Begitu langkah kaki Iqlima menjauh, Afkar terduduk lemas di tepian ranjang. Ponsel itu masih di tangannya, tapi kini dia letakkan kembali ke atas nakas, seolah enggan melihat kenyataan lagi. Ruangan terasa hening, tapi dalam kepala Afkar, semuanya riuh. Detak jantungnya berdentum keras, napasnya tidak beraturan. Rasanya seperti ditinggalkan, tapi lebih buruk, karena dia tahu, dirinya sendiri yang mendorong Iqlima pergi. Perlahan, pria itu beranjak dan kini menatap cermin. Wajah lelah dengan mata yang mulai memerah menatap balik padanya. “Bo-doh,” gumamnya pada diri sendiri. “Kenapa aku bisa ber bahwa menyembunyikan semuanya adalah keputusan yang benar?” Langkahnya goyah menuju jendela, menatap ke luar, ke langit malam yang seolah ikut muram. Dulu, pulang ke rumah adalah hal yang paling