Tangis seorang anak kecil menggema memenuhi seisi klinik. Tidak hanya anak kecil itu saja, tapi juga Siska. Wanita itu tidak hentinya menangis, melihat putri kecilnya menangis karena menahan sakit akibat luka yang ada di lututnya.
"Dia pasti baik-baik saja." Ucap Alex, mencoba menenangkan Siska meski Alex tau wanita itu tidak akan bisa tenang melihat putri kecilnya terus menangis dan merengek kesakitan.
Mia yang sejak tadi berdiri mematung di dekat pintu akhirnya memilih untuk menjauh. Kehadirannya tidak diperlukan, ia pun memutuskan untuk menunggu di bagian ruang tunggu.
"Boleh duduk disini?" Tanya seorang wanita sambil tersenyum.
"Silahkan." Mia menggeser duduknya, memberi ruang untuk wanita itu duduk.
"Terimakasih." Balasnya.
Wanita yang kini duduk disampingnya itu tidak hentinya terus tersenyum sambil mengelus perutnya. Belum terlihat jelas, tapi Mia yakin wanita itu tengah hamil.
Ingatannya kembali pada beberapa waktu lalu, saat ia masih merasakan bagaimana rasanya hamil. Ujung bibir Mia tersenyum, ia pernah merasakan masa itu saat sesuatu bergerak di dalam perutnya dan rasanya sangat luar biasa.
Hanya selang beberapa menit saja, seseorang lelaki muncul dari arah lain sambil tersenyum menghampiri wanita yang duduk disamping Mia.
"Sudah selesai, kita pulang. Kalian pasti sangat lelah." Ucapnya. Raut kebahagiaan terlihat jelas di wajah mereka. Bahkan sang suami begitu perhatian, tidak ingin istrinya yang tengah mengandung kecapean.
Hal-hal seperti itu yang sangat diinginkan Mia saat ini. Saat ia bisa mengandung dan mengambil semua perhatian Alex, tapi sayangnya keinginan itu harus di kuburnya dalam-dalam karena hamil adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi padanya.
"Rupanya disini, aku kira kamu pulang duluan." Terdengar suara Alex dari arah belakang yang membuat Mia langsung menoleh.
"Bagaimana kondisi putri Siska?" Tanya Mia.
"Masih menangis, tapi sudah ditangani dengan baik." Balas Alex. Ia pun duduk disamping Mia.
"Namanya anak-anak memang seperti itu, senang bermain tanpa memperdulikan bahaya." Alex menghela lemah.
"Beruntung tidak luka berat sampai patah tulang." Lanjutnya.
Saat di acara ulang tahun, gadis kecil itu begitu antusias hingga tanpa sadar ia menginjak sesuatu yang membuatnya tergelincir dari tangga. Beruntung hanya luka, dan tidak menyebabkan luka berat, meski begitu Siska begitu ketakutan dan membuat Mia pun ikut khawatir.
"Sudah boleh pulang hari ini?" Tanya Mia.
"Sudah. Tinggal nunggu obatnya saja."
"Kalau begitu kita antar mereka pulang."
Alex mengangguk, menyetujui saran Mia.
"Bu Mia saya duduk di belakang saja." Ucap Siska, saat Mia memilih duduk di jok belakang.
"Gak apa-apa, kamu di depan saja." Mia langsung menuju jok belakang, yang membuat Siska tidak punya pilihan lain.
Alex hanya menghela lemah, melihat sikap istrinya yang seolah ingin mendekatkan dirinya dan Siska. Alex sadar betul bagaimana niat dan tujuan Mia.
Selama perjalanan menuju kediaman Siska, ketiganya tidak ada yang bicara. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing, terutama Mia.
Sesekali ia melirik ke arah Siska dan Alex. Jika dilihat dari sekilas mereka mirip pasangan suami istri lengkap seorang anak. Rumah tangga impian semua orang bukan?
Lalu dirinya apa?
Mia hanya tersenyum samar.
"Terimakasih, Bu, Pak." Ucap Siska, ketika mobil yang dikendarai Alex sampai di depan rumahnya.
"Mau ajak mampir tapi udah malam, kalian pasti capek." Siska meringis,
"Kalau ada apa-apa, segera beritahu aku. Jangan lupa periksa lukanya setiap dua hari sekali," ucap Mia.
"Baik, Bu."
Mia menukar posisi, kali ini ia duduk di depan seperti biasanya.
"Kenapa? Aku tidak menukar posisi, aku hanya memberinya kesempatan duduk di tempatku." Ucap Mia sambil tersenyum, menjawab tatapan bertanya suaminya.
"Aku lapar." Jawab Alex.
"Kamu marah?" Selidik Mia.
Alex tidak langsung menjawab, sudah dipastikan Alex tau kemana arah pembicaraan Mia dan hal itu juga yang membuat Mia tidak lagi bicara.
Suasana di dalam mobil kembali hening, bahkan sampai di rumah pun mereka tidak saling bicara.
"Bi, tolong siapkan makan untuk Bapak ya. Katanya dia lapar. Masak yang sederhana aja, jangan yang ribet." Ucap Mia, pada Bi Mar.
"Baik Bu."
Mia lantas mengikuti langkah Alex menuju kamar, meskipun suaminya terlihat kesal tapi Mia tetap menunjuk senyum seolah tidak terjadi apapun pada mereka.
"Ada noda darah di pakaianmu." Mi menarik tangan Alex dimana ia melihat noda darah di tangan hingga ke pakaiannya.
"Biar dibersihkan dulu, kalau dibiarkan pasti susah bersihnya."
Mia mengambil tisu basah, lalu mengusap setiap noda darah yang ada di lengan Alex.
"Apa kamu tidak bahagia dengan kehidupan kita yang seperti ini saja?" Tanya Alex.
"Hanya aku dan kamu, tanpa ada embel-embel anak atau wanita lain. Jujur, aku tidak suka saat kamu mencoba mendekatkan aku dan Siska."
Tangan Mia terhenti, lantas ia menatap ke arah suaminya dan tersenyum.
"Aku bahagia, bahkan sangat bahagia. Sebaliknya, aku ingin bertanya, apakah kamu bahagia memiliki istri seperti aku?" Mia balik bertanya.
"Aku bukan istri yang diinginkan, aku tidak bisa punya anak, aku juga bukan." Mia tidak dapat meneruskan ucapannya saat kedua tangan Alex memeluk tubuhnya.
"Aku sudah bahagia. Seperti ini saja," bisik Alex tepat di telinganya Mia.
Sebuah kalimat yang seharusnya mampu membuat hatinya tenang, tapi Mia tidak bisa merasakan itu untuk saat ini. Ia tau dan sangat menyadari kekurangan yang ada dalam dirinya hingga mematahkan segala kepercayaan diri yang ada padanya.
Mia takut, kecewa dan sedih. Tapi ia tidak bisa menyalahkan orang lain apalagi menyudutkan Kanaya untuk yang kedua kalinya atas nasib yang menimpanya saat ini. Tapi Mia menyebutnya ini sebagai karma atas perbuatannya di masa lalu.