"Laras kemana?" Mia tidak menemukan Laras di kantor, padahal jam kerja sudah mulai sejak satu jam lalu.
"Izin nggak masuk kerja, katanya Ibunya sakit." Jawab salah satu teman kantor lainnya.
"Sakit?" Gumam Mia.
Ia pun segera meraih ponsel untuk menghubungi Laras. Ketidakhadirannya di kantor sedikit membuat Mia kesepian. Laras memang selalu berhasil membuat suasana kantor lebih ceria, bukan hanya untuk Mia, tapi juga untuk yang lain.
Mia menuju ruangan yang lebih sepi untuk menghubungi Laras. Beruntung dalam satu panggilan saja Laras langsung menjawab.
"Lo dimana?" Tanya Mia langsung pada intinya.
"Di rumah. Kenapa? Kangen?" Laras tertawa, sementara Mia hanya mendengus pelan.
"Teman-teman yang lain bilang Ibu Lo sakit. Bener?"
Kali ini Mia mendengar helaan nafas lemah dari seberang sana.
"Iya." Jawab Laras.
"Sakit apa? Sekarang kalian ada dimana?"
"Satu-satu Bu, kalau nanya. Jangan kayak angkot gitu, borongan." Dalam situasi seperti saat ini saja Laras masih sempat-sempatnya bercanda.
"Gue serius, Ras."
"Iya. Ibu sakit, sekarang gue ada di rumah sakit nemenin ibu."
"Kasih tau alamatnya, nanti siang gue kesana."
"Jangan lupa bawa seblak atau bakso ya, kepala gue sakit banget butuh yang pedas-pedas."
"Iya, sekalian nanti gue bawain Abang penjualnya biar bisa halalin Lo sekaligus."
"Dih, selera gue bukan Abang seblak ya! Selera gue CEO tampan!"
"Suami gue CEO tampan, Lo nggak mau."
"Dih najis!"
Keduanya tertawa bersama. Itulah Laras, wanita yang selalu bisa bersikap tenang padahal dunianya sedang tidak baik-baik saja.
Sepertinya yang sudah dijanjikan, Mia datang menemui Laras di salah satu rumah sakit. Kamar yang ditempati Ibu Lara, bukan kamar rawat inap khusus, tapi kamar yang dihuni banyak pasien sekaligus.
"Ibu lagi tidur, baru aja minum obat. Kita ngobrol di luar saja, disini nggak kedengeran." Ajak Laras, karena salah satu pasien baru saja selesai operasi dan mungkin obat biusnya sudah tidak bekerja lagi hingga ia terus merintih kesakitan.
"Lo beneran bawa seblak?" Laras membuka kantong plastik berwarna putih yang dibawa Mia.
"Lo minta dibawain itu, kan?"
"Iya. Tapi gue cuman bercand, tapi syukurlah kalau Lo nggak nganggap bercanda." Laras tersenyum. Mia tidak hanya membawa makanan untuk Laras, tapi juga untuk Ibunya.
"Ibu sakit apa? Mendadak banget, kemarin nggak denger Lo ngeluh beliau sakit."
Mia dan Laras berbincang sambil menikmati seblak di dekat taman belakang rumah sakit.
"Mendadak. Kata Dokter Ibu kena serangan jantung."
Sekeras apapun Laras membuat suasana tetap ceria, tapi ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Serangan jantung?"
Laras mengangguk. "Dia lihat gue dan si kurang ajar bertengkar, dan pas si berandalan itu mukul gue, Ibu kaget."
Laras menunjukan luka lebam di wajahnya yang sengaja ditutupi dengan menggunakan bedak cukup tebal.
"Ya ampun, Laras."
"Udah nggak sakit kalau Lo prihatin. Ini nggak seberapa dibandingkan sakit hati gue ngeliat Ibu terbaring lemah kayak gitu."
"Gue turut prihatin."
"Jangan prihatin doang dong, bantu bayar pengobatan juga." Laras tersenyum.
"Gue pasti bantu,"
"Ah elah bercanda kali!"
Sekilas Mia merasa iri dengan kepribadian Laras yang selalu menerima apapun keadaan yang sedang dihadapinya. Tidak seperti dirinya yang selalu berlebihan dalam menghadapi situasi.
"Muka Lo kusut juga, kenapa?" Selidik Laras.
"Berantem?"
Mia menggelengkan kepalanya, "Kami baik-baik aja." Balasnya dengan senyum hambar.
"Lo nggak bisa bohong, Mi. Gue udah hafal banget gimana Lo,"
Mia kembali tersenyum. "Sok tau!"
"Aslinya gue emang selalu tau."
Mia pun menceritakan apa yang terjadi kemarin, yang tentunya menjadi awal penyebab kemarahan Alex. Reaksi yang diberikan Laras tentu sama, ia takjub dengan sikap baik Mia yang dianggapnya kelewat baik bahkan cenderung tidak masuk akal.
"Lo butuh berobat kayaknya, Mi. Otak Lo udah geser beberapa senti." Cibir Laras.
"Gue udah berobat, tapi belum ada hasilnya."
"Gue masih nggak habis pikir dengan keinginan Lo itu, aneh bin ajaib."
"Nggak aneh ah, Lo aja yang berlebihan."
"Yang ada Lo, bukan gue! Lo terlalu over thinking. Suami Lo jatuh cinta sama wanita lain batu tau rasa Lo. Nangis-nangis nanti Lo!"
"Dia nggak balas pesan gue. Marahnya udah sampai level dua." Mia mengalihkan pembicaraan. Ia tau, Laras akan mencemooh keinginannya itu seperti yang diucapkannya beberapa waktu lalu.
"Nggak biasanya dia marah sampai nggak balas pesan." Mia masih memeriksa ponsel dimana ia mengirim pesan singkat sejak satu jam lalu, tapi Alex tidak kunjung membalas.
"Lagi selingkuh sama sekretarisnya mungkin. Usaha Lo mendekatkan mereka pasti berhasil apalagi sekretaris suami Lo itu caper abis!"
Mia menyipitkan mata, menatap ke arah Laras.
"Lo tipe cemburuan banget."
"Jelas lah! Gue tipe wanita yang nggak mau berbagi kayak Lo! Milik gue ya milik gue! Nggak ada ceritanya berbagi sama orang lain apalagi ditawarkan pada orang lain. Lu kata suami payung, yang bisa Lo pinjemin sesuka hati."
Mia hanya tersenyum samar. Benar bukan, berada di dekat Laras memang bisa membuat hatinya sedikit membaik. Meskipun telinganya terasa panas akibat umpatan dan kalimat pedas yang dilontarkannya.
"Gue balik ke kantor dulu, ya. Kalau ada apa-apa segera hubungi gue."
"Oke. Makasih ya,"
Mia menganggukan kepalanya dan pergi meninggalkan Laras yang masih harus menemani Ibunya.
Kondisi keluarga Laras memang cukup memprihatinkan, dia tulang punggung keluarga yang harus menanggung beban semua kebutuhan keluarganya. Saat ini Laras hanya memiliki Ibu dan satu kakak laki-lakinya. Sayangnya Kakak lelaki yang seharusnya menjadi pengganti sosok Ayah, justru menjadi sumber masalah. Salah satu kebiasaan buruk yang sering dilakukan Kakak Laras adalah mabuk-mabukan bahkan tidak segan memukul Laras atau ibunya. Laras mungkin bisa membalas atau melawan, tapi Ibu?
Terkadang hal itu yang membuat Laras lebih baik menuruti keinginan Kakaknya daripada harus berdebat yang pada akhirnya bisa mencelakai Ibu.
Beberapa kali Mia pernah membantu Laras dalam bentuk uang. Laras selalu menyebutnya sebagai pinjaman, meskipun Mia tidak pernah menagih atau menganggap hutang.
Sekembali dari rumah sakit, Mia tidak lantas ke kantor. Selain ada urusan di luar kantor, juga ia akan menemui seseorang terlebih dulu. Tapi sebelum itu, ia harus menghubungi Alex terlebih dulu untuk memastikan apakah lelaki itu sudah makan atau belum. Tapi Alex tidak kunjung menerima panggilan Mia, sampai Mia harus menghubungi ulang.
Akhirnya panggilan terhubung, tapi bukan suara Alex yang ia dengar tapi suara Siska.
"Hallo, Bu Mia."
Suara Siska terdengar nyaring dari seberang sana.
"Bapak mana, Sis?"
"Bapak ada meeting, sebentar lagi selesai. Tadi Bapak minta saya untuk menerima panggilan Ibu."
"Oh begitu. Ya sudah, saya hanya ingin memastikan saja dia sudah makan atau belum."
"Belum, Bu. Tapi saya sudah pesan makanan untuk Bapak."
"Syukurlah."
.panggilan tidak berlangsung lama, Mia segera mengakhiri. Sampai saat mobilnya berhenti di dekat lampu merah, Mia tersenyum samar. Ternyata begini rasanya ketika suami ada yang memperhatikan dan bukan dia yang melakukan hal tersebut. Rasanya masih sedikit aneh, tapi Mia yakin ia akan mulai terbiasa nantinya.