Sebagai seorang suami tentu saja Alex merasa sikap Mia terlalu berlebihan. Apalagi sampai merencanakan piknik yang membuat suasana hatinya buruk. Piknik dengan menghadirkan Siska dan Gisel tidak ada dalam bayangannya sedikitpun. Piknik yang diinginkannya justru piknik berdua saja. Tapi alibi Mia justru berhasil membuat Alex berada dalam situasi menyebalkan apalagi saat Mia meminta Alex mengantar pulang Siska dan Gisel, sementara ia turun di tengah jalan.
Sangat menguji kesabarannya.
"Terima kasih, Pak." Siska merasa sangat canggung apalagi setelah Mia mengutarakan niatnya untuk mendekatkan dirinya dan Alex.
"Iya," Jawaban singkat Alex sudah menunjukan bahwa dalam acara piknik dan perjodohan ini hanya Mia yang merasa senang. Selebihnya tidak.
Alex segera meninggalkan kediaman Siska dan kembali menuju rumah. Dalam perjalanan pulang ia masih berpikir bagaimana cara untuk menghentikan kekonyolan ini.
Kenapa akhir-akhir ini Mia semakin aneh saja.
"Bi, Mia dimana?" Tanya Alex, saat ia menemukan Bi Mar di ruang televisi.
"Tadi ada di kamar."
Alex segera menuju kamar, berharap istrinya ada disana. Tapi ternyata Mia tidak ada di kamar.
"Mia nggak ada di kamar, Bi." Alex kembali menghampiri Bi Mar yang belum juga berganti posisi, masih menatap serius ke arah televisi.
"Tadi sebelum Bi Mar buang sampah, Non Mia masih ada di rumah. Bi Mar kira, Non Mia ada di kamar. Soalnya tadi bilang capek mau istirahat."
Alex memeriksa ponsel untuk menghubungi Mia dan mencari tau keberadaannya. Panggilan terhubung, tapi Mia tidak kunjung menjawab. Hal tersebut membuat Alex mulai cemas.
"Kemana dia?" Gumamnya.
Bi Mar pun mulai merasa cemas dan membantu Alex mencari Mia di sekitar halaman depan dan belakang. Anehnya Mia tidak ada dimanapun.
"Bi Mar cari apa?" Saat Bi Mar melewati gudang kosong yang ada di bagian paling belakang rumah, ia mendengar seseorang bertanya padanya. Saat menoleh Bi Mar menemukan Mia tengah duduk santai di sebuah bangku.
"Non, dicariin dari tadi ternyata ngumpet disini." Bi Mar menghela lega.
"Pak! Non Mia ada disini!" Teriak Bi Mar.
"Jangan bilang-bilang Alex aku ada disini." Mia segera membuang puntung rokok dari tangannya ke sembarang arah.
"Tapi Bapak cariin Non Mia dari tadi, kasihan dia khawatir banget."
"Emangnya dia udah pulang? Cepet banget." Saat Mia beranjak dari tempat duduknya, Mia melihat Alex berjalan menuju ke arahnya.
Semoga puntung rokok dan asap yang ditimbulkan tidak membuat Alex curiga, sebab selama ini Mia menutupi kebiasan merokok dari Alex.
"Non Mia ada disini ternyata." Ucap Bi Mar.
"Memangnya kalian pikir aku dimana?" Mia tersenyum ke arah Alex tapi lelaki itu justru menatap tajam ke arahnya. Menyadari sikap suaminya sedang dalam mode tidak baik, Mia pun meminta Bi Mar pergi.
"Bi Mar boleh pergi duluan, kami mau nongkrong disini dulu." Ucap Mia.
"Baik, Non."
Setelah Bi Mar pergi, Mia kembali duduk di tempatnya semula. Tidak ada pemandangan indah disana, hanya ada tumpukan barang-barang dan sedikit gelap akibat minimnya pencahayaan. Sangat sepi, dingin dan banyak nyamuk.
"Duduk disini." Mia menepuk ruang kosong di sampingnya.
"Aku sudah menyalakan obat nyamuk bakar, kalau kamu takut di gigit nyamuk." Mia tersenyum jahil.
Alex duduk di samping Mia, tapi lelaki itu masih diam belum bicara sepatah katapun.
"Siska dan Gisel sampai dengan selamat?" Mia kembali bicara.
"Menurutmu?"
Mia tersenyum. Dalam mode kesal seperti saat ini Alex nampak terlihat sangat menggemaskan.
"Menurutku mereka pulang dengan selamat, seperti harapanku."
Asap obat nyamuk mungkin bisa menutupi bau tembakau dari rokok yang dihisap Mia, tapi Alex tidak mudah dikelabui dengan hal remeh seprti itu.
"Sejak kapan merokok?"
Mia menoleh dengan dahi mengerut.
"Bau asap obat nyamuk dan asap rokok tidak sama." Lanjut Alex.
"Ternyata kamu memang sangat peka. Aku tidak bisa berbohong jadinya." Mia tidak akan membalas tatapan tajam suaminya dengan menunjukan sikap yang sama. Karena Alex masih dalam mode menolak, Mia harus lebih sabar menghadapinya.
"Mungkin sekitar satu tahun lalu, tidak ingat kapan pastinya." Jawab Mia jujur.
"Kenapa?"
"Tidak ada alasan khusus. Hanya sudah kecanduan saja."
"Hentikan."
"Tidak bisa."
"Apa kamu sudah tidak peduli dengan kesehatan diri sendiri?"
"Tidak."
"Mia." Sentak Alex.
"Ada apa sebenarnya? Aku semakin dibuat bingung dengan semua ini."
Alex mengusap wajahnya. "Dimulai dengan permintaan konyol mu agar aku menikah lagi dan sekarang," Nafas Alex terengah. "Sekarang kamu menjadi perokok aktif."
Alex masih bisa mengendalikan dirinya agar tidak meluapkan emosi secara berlebihan.
"Apa kamu sedang mengujiku?"
Mia menggeleng lemah. "Tidak."
"Atau mungkin kamu masih meragukan kasih sayang yang aku berikan selama ini?" Selidik Alex.
"Ternyata benar." Alex tersenyum samar, sebagai ungkapan rasa kekecewaan yang dirasakannya saat Mia memilih diam.
"Sekarang aku mengerti." Alex menganggukan kepalanya.
"Tapi seberapa besar pun usahamu mendapatkanku dan Siska, aku tetap tidak akan menikah dengannya."
Tolak Alex dengan tegas.
"Jujur saja, aku sangat kecewa." Ucapnya lagi, sebelum akhirnya Alex pergi meninggalkan Mia sendirian.
Setelah sekian lama Mia bisa melihat kembali bagaimana Alex dalam mode marah. Terakhir kali melihat lelaki itu marah saat kebohongan Mia terungkap, saat mengetahui bahwa janin yang ada dalam rahim Mia bukanlah anaknya. Alex adalah lelaki dewasa yang selalu menyikapi setiap masalah dengan bijak. Meski begitu bukan berarti dia tidak pernah marah.
Tapi saat Alex menunjukan kemarahan, artinya apa yang terjadi sudah membuatnya sangat marah.
Keinginan Mia mungkin terlihat konyol dan tidak beralasan, tapi dibalik itu semua Mia sudah memikirkannya dengan sangat matang. Ia akan tetap meminta Alex untuk menikah lagi, dengan Siska atau wanita lain.
Mia tidak ingin membuat situasi semakin kacau hingga membuat rencananya kacau. Setelah minum tiga pil yang disembunyikannya di lemari dekat vas bunga, Mia pun segera menghampiri Alex yang sudah terlebih dulu berada di kamar.
Alex mungkin sudah mengetahui kebiasaannya merokok, tapi Alex belum tau satu kebiasaan Mia lagi, yang masih disembunyikan Mia sampai hari ini.
Esok paginya Alex masih mendiamkan Mia, meski begitu Mia tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik. Menyediakan sarapan pagi seperti biasa, tapi Mia harus menelan kekecewaan saat Alex tidak menyentuh sedikitpun sarapan yang sudah disediakannya.
"Katanya Bapak buru-buru." Bi Mar menghampiri Mia yang tengah menatap kecewa ke arah piring.
"Iya. Mungkin dia sibuk. Aku akan meminta Siska membelikan sarapan untuk Alex."
Mia mengirim pesan singkat pada Siska agar wanita itu membelikan sarapan untuk Alex. Beruntung Siska langsung mengiyakan permintaan Mia. Sepertinya wanita itu juga tidak menolak saat Mia memintanya untuk mendekati Alex, meski awalnya terlihat terkejut.
"Pak, ini sarapannya." Siska menghampiri Alex yang sudah berada di ruang kerjanya.
"Sarapan?"
"Iya. Saya belikan roti isi dan kopi." Siska menaruh paper bag berisi makanan dan minuman yang sudah dibelinya sebelum berangkat ke kantor.
Alex melihat isi dari paper bag yang diberikan Siska.
"Istri saya yang memintamu melakukan ini?"
Siska tersenyum kikuk. "Maaf, Pak. Bu Mia mengatakan Bapak belum sarapan. Jadi,"
"Terima kasih Siska. Tapi apapun yang diminta istri saya jangan dituruti."
"Tapi, Pak."
"Atasan kamu itu saya, bukan Mia."
"Baik, Pak."
Alek memijat pangkal hidungnya. Ternyata Mia belum juga mengerti bahkan setelah ia mendiamkannya sejak semalam.