BAB 06 - Resah!!

1069 Kata
Iqlima mengharapkan surga dan merasakan cinta setelah menikah, nyatanya yang dia dapati adalah neraka. Di rumah semegah dan semewah itu hanya menyisakan ruang kecil untuknya. Bahkan, jika dibandingkan dengan ruangan di rumahnya, kemungkinan ukuran kamar tersebut dua kali lebih kecil dibanding asisten rumah tangga. Bukan sebentar Iqlima meratapi nasibnya pasca menerima Afkar sebagai pengantin pengganti. Sempat terbesit ingin mengadu, tapi sewaktu berbalas pesan dengan uminya, Iqlima mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Bahkan, sewaktu Umi Zalina bertanya tentang sikap Afkar, wanita itu tetap memilih berbohong dan menutupi rapat-rapat apa yang terjadi saat ini. "Dia baik, seperti kata Abi ...." Begitu pengakuan Iqlima. Meski sudah jelas dengan memberikannya kamar sesempit ini Afkar agak tidak manusiawi sebagai suami, tapi Iqlima masih berusaha berpikir dari sudut pandang lain. Sebagaimana yang dia ketahui, yang namanya pernikahan sudah pasti diuji. Terlebih lagi, saat ini posisinya Afkar adalah mempelai pengganti, jelas saja ada pergolakan dalam dirinya ketika menerima tanggung jawab sebesar ini. Ya, sementara ini cara tersebut memang berhasil menenangkan Iqlima. Sikap dingin Afkar bukan masalah besar, mungkin pria itu lelah atau semacamnya dan tadi dia yang banyak tanya. "Iya, mungkin benar ... aku terlalu banyak tanya, seperti Om Ricko yang marah-marah kalau lelah, pasti dia juga begitu." Iqlima bermonolog, menerka kemungkinan paling positif agar tidak terlalu sakit. Begitu dalam Iqlima menarik napas untuk kemudian dia embuskan perlahan-lahan. Setelah cukup lama berdiam diri di kamar kecil ini, dia baru sadar bahwa senja mulai menguning. Wanita cantik itu membawa tubuhnya untuk membersihkan diri. Mungkin dengan mandi air hangat dia akan sedikit lebih tenang. Tanpa menaruh kecurigaan sedikitpun, Iqlima bersikap biasa saja, seperti di kamarnya sendiri. Perlahan, tapi pasti dia melucuti pakaian dan mengenakan handuk yang tadi sempat diambil dari dalam lemari. Tidak dilebih-lebihkan dan seperti persiapan mandi biasa. Sedikit pun Iqlima tidak mengira bahwa sesuatu yang sifatnya biasa saja itu sukses membuat Afkar panas dingin. Usai menutup paksa laptopnya, tak lupa mengusap kasar wajah, juga mengacak rambutnya. "Oh s**t!! Berani-beraninya dia buka baju di hadapanku." Seolah menyesal karena dia tidak seharusnya menyaksikan adegan panas itu, Afkar justru melempar kesalahan pada Iqlima. Padahal, dari segala sisi memang dirinya yang salah. Meletakkan CCTV di kamar untuk memantau targetnya adalah kesalahan besar, sekarang apa yang dilakukan korbannya justru menjadi salah korban itu sendiri. Pria itu berusaha mengatur napasnya, tangannya mulai beralih membuka dua kancing kemeja demi menetralisir gejolak yang tak Afkar kehendaki. Sayangnya, meski sudah dia lakukan semua sia-sia hingga pria itu bergegas ke kamar mandi juga. Begitu masuk, Afkar menanggalkan pakaian dan menikmati setiap guyuran air yang turun di atas kepalanya. "Fokus, Afkar ... secuil adegan dewasa semacam itu tidak ada apa-apanya, lagian miliknya kecil, kenapa kau jadi resah begini?" Afkar bermonolog, lebih kepada diri sendiri. Berharap segera sadar bahwa sesuatu yang tadi dia saksikan sangatlah sepele, tidak seharusnya justru tergoda. Cukup lama Afkar menghabiskan waktu di kamar mandi, sampai tangannya terlihat keriput. Anehnya, tak terasa dingin sama sekali karena sedari tadi Afkar merasa tubuhnya memang panas. Selesai mandi, Afkar tak memiliki keberanian dan juga kemauan untuk memantau Iqlima lebih dulu. Pria itu berusaha mencari kegiatan lain yang sekiranya lebih menarik, menghubungi Justin ~ sahabat sekaligus asistennya termasuk pilihan yang baik. . . "Hallo, Afkar ...." "Bagaimana keadaannya? Aman?" "Aman, Hiro sudah memastikan dia baik-baik saja ... walau ya, tadi pagi sempat panik karena Hiro memukulnya terlalu keras." Laporan dari Justin cukup menenangkan, Afkar memejamkan mata sembari menunggu penjelasan Justin selanjutnya. "Kau sendiri bagaimana, apa wanita itu tidak curiga?" Mata Afkar perlahan terbuka, pertanyaan Justin cukup penting untuk dia jawab saat ini. "Sejauh ini tidak, Abinya bilang dia penurut." "Wah, kau disambut baik oleh keluarganya?" "Hm, keren bukan?" tanya Afkar tersenyum tipis, kembali mengingat bagaimana sikap anggota keluarga Iqlima padanya. "Kemampuanmu memang tidak perlu diragukan, sayang sekali minatmu di dunia entertainment agak kurang." "Tepatnya tidak berminat," ucap Afkar meluruskan, sungguh dia sebal setiap kali kedua sahabatnya menganggap bahwa dia cocok menggeluti dunia seni peran. Terdengar suara gelak tawa di balik telepon, sudah tentu ucapannya terdengar lucu di telinga Justin. "Oh iya, aku penasaran." "Soal?" "Kalian sekamar?" Pertanyaan konyol, sama sekali tidak penting hingga Afkar berdecak kesal. "Apa pentingnya bagimu, Justin?" "Tentu saja penting, bukankah kau mengatakan menikahinya atas nama dendam?" "Benar, lalu apa?" "Aku penasaran caramu balas dendam, apa kau berminat menghukumnya di atas ranjang setiap jam, Afkar?" "To-lol!! Kau pikir aku penjahat kela-min? Hah?" Afkar naik darah, pertanyaan dari Justin sungguh di luar prediksinya. Seperti biasa, marahnya Afkar justru ditanggapi sebagai hiburan oleh sahabatnya. "Jadi bagaimana? Apa kau berniat mengikuti saran Hiro dengan memisahkan anggota tubuhnya?" "Tidak juga, terlalu cepat jika mengikuti saran Hiro," jawab Afkar cepat, ide dari pria gila itu sama sekali tidak masuk di akalnya. "Lalu apa?" Benar-benar menyebalkan, Afkar menarik napas dalam-dalam tatkala makhluk telmi itu banyak tanya. Ingin rasanya Afkar memaki pria itu, tadi satu hal yang Afkar ingat, di dunia ini salah-satu yang dia miliki selain pamannya adalah Justin dan Hiro. "Yang pasti aku punya cara tersendiri, tidak perlu diajari ... lakukan saja tugasmu, jangan melampaui batas, Justin." Keheningan seketika terjadi, memasuki mode serius biasanya memang akan terasa kesenjangan karena di sisi lain, hubungan mereka adalah atasan dan bawahan. Hal itu kerap Afkar lakukan jika dirinya mulai lelah dan malas menanggapi Justin. Meski tak berselang lama, tapi setidaknya Afkar bisa merasa tenang, itu saja. "Ah iya cuma ...." Sesuai dugaan, pria itu kembali bersuara dan merusak ketenangan bosnya. "Cuma ...." "Cuma apa, Justin?" "Aku khawatir padamu, Afkar." Mulai, ini bukan pertama kali, tapi hampir setiap kali Justin mengungkapkan kekhawatiran atas tindakan yang dia ambil. "Sudah kukatakan tidak perlu khawatir, Justin." "Tapi ...." Justin terdengar menghentikan ucapannya. "Untuk kali ini kau salah target, Afkar." "Salah apanya?" tanya Afkar dengan nada malas karena memang dia paling tidak suka dengan pria penakut seperti Justin. "Iqlima bukan orang sembarangan." "Lalu?" "Masih tanya lalu, latar belakang keluarganya tidak main-main!!" Justin berucap penuh peringatan, juga penekanan di sana. "Kau tidak tahu sekejam apa keluarga mereka?" "Abinya mengerikan, bahkan dulunya berdarah dingin." "Sepupunya juga demikian!!" Suara Justin terdengar begitu serius, meski memang tidak terlihat dengan mata kepala Afkar, tapi dia bisa menyimpulkan seserius apa pria itu saat ini. "Saranku, ada baiknya lupakan niatmu ... sepertinya, kau tidak benar-benar tahu tentang mereka." Tak segera menjawab, Afkar justru tersenyum tipis. Dia menunduk sebentar, dengan rahang yang mendadak mengeras. "Tahu, aku tahu," ucapnya menatap nanar tanpa arah sebelum kemudian lanjut bicara. "Kematian kedua orang tuaku sudah cukup untuk menjadi bukti sekejam apa abinya dulu, Justin." . . - To Be Continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN