Plak!!! Satu tamparan mendarat tepat di pipinya pasca melontarkan pengakuan yang memang cukup membahayakan sebenarnya. Suara benturan telapak tangan Jingga dengan kulitnya terdengar nyaring di udara malam yang hening. Mata Jingga memerah, bukan hanya karena marah, tetapi juga karena sakit hati yang tak bisa dia tahan. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan emosi yang meluap-luap. "Dasar brengshek!!" Suaranya bergetar, penuh kepedihan. Afkar tetap berdiri tegak, menatapnya tanpa amarah, tanpa perlawanan. Justru, ada sorot bersalah di matanya. Dia tahu, Jingga pantas marah. "Aku tahu," jawab pria itu tenang, mengakui tanpa membela diri. Pengakuan itu kian membuat Jingga sakit sampai mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mencoba meredam gemuruh di dadanya. Matanya berkaca-kaca, tapi dia