Satu hari telah berlalu selepas kepergian Gwen dari hidup Jessica dan Brendan. Keduanya kembali tinggal bersama, coba menguatkan satu sama lain walau rasa sedih itu masih menyelimuti hati keduanya, karena kehilangan sosok orang tua yang tak pernah lelah meminta mereka untuk mempertahankan pernikahan adalah sesuatu hal yang berat.
Kini tak ada lagi sosok Gwen yang akan menasehati Jessica dan Brendan jika sedang terjadi kesalahpahaman dalam pernikahan keduanya. Brendan berusaha untuk menjadi lebih dewasa dan sabar menghadapi setiap masalah yang nantinya akan menghampiri hidup mereka ke depannya.
"Jessy, makan dulu yuk. Sudah sejak kemarin kamu tidak makan apa pun, nanti kamu sakit kalau terus menyiksa diri seperti ini lho," ucap Brendan coba membujuk istrinya yang terus mengurung diri di kamar dan menangis.
"Aku nggak laper, Brendy." Hanya jawaban itu yang terus Jessica lontarkan setiap kali suaminya menawarinya makan.
"Nggak mungkin kalau kamu nggak laper Jessy, sementara sudah sejak kemarin kamu tidak makan apa pun. Ayo bilang sama aku, kamu mau makan apa biar nanti aku yang masakin untuk kamu," bujuk Brendan yang tidak kenal lelah sembari mengusap pucuk kepala Jessica penuh kelembutan dan duduk di tepi ranjang, tepatnya di samping tubuh Jessica yang telungkup dan menutupi wajahnya di permukaan bantal.
Jessica sejenak mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Brendan, menatap kedua mata suaminya lekat-lekat dengan penuh kesedihan. "Aku nggak nafsu makan, Brendy. Kamu ngerti nggak sih kalau aku tuh lagi sedih banget karena kehilangan Mommy?!" teriak Jessica dengan suara parau dan tangisannya semakin terdengar lirih.
"Bagaimana mungkin aku tidak mengerti, karena aku juga merasakan hal yang sama, Jessy. Tapi coba kamu pikirkan, mau sampai kapan kamu akan terus menyiksa diri seperti ini dan tidak kasihan dengan dirimu sendiri? Kamu pikir Mommy bahagia di atas sana melihat kamu terus menangisi kepergiannya?" ucap Brendan yang terus berusaha untuk menyadarkan Jessica dari kesedihan yang tak berkesudahan.
Perkataan Brendan membuat Jessica bangkit dari posisi lemah tak berdayanya dan duduk menghadap ke arah Brendan dengan tangisan yang semakin tersedu-sedu.
"Terus apa lagi yang bisa aku lakukan selain menangis? Aku hancur karena dia pergi secepat ini, Brendy. Ini terlalu cepat untuk aku, dan rasanya sulit untuk memaafkan diriku sendiri, Mommy terkena serangan jantung karena mendengar perkataanku. Harusnya aku tidak perlu mengatakan hal itu padanya. Aku menyesal, Brendy. Aku ingin Mommy kembali…" tangis Jessica penuh rasa sesal yang berkecamuk di dalam diri. Wanita itu terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Gwen.
Brendan segera menangkup kedua lengan wanita itu dan mengusapnya secara perlahan, ia coba menenangkan Jessica yang tampak hancur, sehancur-hancurnya.
"Itu tidak mungkin terjadi, Jessy. Mommy tidak akan pernah bisa untuk kembali lagi. Kamu harus ikhlas agar Mommy tenang di sisi Tuhan. Please, berhenti menyiksa dirimu dengan cara seperti ini. Kamu harus kuat karena kamu tidak akan sendiri di sini, ada aku yang akan selalu menemani dan menjagamu," ucap Brendan dengan penuh penekanan.
"Tapi bagaimana jika suatu hari nanti kamu akan pergi meninggalkanku? Kalau kamu benar-benar pergi dari hidupku, itu artinya aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," tanya Jessica dengan suara yang bergetar, menandakan betapa takutnya wanita itu jika harus kehilangan Brendan, satu-satunya orang yang ia miliki saat ini setelah Gwen tiada.
"Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, Jessy." Brendan mengatakan hal itu dengan suara lembut dan mengakhiri kalimatnya seraya menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk seulas senyuman. Kemudian jemarinya mulai bergerak, berpindah dengan menangkup kedua sisi wajah Jessica dan menghapus air mata yang membasahi wajah wanita itu.
"Lalu dengan masalah yang belum selesai ini bagaimana? Apakah kamu percaya jika aku tidak seperti apa yang Patrick tuduhkan? Apakah kamu siap dengan semua kenyataan yang akan kamu lalui nanti ke depannya bersamaku?" tanya Jessica yang sangat berharap Brendan akan tetap bersamanya apa pun konsekuensinya.
Brendan sejenak menggelengkan kepalanya dengan napas yang terdengar berat saat dihembuskannya. "Aku akan berusaha melupakan masalahmu dengan Patrick, dan aku siap menemanimu untuk melalui masalah ini terlepas kamu benar atau salah."
"Tapi aku tidak salah, Brendy. Percayalah padaku…" Jessica sangat ingin menyakinkan Brendan bahwa dirinya tidak bersalah sampai pria itu benar-benar percaya akan kebenaran yang terlontar dari mulutnya.
"Jangan bahas itu lagi, Jessy. Aku sudah tidak mau lagi membahas tentang hal itu. Yang terpenting sekarang aku ada untukmu kan!" pinta Brendan yang tidak ingin merusak pikiran dan suasana hatinya yang telah susah payah ia bangun untuk bersikap seolah-olah bahwa masalah perselingkuhan Jessica dan Patrick tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
"Lalu apa artinya kita bersama, tapi kamu tidak mau mempercayai istrimu sendiri? Apa kamu yakin kita bisa kembali menjalani hubungan seperti kemarin, sementara hatimu sulit untuk percaya? Tolong katakan, apakah kamu percaya bahwa aku tidak seperti yang Patrick tuduhkan?" tanya Jessica dengan kedua alis yang saling bertaut. Sorot matanya terlihat begitu memohon agar Brendan mau percaya padanya.
Brendan menggelengkan kepala dengan perlahan. "Baiklah, jika kamu memaksaku untuk menjawab pertanyaanmu itu. Sampai detik ini aku masih sulit untuk yakin jika kamu dan Patrick tidak pernah menjalin hubungan di belakangku. Aku sudah menjawabnya kan, lalu kamu ingin aku menjawab pertanyaan apa lagi?" jawabnya seraya menurunkan kedua lengannya yang terasa lemas karena lagi dan lagi Jessica kembali membahas hal tersebut yang selalu berhasil membuatnya terluka.
"Kalau kamu masih sulit untuk percaya, lalu kenapa kamu masih mencoba untuk mempertahankanku? Sementara kita sudah tidak bisa menjalin hubungan seperti dulu lagi dengan tidak adanya kepercayaan di antara kita?" tanya Jessica kembali dengan air mata yang semakin mengalir deras karena sesulit itu untuk membuat Brendan percaya.
"Karena aku sudah berjanji pada Mommy, untuk mempertahankan pernikahan ini apa pun yang terjadi, dan aku akan menjagamu demi Mommy."
Jawaban Brendan sungguh melukai hati Jessica yang sudah berani untuk kembali menggantungkan harapan bahwa keduanya akan bersama saat Brendan menghampirinya di rumah sakit. Harapan itu seketika hancur berkeping-keping dengan rasa sakit yang terpatri.
"Hanya karena janji kamu pada Mommy?" tanya Jessica yang coba meyakinkan bahwa Brendan tidak salah saat mengatakan hal tersebut karena ia tidak percaya semudah itu Brendan melupakan cinta mereka yang sudah hidup lebih dari lima tahun di hati masing-masing.
"Ya, karena aku sangat menghormatinya seperti ibuku sendiri. Aku ingin berbakti dan menepati janjiku padanya karena Mommy sangat percaya bahwa aku tidak akan mengingkari janjiku sendiri."
"Itu artinya kamu menjalani pernikahan denganku sekarang bukan karena cinta, tapi melainkan karena janji kamu sama Mommy. Kalau seperti itu lebih baik kita tidak perlu bersama jika kamu menjalaninya dengan terpaksa dan itu hanya semakin membuatku sakit, Brendy!" ucap Jessica yang semakin dibuat hanyut bersama rasa sakit atas kata-kata menyakitkan yang terucap oleh mulut pria yang selama ini selalu terdengar manis saat berbicara padanya.
"Semua keputusan ada padamu, Jessy. Terserah kamu mau tetap bersamaku atau tidak, yang jelas aku sudah berusaha untuk menepati janjiku sama Mommy," jawab Brendan yang terdengar tidak peduli atas rasa sakit yang Jessica rasakan karena jawabannya.
"Tapi Mommy tidak akan bahagia jika kamu bersamaku karena terpaksa, bukan karena cinta, Brendy!" Jessica kali ini terdengar berteriak untuk meluapkan rasa sakitnya, bahkan ia memukul d**a bidang Brendan berulang kali untuk menyadarkan pria itu agar berhenti melukai perasaannya walau tidak berdarah.
"Kamu sendiri yang sudah menghancurkan kepercayaan dan cintaku, Jessy!" tegas Brendan yang amarahnya mulai terusik karena Jessica terus membahas hal yang tidak ingin didengarnya lagi.
"Aku tidak melakukan kesalahan seperti yang Patrick tuduhkan untuk menghancurkan kepercayaanmu. Bahkan kamu sendiri yang telah menghancurkan perasaanku dengan kamu tidak percaya atas penjelasanku dari kejadian yang sebenarnya. Kalau kamu masih tidak bisa percaya, lebih baik kita hidup masing-masing daripada kamu bersamaku karena terpaksa! Sepertinya percuma kita bersama karena kita sudah tidak sejalan lagi!" ungkap Jessica dengan tekad yang bulat untuk memutuskan sesuatu hal yang dianggapnya benar, karena untuk apa kembali bersama jika keduanya sama-sama merasa tersakiti.