Istri yang tidak diinginkan, istilah yang Mia tanamkan dalam hatinya. Jika saat ini ia berada dalam fase tidak percaya diri, maka Mia berada dalam tingkat sangat tidak percaya diri.
Mungkin sebagian orang menganggapnya terlalu berlebihan, tapi hidup dengan kekurangan yang dimilikinya sangat menyiksa. Apalagi Alex sosok suami sempurna di matanya.
"Bocah itu jatuh sendiri, siapa suruh gak hati-hati. Lagian kenapa ibunya sampai lengah begitu, sampai anaknya kesandung dan jatuh."
Mia menoleh pada suara nyaring di sampingnya. Sepertinya Laras kembali menunjukan ketidaksukaannya karena Mia memperhatikan anak Siska.
"Gue cuman nunjukin simpati aja," Balas Mia dengan suara pelan.
"Simpati gak usah sampai beliin dia banyak barang kali. Cukup kasih uang dan buah aja, simpel."
Mia menoleh dan tersenyum.
"Salah satu upaya mencuri hati ibunya, kita harus bersikap baik pada anaknya. Pepatah mengatakan jika kita mencintai wanita yang sudah memiliki anak, hal pertama yang harus dilakukan yaitu menarik perhatian anaknya."
"Lo masih belum sadar juga ya? Gue heran banget sama cara berpikir lo." Laras menggelengkan kepalanya dan berdecak kesal.
"Kalau lo kakak kandung gue, udah gue cuci otaknya pakai rinso, celup pemutih lalu jemur. Biar kinclong lagi otaknya."
Mia hanya tersenyum. "Anggap aja gue ini Kakak lo, gue gak keberatan."
"Amit-amit punya kakak yang otaknya geser kayak lo!" Cibir Laras.
"Udah jangan banyak protes, nanti sore temenin gue ke rumah Siska. Dia masih cuti, kalau ajak Alex udah pasti nolak." Mia merapikan beberapa mainan, snack, dan buah yang disukai anak-anak. Setidaknya Mia mencari beberapa hal yang disukai anak-anak di internet, sehingga pengalamannya tidak diperlukan dalam mencari barang-barang tersebut.
"Lo yakin gue mau ikut?"
"Yakin. Udah sana, beresin dulu kerjaan lo. Jam empat kita pergi." Mia mendorong tubuh Laras menuju meja kerjanya.
Laras memang si mulut pedas, tapi wanita itu memiliki sifat peduli pada teman. Laras merupakan orang yang mudah bergaul, hingga membuat Mia mudah luluh dan akhirnya mau menerima Laras sebagai temannya. Sebelumnya Mia tidak pernah membuka diri pada siapapun, ia tidak lagi percaya pada hubungan bernama sahabat.
Tapi Laras justru membuat Mia kembali yakin dan percaya bahwa pertemanan masih layak didapatkan Mia.
"Aku lembur, sampai ketemu di rumah." Ucap Mia, dengan senyum saat ia menghubungi Alex.
"Aku mau buah aja." Ucapnya lagi, yang membuat Laras menoleh dan mendengus.
"Sampai ketemu di rumah. Bye,," panggilan terputus dan Mia pun menaruh kembali ponsel dalam tasnya.
"Makan buah aja," sindir Laras, tapi kedua matanya tertuju ke arah depan, sementara Mia kembali lanjut menyetir.
"Aku jarang makan berat kalau malam." Balas Mia.
"Takut gendut?"
Mia menggeleng, "Nggak. Gendut lucu, apalagi kalau gendut karena hamil. Tapi, gue emang nggak bisa makan berat aja kalau malam. Rasanya begah, dan sulit tidur." Jelas Mia.
"Gue kira takut gendut." Sindir Mia.
Perjalanan menuju rumah Siska ditempuh dengan waktu kurang dari satu jam. Kemacetan Jakarta menjadi penyebab utama mereka lama di perjalanan.
"Ini rumahnya?" Tanya Laras, saat Mia menepikan mobil tepat di depan sebuah rumah.
"Iya. Waktu itu gue dan Alex antar dia pulang kesini. Ayo turun." Ajak Mia.
Kedua wanita itu pun turun dan langsung menuju pintu gerbang, dimana terdapat bell.
"Gue angkat telepon dulu ya," tiba-tiba Laras menjauh setelah terdengar ponselnya berdering.
Sementara Mia menekan bell untuk kedua kalinya, sampai seorang wanita paruh baya muncul.
"Permisi, saya Mia. Temannya Siska." Mia memperkenalkan diri secara singkat.
"Oh, silahkan masuk." Wanita paruh baya itu mempersilahkan Mia masuk dengan sangat ramah.
"Teman saya masih di luar, boleh tunggu sebentar." Karena Laras belum juga kembali, Mia tidak mungkin masuk seorang diri.
Hampir lima menit lamanya, sampai akhirnya Laras muncul dengan raut kesal.
"Ayo," ajak Mia, sementara Laras hanya menggumam pelan. Rautnya yang semula ceria berubah suram. Entah apa yang membuatnya terlihat kesal seperti itu.
Kedatangan Mia disambut baik oleh Siska. Kebetulan ia dan anaknya tengah berada di ruang televisi, menyaksikan acara yang sangat disukai putrinya, yaitu film kartun.
"Halo, gimana kabarnya? Sudah sembuh?" Mia langsung mendekat pada anak kecil itu. Meski terlihat malu, tapi ia menyambut kedatangan Mia dengan sangat ramah.
"Sudah sehat ya, ini Tante bawakan banyak mainan untukmu." Mia memberikan oleh-oleh yang dibawanya.
Anak kecil itu tersenyum senang, tapi ia tidak lantas menerima pemberian Mia, ia menoleh ke arah Siska terlebih dulu, seolah meminta persetujuannya.
Setelah Siska mengangguk samar, barulah anak kecil itu menerimanya.
"Suka?" Tanya Mia.
Gadis kecil itu menganggukan kepalanya, yang membuat Mia merasa gemas hingga tidak tahan untuk menyentuh pipinya yang terasa begitu halus.
"Bu Mia panggil saja Gisel, namanya Gisela putri." Ucap Siska, memperkenalkan nama Putri kecilnya.
"Gisel, nama yang sangat cantik. Kamu bisa panggil Tante Ibu, seperti yang dilakukan Mamahmu."
Gisel mengangguk patuh.
Mia tidak menyia-nyiakan kedatangannya, ia pun mengajak Gisel lebih banyak berinteraksi dan keduanya pun akrab dengan sangat cepat.
Bermain dan menikmati buah yang dibawanya membuat waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa dua jam terlewati dan Mia pun harus segera pulang.
"Rasanya baru dua menit, padahal sudah dua jam. Ibu pulang dulu ya Gisel, lain waktu kita bertemu lagi." Mia kembali mengusap wajah dan rambut Gisel dengan lembut.
"Terima kasih Bu Mia, sudah menyempatkan datang menjenguk Gisel. Maaf untuk Bapak, karena saya belum bisa ke kantor."
"Gak apa-apa, kesehatan Gisel jauh lebih penting."
Mia pamit, begitu juga dengan Laras.
"Lo suka banget sama anak itu?" Tanya Laras penasaran.
"Nggak ada alasan untuk tidak menyukainya, kan? Dia lucu dan sangat bersahabat. Mirip Mamahnya."
Mungkin Gisel menuruni sifat Siska yang mudah bergaul dengan siapapun, memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan.
"Calon ideal untuk istri Alex."
Laras meringis, "Gak ada calon ideal selain istrinya sendiri."
"Gue nggak ideal, karena gue memiliki kekurangan yang sangat fatal sebagai seorang wanita."
Laras menghela lemah, obrolan akan kembali berputar pada keinginan Mia yang menurutnya sangat tidak logis.
"Lo lebih mirip manusia putus asa, Mi."
"Memang. Aku sudah ada di fase putus asa. Sangat putus asa." Mia tidak mengelak, ia justru membenarkan ucapan Laras.
"Ngomong-ngomong tadi siapa yang menghubungi Lo? Raut wajah Lo kelihatan kusut banget." Tanya Mia. Sebab setelah itu raut wajah Laras benar-benar tidak bisa diselamatkan, ia nampak murung dan muram.
"Setiap hari wajah gue kusut Mulu kali. Cerah kalau tanggal satu doang, abis itu muka gue kusut lagi untuk dua puluh sembilan hari kedepan." Balas Laras.
"Masalah Abang Lo lagi?" Tanya Mia.
Beberapa waktu lalu Mia pernah mendengar dari rekan kantor lainnya, bahwa Laras mempunyai seorang kakak pecandu alkohol. Dia sering meminta uang pada Laras dan jika tidak diberi maka lelaki itu tidak segan memukul atau menghancurkan apapun yang ada di rumahnya. Sosok kakak yang tidak bertanggung jawab dan beban keluarga.
"Ya siapa lagi. Masalah dalam hidup gue hanya dia." Laras menghela lemah dan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil.
"Bisa gak sih Tuhan ambil dia aja? Gue lebih ikhlas dia aja yang mati, ketimbang Bokap gue. Manusia gak berguna kayak dia masih aja di kasih umur panjang, sementara Bokap gue yang super baik justru meninggal lebih cepat." Keluh Laras.
"Hidup memang selucu itu." Laras tertawa samar.
"Kalau bunuh orang gak dosa, udah gue bunuh tuh Abang. Gak guna banget hidupnya." Keluhnya lagi.
Untuk masalah keluarga, Mia tidak bisa membantunya lebih, sebab dalam setiap kelompok bernama keluarga ada saja salah satu orang yang bertugas sebagai pengacau. Dalam silsilah keluarga tidak mungkin satu keturunan memiliki pemikiran yang sama, terkadang perselisihan terjadi dari satu orang yang memang tidak memiliki pemikiran yang sama.
"Lo punya stok sabar banyak kan?" Tanya Mia.
"Kalau banyak, gue gak usah nyuruh Lo sabar lagi. Karena gue yakin Lo pasti udah punya stok."
"Sial!!" Laras mengumpat sambil tertawa.