Bab 15. Mengungkap Perasaan

1580 Kata
Selly terpaksa harus menerima banyak pertanyaan dari polisi yang menemukannya tidak jauh dari rumah aborsi ilegal. Selly menjawab semua pertanyaan dari polisi dengan perasaan cemas sambil meremas jarinya. Untung saja ketika dia diperiksa tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia telah melakukan aborsi di sana, jadi Selly dilepaskan begitu saja tanpa pemeriksaan lebih lanjut. "Bagaimana kau sampai bisa berakhir di kantor polisi?!" tanya Samuel kesal. Baru saja Selly masuk ke dalam mobil dia sudah dituntut pertanyaan dengan teriakan yang keras. "Rumah yang kau sarankan untukku itu, semua orang yang di dalamnya sudah ditangkap oleh polisi, bertepatan dengan datangnya diriku, maka dari itu aku juga diinterogasi," jawab Selly. Samuel memijat pelipisnya serasa pening, padahal dia sudah susah payah mencarikan informasi tempat aborsi itu, tapi semuanya seakan tidak didukung oleh takdir. "Lebih baik kau minum obat saja, lagi pula hanya baru satu bulan, pasti janin itu akan mudah luruh jika kau meminum obat," saran Samuel. Selly diam saja tidak merespon Samuel, dia malah berpikir kejadian hari ini adalah pertanda kalau dia harus membiarkan bayinya tumbuh dan semesta tidak mengizinkannya menggugurkan bayinya. "Sam ...," panggil Selly. Samuel yang tengah memijat peningnya menoleh ke arah sang kekasih. "Biarkan aku membesarkan bayi ini," ucap Selly. "Apa kau gila, Sel?! Aku sudah mengatakan alasannya kenapa kita tidak bisa mempertahankan bayi itu, tapi kenapa kau masih bersih keras mempertahankan bayi itu?!" Samuel nampak frustasi dibuat Selly. "Coba kau pikir, Sam. Rencana yang sudah kau susun sedemikian rupa beberapa hari ternyata gagal hanya dalam hitung jam, tidakkah kau pikir ini pertanda agar kita tetap mempertahankan bayi ini?" bujuk Selly. Samuel berpikir kalau perkataan Selly ada benarnya, tapi dia juga berpikir kalau bayi ini dibiarkan akan menjadi masalah di saat ekonomi yang belum stabil. "Tapi ekonomi kita belum stabil, Sel. Apa kau tidak berpikir kalau anak kita lahir dengan penuh penderitaan seperti kita?" Samuel mencoba meyakinkan Selly kalau ini adalah pilihan terbaik untuknya saat ini. Selly tidak marah, justru dia tersenyum sambil mengelus perutnya, lalu dia menatap Samuel. "Tidak, Sam. Aku akan mengurusnya dengan baik, aku akan sangat mengirit untuk anak kita begitu dia terlahir ke dunia dan aku bisa menambah kerjaan sampingan selesai mengajar di taman kanak-kanak ... maka dari itu ayo kita menikah." Perkataan Selly kali ini sama sekali tidak mengundang emosi Samuel, justru Samuel malah berpikir sangat jahat selama ini pada Selly yang tengah mengandung anaknya. Samuel masih mencintai Selly, tapi perasaannya tidaklah sama seperti dulu ketika mereka berhubungan sembunyi-sembunyi dari Lyra, rasa sayang yang sama, tapi tidak meledak-ledak seperti dulu, sekarang Samuel malah merasa lebih santai. "Aku tidak punya cukup uang untuk membuat acara pernikahan ...," ucap Samuel. "Tidak perlu acara, kita hanya perlu mendaftarkan pernikahan kita, aku tidak membutuhkan acara pernikahan yang megah ataupun yang sederhana selama kau membiarkan bayi ini hidup," ungkap Selly. Selly menunjukan keinginan yang begitu besar terhadap mempertahankan bayi di dalam kandungannya, malam ini juga Samuel melihat tekad di mata Selly yang kuat untuk menjadi seorang ibu yang baik. "Selly, dengarkan aku ... maafkan aku untuk sikapku belakangan ini padamu, aku minta maaf dari awal pertama membentakmu sampai tadi." Akhirnya Samuel luluh pada keteguhan Selly. "Ayo kita menikah, Sam ...," lirih Selly. "Ya, ayo kita menikah." *** "Dam ...," panggil Lyra dengan manja. Lyra menyandarkan kepalanya ke d*da bidang Damian, dengan senang Damian menyambutnya berupa elusan di kepala Lyra. Hubungan mereka tidak terlihat sebagai pembeli dan penjual, malah seperti sepasang kekasih. Lyra sangat menyukai Damian, bukan hanya suka, rasa sayang dan cintanya tumbuh begitu saja tanpa disuruh, sesuatu bermekaran di hati Lyra dan tentu itu bukan bunga. Perutnya terasa geli meremang seperti ditempeli banyak kupu-kupu, hatinya benar-benar penuh oleh Damian. "Ada apa, Nona cantik?" Damian mengerling manja menatap Lyra. "Apa aku boleh bertanya?" tanya Lyra mengubah nada bicaranya jadi serius. "Kau tinggal menanyakannya saja, kenapa harus bertanya untuk menanyakan sesuatu, kau ini aneh sekali," balas Damian. Lyra merengut dikatakan aneh oleh Damian, dia menanyakan itu karena Damian selalu menyentilnya setelah mendengar pertanyaan dari mulut Lyra. "Aku malas jika kau menyentil dahiku lagi setelah mendengar pertanyaanku," timpal Lyra. Damian terkekeh melihat bagaimana Lyra mengingat tentang itu padahal dia sedang tidak mengingatnya, tapi Lyra malah mengingatkan hal yang lucu baginya. "Itu karena kau menanyakan sesuatu yang tidak sopan," sahut Damian. "Halah ... padahal tinggal menjawab, tidak perlu menyentilku!" gerutu Lyra dengan tempo cepat. Damian tertawa mendengar Lyra mengomel dengan nada yang sangat cepat, dia seakan mendengarkan lagu hip-hop dengan suara imut Lyra yang nge-rap. "Kau menertawakanku!" keluh Lyra. Damian makin tertawa melihat Lyra yang merajuk padanya, wanita di hadapannya benar-benar terlihat polos yang hanya bergayaan menyewa pria untuk menemaninya tidur, padahal Lyra tidaklah buruk ataupun nakal. "Sudahlah!" Lyra lebih memilih untuk tiduran saja, membalikkan tubuhnya dan menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. "Hei ... jangan merajuk begitu. Baiklah, baiklah, kau ingin bertanya apa, Nona cantik?" Damian menyingkap selimut dan mengelus rambut Lyra yang panjang, halus, juga berkilau. Rambut panjang dengan warna coklat itu membius Damian sampai tidak sadar sudah mencium rambut Lyra, merasakan aroma cherry yang melekat di sana. Lyra membalikkan tubuhnya menatap sepasang manik berwarna hitam pekat milik Damian yang terlihat begitu meneduhkan. "Apa jika kau mendapatkan pekerjaan lain, kau akan meninggalkan pekerjaanmu yang ini?" tanya Lyra serius. Damian mengernyitkan alisnya menatap bingung ke arah Lyra, tiba-tiba saja wanita itu membicarakan tentang pekerjaannya. "Tergantung ...," jawab Damian mengambang. "Tergantung bagaimana?!" Lyra langsung tidak bisa menunggu lagi untuk mendapatkan jawaban Damian. "Tergantung dari uang yang aku dapat," jawab Damian memperjelas. Lyra mengerutkan alis, entah kenapa dia jadi kesal sendiri. Lyra berbalik lagi memunggungi Damian enggan menatap wajahnya. "Dasar matre!" hina Lyra. Justru Damian malah tertawa mendapat hinaan dari Lyra. Damian ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk Lyra dari belakang. "Jangan khawatir jika aku berganti pekerjaan kita tetap bisa bertemu dan kau masih bisa memesanku, asalkan bayarannya lebih mahal ya, Nona," bisik Damian. "Kau memang benar-benar matre, Dam!" teriak Lyra lagi. "Sudah aku bilang tidak perlu sedih, kau bisa menghubungiku, kita sudah bertukar nomor minggu lalu dan kau terus menghubungiku setiap saat, bahkan saat aku ke toilet pun aku terpaksa membawa ponselku karenamu." Lyra jadi berdebar ketika tangan Damian mengelus lembut bagian perutnya, membuat rasa meremang jadi semakin jelas. "Hari Minggu nanti apa kau bisa meluangkan waktumu?" tanya Lyra. "Tentu, untuk Nonaku yang paling cantik, kau bisa memesanku kapan saja," jawab Damian. "Bukan tentang masalah ranjang, ada sesuatu yang ingin aku lakukan di hari itu, aku ingin menghabiskan waktu berjalan-jalan denganmu, tentu aku tetap akan membayarmu karena meluangkan waktu," jelas Lyra. "Aku ingin menyatakan perasaanku, Dam," batin Lyra. *** Daniel terus memacu Sania yang tampak sudah kewalahan dengan permainannya, dia masih belum puas dan hatinya terasa mengganjal dengan kejadian beberapa hari lalu. Sania terus mendesah di bawah Daniel dengan segala gesekan panas di relung terdalamnya, Daniel membawanya ke puncak beberapa kali dengan permainan kasarnya. Daniel tidak sanggup melihat wajah Sania yang menikmati miliknya dengan lancang dia mendesah menyebut namanya, tiba-tiba Daniel mengangkat tangan tinggi-tinggi dan melayangkan tamparan kuat ke Sania yang mendesah. "Ahh ...!" Ini jauh lebih baik bagi perasaan Daniel, melihat raut wajah kesakitan Sania jauh lebih baik dibanding yang tadi, Daniel melayangkan tamparannya lagi dengan kuat di pipi sebelah Sania. "Sakit, Niel ...!" teriak Sania. Tapi Daniel malah tertawa melihat wajah terluka Sania yang pipinya mulai memerah akibat tangannya yang membekas di sana. "Nikmati saja, kau tahu aku sering bermain kasar." Sekali lagi Daniel melakukannya. Sudut bibir Sania mengalir darah segar, dia tidak lagi merasakan nikmat yang tadi, Sania malah meringis kesakitan dengan semua perlakuan Daniel. Dengan tega Daniel menampar Sania lagi, hasratnya makin terbakar melihat Sania terluka, apalagi dengan teriakan kesakitan wanita itu membuat Daniel makin semangat memompanya. "Teruslah kesakitan seperti itu, kau membuatku makin menginginkannya," ucap Daniel di sela aktivitasnya. "Kau tidak sedang bernafsu padaku, tapi kau sedang membalasku yang menyerang anakmu waktu itu!" teriak Sania. "Aku rasa keduanya," sahut Daniel dengan santai. Sania berusaha bangun dan berontak, tapi sayangnya tenaga Daniel lebih kuat darinya, Daniel terus memacu Sania tanpa belas kasih sampai akhir wanita itu menitikkan air mata. "Hentikan, Daniel ... aku kesakitan," lirih Sania. Ekspresi wajah Daniel langsung berubah datar, dia menghentikan aktivitasnya dengan milik yang masih tertanam pada punya Sania. "Lalu bagaimana dengan putriku? Bagaimana dengannya ketika kau menyerangnya begitu?!" teriak Daniel. Daniel menangkup wajah Sania dengan satu tangannya dan menatap tajam wanita yang berstatus sebagai kekasih di hadapannya. "Kau bisa minta baik-baik kalau sebenarnya membutuhkan uang, tapi kenapa harus menyerang putriku begitu?!" Damian menyentak tangannya kasar membuat Sania terhentak ke ranjang. "Putrimu yang duluan tidak sopan padaku, kau selalu membelanya walaupun dia yang bersalah!" kilah Sania. Daniel menghentak miliknya menanam semua sampai tidak ada jarak membuat Sania menggelinjang ngilu karena sudah terbentur begitu mepet. "Apa kau pikir aku tidak tahu? Para pelayan di sana kau duluan yang menyerangnya hanya karena dia mengatakan akan memberitahuku kalau kau meminta uang," tampik Daniel. "Dia yang menghinaku, Niel. Aku datang baik-baik, tapi putrimu terus menganggap kalau aku di bawahnya dan menginjak-injak harga diriku," kilah Sania lagi. Daniel menatap wajah Sania sejenak, kemudian mencabut miliknya dan buru-buru mengenakan pakaiannya. "Kau tahu, San? Tadinya aku akan memaafkanmu jika saja kau mengakui kesalahanmu dan meminta maaf, tapi dari awal sampai akhir kau terus saja berkilah." Suara Daniel sangat merendah. Daniel meraih tasnya yang tergeletak di samping meja kemudian mengambil sesuatu dari dalamnya, beberapa ikat uang yang tebal dia lempar ke Sania yang masih dalam keadaan telanjang di ranjang. "Ini bayaranmu untuk tadi, mari kita putuskan hubungan, aku tidak mau meneruskan hubungan dengan wanita yang terus saja memusuhi putriku!" tandas Daniel. Daniel langsung beranjak melangkahkan kakinya ke arah pintu. "Tidak, Niel, tunggu ....!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN