menerka maksud Afkar. "Mewujudkan dendam, apa maksudnya?" "Entahlah, maybe mengeksekusi istrinya," sahut Hiro terdengar santai, tapi si m***m Justin justru mengu-lum senyum. "Ah, Hiro ... tidakkah kau berpikir sama sepertiku?" "Apa?" "Afkar," ucap Justin seolah sengaja dibuat-buat agar makin penasaran. "Kenapa?" Sengaja membuat Hiro penasaran, tapi ketika ditanya pria itu justru tak segera menjawab. Justin bersedekap da-da, menatap lurus ke depan sebelum kemudian dengan entengnya berucap pelan. "Mungkinkan dia akan melepas keperjakaannya malam Ini?" . . - To Be Continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN