Lyra bersenandung senang sambil membaca buku yang dia pegang, sesekali dia tersenyum sendiri dengan kekehan kecil, entah sudah ke berapa kalinya dia tersenyum begitu mengingat hubungannya dengan Damian makin dekat, tidak hanya tahu rumahnya, Lyra juga tahu namanya.
Lyra makin yakin perasaan yang dia rasakan bukan hanya sekedar rasa tertarik saja pada Damian, tapi perasaan Lyra lebih dari yang dia bayangkan. Jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya hanya dengan membayangkan Damian.
"Aku ingin sekali bertemu dengannya lagi," gumam Lyra diselingi senyuman manis.
Lyra menutup bukunya dan menaruhnya di rak, kemudian dia berjalan keluar dari perpustakaan pribadinya dengan senandungan ceria menggema ke seluruh lorong.
"Aku akan membawanya jauh dari kehidupan seperti itu, aku akan menghidupinya dengan layak dan tidak membiarkan dirinya menjual diri lagi, aku sangat tidak suka membayangkan dia menyentuh wanita lain, rasanya membuatku kesal saja," gumam Lyra lagi.
Lyra berencana meminta ayahnya untuk memberi Damian pekerjaan agar dia tidak terus menjual dirinya pada wanita yang membutuhkan kehangatan, mungkin Lyra setelah ini akan melamar Damian.
Seperti yang terbiasanya, Lyra akan mendapatkan semua yang dia inginkan karena kekuasaan ayahnya dan juga uang, sampai Lyra berpikir dengan sempit kalau dia bisa mendapatkan Damian dengan mudah.
"Setelah Papa kembali nanti, aku akan memintanya meluangkan pekerjaan untuk Damian, aku harap Damian bisa hidup lebih baik setelah ini." Lagi-lagi Lyra bermonolog sendiri dengan cengengesan.
Tidak sabar dia menantu ayahnya untuk pulang nanti dan mengatakan semuanya, tapi Lyra takut kalau dia mengatakan menyukainya Damian, ayahnya akan menentangnya. Mungkin dia akan sedikit beralasan pada ayahnya.
Suara deru mobil menepi di depan rumahnya, Lyra langsung berlari menyambut kepulangan ayahnya dengan membawa semua kebahagiaan bersamanya.
"Papa ...!" teriak Lyra berlari memeluk Daniel yang juga merentangkan tangannya.
Daniel memeluk Lyra dengan segala kerinduannya selama seminggu pergi meninggalkan putri tercintanya sendirian, Daniel mengelus punggung putrinya, menjatuhkan kecupan berkali-kali di kening Lyra.
Daniel melepas pelukannya kemudian menangkup wajah Lyra dengan kedua tangannya, melihat dengan teliti setiap sisi wajah anaknya.
"Pelayan di sini bilang kalau Sania menyakitimu? Apa kau baik-baik saja?" tanya Daniel khawatir.
Lyra melepas kedua tangan besar Daniel dari wajahnya. "Aku baik-baik saja, Pa," jawab Lyra.
"Apa yang wanita itu lakukan padamu, Sayang?" tanya Daniel lagi.
"Dia menyerangku setelah aku bilang kalau aku akan mengatakan pada Papa untuk segera mentransfer uangnya, tapi dia malah marah padaku," adu Lyra dengan wajah merengut.
Daniel mengelus pipi putri kesayangannya. "Papa akan memberinya pelajaran padanya," ucap Daniel dengan wajah seriusnya.
Daniel tidak suka ketika Lyra sudah dilukai secara fisik, dia tidak memandang Sania sebagai kekasihnya lagi, jika sudah begini dia sudah sangat mantap untuk memberi Sania hukuman yang lebih dari apa yang Lyra rasakan.
"Sudahlah, aku tidak ingin membahas itu, Pa."
Daniel memperhatikan dari tadi raut wajah Lyra terlihat bahagia, walau dia mendapat kekerasan dari Sania. Biasanya Lyra akan mencak-mencak jika berhubungan dengan Sania, apalagi dengan ini harusnya Lyra sangat marah, tapi ekspresi Lyra berbeda.
Lyra menarik tangan ayahnya ke sofa yang tidak jauh darinya, baru kali ini dia melihat anaknya tersenyum sangat cerah seperti orang sedang kasmaran, Daniel hanya menurut saja keinginan putrinya dengan duduk di sofa sana.
"Ada apa?" tanya Daniel heran.
Dia benar-benar senang senyum putrinya kembali seperti dulu, bahkan mungkin sekarang lebih cerah lagi dibandingkan dengan dia bertemu Samuel dulu.
"Apa Papa ada pekerjaan untuk seseorang?" tanya Lyra antusias.
Daniel mengerutkan dahinya, setelah seminggu dia tinggal, Lyra bukannya menanyakan kabarnya, tapi malah menanyakan pekerjaan.
"Pekerjaan seperti apa yang kau maksud?" tanya Daniel balik.
"Yang tidak mudah dan dengan gaji yang lumayan banyak," jawab Lyra.
Daniel tersenyum kemudian mengelus surai panjang berwarna coklat emas milik putrinya.
"Memangnya untuk siapa? Apa kau sedang ingin membantu seseorang? Siapa dia?" pertanyaan beruntun dari Daniel membuat Lyra menyusun kata-kata di otaknya.
"Ada seorang teman yang sedang mengalami kesusahan, aku ingin menolongnya karena aku pikir dia membutuhkan itu dari pada dia melakukan pekerjaan yang salah seperti, mencuri atau menipu, lebih baik dia bekerja pada kita, kan?" Lyra sangat mulus ketika membuat alasan pada ayahnya sampai Daniel selalu percaya dan tidak bisa membedakan mana yang jujur atau tidak.
"Papa tidak tahu, tapi nanti Papa akan berusaha menyisihkan untuk satu orang," balas Damian.
Damian bisa melihat dengan jelas binar mata putrinya yang berkilat terang, dia jadi merasa senang bisa menyenangkan putrinya hanya dengan seperti ini.
"Terima kasih, Pa ...." Lyra memeluk ayahnya, menjatuhkan dia kecupan singkat di pipi Daniel dengan manisnya.
Daniel membalas dengan kecupan di kening Lyra. Keposesifan Daniel dalam menjaga dan membahagiakan Lyra nyata adanya. Dia begitu karena takut Lyra akan pergi seperti ibunya meninggalkannya hanya karena tidak merasa puas juga bahagia.
"Ke mana saja kau pergi selama Papa tidak ada di rumah?" tanya Damian dengan senyuman.
"Rahasia."
***
Selly melihat seorang wanita di tengah malam dengan keadaan meringis kesakitan berdiri di tepi jalanan yang sepi juga dingin, wanita itu ambruk di posisinya saat ini, tidak lama mobil hitam datang menjemput wanita yang tengah berdiri.
Selly menghela napas gusarnya, sebentar lagi nasibnya akan sama seperti wanita yang barusan dia lihat. Selly menghela lagi napasnya, matanya mulai berkaca-kaca ketika dipaksa mengunjungi rumah aborsi ilegal yang disuruh Samuel.
Tidak ada lagi cara menahan Samuel hanya dengan ini Samuel berhenti mengancam akan meninggalkannya. Untuk Selly yang dibesarkan dari keluarga berantakan yang setiap harinya dipenuhi dengan pertengkaran orang tua, dia juga tidak diinginkan di keluarganya.
Hanya ada satu tempat pulang setelah orang tuanya benar-benar pergi, yaitu Samuel. Setidaknya Samuel lebih baik daripada orang tuanya yang selalu berteriak padanya agar tidak lahir ke dunia, sama seperti janin yang dia kandung, harus tidak terlahir ke dunia karena salah satu dari kedua orang tuanya tidak menginginkannya.
"Apa aku benar-benar harus melalui ini semua?" gumam Selly dengan suara tercekat nyaris tidak keluar.
Walau Samuel mengatakan karena ekonominya belum stabil, tapi Selly tetap merasa berat, dia mencoba mengerti penjelasan Samuel karena memang ada benarnya.
Akan banyak masalah dan perbedaan pendapat karena masalah ekonomi, Selly tidak ingin membiarkan anaknya hidup sama sepertinya.
"Maafkan aku, tapi datanglah kembali nanti ketika aku sudah bisa membesarkanmu dengan baik." Selly mengelus perutnya dengan lembut mengucapkan perpisahan terakhir pada anak yang sedang dia kandung.
Selly menarik napas dalam-dalam dan mencoba menguatkan dirinya, Selly membuka pintu mobil dan keluar perlahan dari mobil yang dia tumpangi barusan.
"Tidak apa-apa, Selly. Ini kau lakukan untuk kebaikan semuanya ...," lirih Selly berbicara dengan dirinya sendiri.
Selly memukul-mukul dadanya menghilangkan rasa sakit yang tidak kunjung hilang. Agak lama Selly berdiam diri di luar mobil sampai akhirnya dia benar-benar yakin.
Selly membalikan tubuhnya, berjalan maju ke tempat aborsi ilegal itu dengan perlahan, ingin rasanya dia lari, tapi entah kenapa kakinya terus saja berjalan tidak sesuai hatinya.
Satu bulir air mata mengalir begitu saja melintasi pipinya tanpa hambatan, disusul bulir lain dari sebelah juga ikut mengalir. Selly memegangi dadanya yang terasa begitu sesak.
"Ayo, Selly ... kau pasti bisa melakukannya, aku yakin kau bisa." Selly menepuk-nepuk dadanya memantapkan hatinya yang sangat gamang.
Tiba-tiba bunyi sirine mobil polisi terdengar menyapa telinga Selly dari kejauhan, langkahnya terhenti, Selly terperanjat kaget serasa hatinya mencelos ke bawah dengan sekujur badan yang menegang juga merinding.
Terlihat beberapa mobil polisi menepi di rumah aborsi ilegal yang akan dia singgahi untuk membuang janinnya, para polisi itu membuka pintu mobil dan keluar dengan membawa senjata api juga borgol di tangannya.
Polisi-polisi itu mendobrak masuk begitu saja, terjadi banyak keributan di dalam rumah itu, Selly masih membeku di titik tempat dia berdiri, rasanya tidak bisa berpindah bahkan sulit untuk bergerak.
Selly melihat beberapa orang ditangkap dengan tangan mengarah ke belakang sebab diborgol, mereka berjalan dengan menundukkan kepalanya seperti kriminal yang seharusnya.
Sampai sini Selly masih tidak bisa bergerak, dia ingin lari, tapi kakinya seakan dipaku di titik ini, sulit sekali untuk melarikan diri dari sini. Selly melihat mereka semua di masukan ke dalam mobil sampai tidak tersisa satu orang pun.
"Apa yang kau lakukan di sini, Nona?"
Salah seorang polisi sudah ada di samping Selly tanpa dia sadari.
"Apa kau salah satu orang yang termasuk menggugurkan janin di sini?"