Sore harinya saat Mia sampai ke rumah, Alex masih belum pulang. Padahal waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Seharusnya lelaki itu sudah ada di rumah.
"Bi, Alex belum pulang?" Tanya Mia.
"Belum, Non. Mungkin masih di jalan."
Kemungkinannya iya, tapi Alex masih belum membalas pesannya. Mungkin masih dalam mode marah?
Memanfaatkan waktu sebelum suaminya pulang, Mia merapikan kotak obat yang disimpannya di tempat tersembunyi. Bahkan hari ini ia pun membeli obat serupa dalam jumlah lumayan banyak.
Dokter yang menanganinya menyarankan untuk segera menghentikan penggunaan obat tersebut, tapi Mia menolak dan masih terus berpikir bahwa ia sangat membutuhkan obat tersebut.
"Sudah pulang?" Mia keluar dari kamar mandi dan mendapati Alex sudah berada di dalam kamar dengan expresi terlihat masih kesal. Bahkan hanya menggumam pelan sebagai jawaban.
"Mau makan? Aku sudah membuat makan malam untuk kita,"
"Aku sudah kenyang." Jawabnya.
"Aku mau mandi." Alex menggeser Mia yang masih berada dekat pintu kamar mandi, lalu melewatinya begitu saja.
Mia tertegun, bahkan setelah sekian lama.berumah tangga, untuk pertama kalinya Alex mengabaikan keberadaannya.
"Masukan saja ke dalam kotak, besok mau saya bawa ke rumah sakit." Mia menghampiri Bi Mar yang sedang merapikan meja.
"Nggak jadi makan, Non?"
"Nggak. Katanya Alex kenyang."
Bi Mar mengangguk, ia pun merapikan makanan yang sudah disediakan Mia sebelumnya.
Mia lebih memilih makan buah potong karena memang setiap harinya ia jarang sekali makan berat, apalagi di malam hari. Semakin kenyang, maka akan semakin sulit ia tidur.
Karena situasinya masih sangat canggung, Mia pun memilih duduk di sofa depan televisi. Ia harus membuat kedua matanya lelah, sebelum akhirnya tidur. Memang tidak ada tontonan yang menyenangkan, tapi Mia tetap memaksa kedua matanya untuk menatap ke depan layar hingga ia melihat sosok Alex keluar dari dalam kamar. Awalnya Mia hana melihat menggunakan ujung mata saja, ia akan berpura-pura tidak melihat saja. Tapi saat mendengar suara Alex memanggil Bi Mar, Mia tidak bisa hanya diam seolah tidak terjadi apapun.
"Bi, tolong buatkan saya telur ceplok dua. Saya mau makan." Ucap Alex.
"Baik, Pak." Bi Mar yang sudah berada di kamarnya pun segera menghampiri Alex dan bergegas membuat permintaannya.
Mia mengerutkan kening, bukankah lelaki itu mengatakan tidak mau makan? Sudah kenyang?
Tapi justru datang dan meminta dibuatkan makanan. Yang lebih membuat Mia merasa tidak nyaman, yaitu Alex lebih memilih makan telur ceplok daripada makanan yang sudah disiapkannya.
Mia kembali fokus pada layar televisi, ia tidak akan mudah terpancing hanya karena sikap Alex. Mia memaklumi, mungkin lelaki itu masih kesal akibat piknik di hari minggu lalu.
Setelah merasa sangat lelah, Mia pun masuk kedalam kamar dimana Alex sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi membelakangi tempat yang selalu digunakan Mia.
"Mas," Panggil Mia dengan mengusap punggung Alex secara perlahan.
"Masih marah?"
Mia tau, Alex beluk tidur, tapi lelaki itu diam seolah tidak mendengar ucapannya.
"Udah tidur rupanya." Mia masuk kedalam selimut yang sama dan melingkarkan tangannya pada tubuh Alex. Ia memeluk suaminya dengan erat, menyandarkan kepala di punggung Alex.
Tidur dalam dekapan Alex adalah salah satu cara agar ia tidak mengalami gangguan kecemasan saat tidur, tapi untuk malam ini Mia harus merasakan tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya tidak bisa terpejam, meski sudah berusaha.
"Mata lo sayu banget, nggak tidur? Berapa ronde semalam? Sampe lo kelihatan lemas begitu?" Laras menghampiri dengan tatapan menyelidik. Wanita itu sudah kembali bekerja, padahal Ibu masih dirawat di rumah sakit.
"Ibu masih dirawat?" Tanya Mia. Ia tidak mau membahas apa saja yang terjadi semalam, jangankan berapa ronde, pelukan saja tidak.
"Masih, tapi kondisinya sudah membaik."
"Kenapa nggak ditungguin dulu sampai benar-benar sembuh?"
"Gua nggak punya cukup banyak uang, Mi. Kalau nggak kerja, jangankan buat bayar biaya rumah sakit, bisa-bisa kami kelaparan."
"Kenapa nolak bantuan gue sih?" Mia menawarkan bantuan sejumlah uang pada Laras, tapi wanita itu menolak.
"Udah banyak utang gue sama lo! Gua nggak bakal bisa bayar,"
"Siapa juga yang nyuruh lo bayar. Gue niatnya bantu, bukan ngutangin."
"Terima kasih banyak Ibu Lamia Alexander yang baik hati dan dermawan, tapi gua nggak mau hidup dalam rasa hutang budi."
Mia hanya berdecak. "Gus bawa makanan banyak, untuk iBu juga. Jam istirahat nanti kita jenguk Ibu."
Laras hanya mengacungkan ibu jarinya, pertanda setuju.
Tidak ada yang lebih menakutkan saat seorang lelaki marah dan menggunakan fisiknya untuk menindas orang yang lebih lemah daripada dirinya.
Mia masih bergetar hebat saat Afan sudah dibawa paksa ke luar oleh dua security.
"Mi, lo nggak apa-apa?" Tanya Laras, dengan kedua tangan memegangi pundak Mia.
Nafas Mia memburu, seperti habis berlari kencang.
Karena Mia tidak bisa diajak bicara, akhirnya Laras menghubungi Alex.
Tidak berselang lama Alex datang dan segera menghampiri Mia yang sudah ditangani oleh tim medis. Mia mengalami luka di bagian wajah akibat pukulan Afan.
"Sayang, kamu nggak apa-apa?" Alex begitu khawatir, ia pun memeluk Mia dengan sangat erat dan berulang kali mengecup kening wanita itu.
"Ya Tuhan, Mia." Ucap Alex lagi.
Laras merasa begitu khawatir, sebab Afan adalah kakak kandungnya dan lelaki itu lah yang sudah memukul Mia.
"Maaf, saya tidak tau kalau Mia akan melindungi saya dan akhirnya dia kena pukulan." Laras menunduk, menyembunyikan rasa bersalah dalam dirinya.
"Tidak apa-apa, yang penting kalian berdua sudah aman."
Laras menceritakan awal mula Afan datang dan marah. Lelaki itu mencari keberadaan Laras untuk meminta uang seperti biasa. Laras menolak dan sempat terjadi adu mulut, tapi Afan yang memiliki jiwa temperamental langsung melayangkan pukulan. Mia mencoba melindungi Laras hingga akhirnya pukulan keras itu menangani satu wajahnya. Kegaduhan sempat terjadi hingga akhirnya Afan diusir paksa oleh security.
"Mo, lo nggak apa-apa?" Laras kembali mendekat, menghampiri Mia yang masih berada disalah satu ruangan, di kantor.
"Jangan diem aja, gue takut lo kenapa-napa." Kedua mata Laras berkaca-kaca.
"Gue,, baik." Jawab Mia terbata.
"Lo bikin gue takut." Laras memeluk Mia.
Butuh waktu lama untuk Mia mengembalikan ketakutan yang dirasakannya. Beruntung Alex dagang dan terus menemaninya hingga akhirnya Mia dibawa pulang.
"Jangan banyak bergerak." Alex mengoles salep di wajah Mia yang mulai terlihat membiru kehitaman. Bisa dibayangkan bagaimana sakit yang dirasakannya saat ini. Pukulan dari seorang lelaki dewasa dan dalam kondisi setengah mabuk, pastinya sangat keras.
"Sakit." Mia meringis. Sentuhan lembut pun membuat nyeri di wajahnya kembali terasa.
"Aku tiup." Alex meniup pelan wajah Mia agar sakit nya sedikit berkurang.
"Jangan selalu membela orang lain, kalau akhirnya membahayakan diri sendiri." Alex mengusap puncak kepala Mia dan mencium keningnya dengan lembut.