Kehilangan Paling Menyakitkan

1630 Kata
Setibanya di rumah sakit, Brendan langsung mencari keberadaan Jessica yang diketahui belum mendengar kabar tentang Gwen. Pria itu melangkah dengan perasaan hancur, hingga ia tak fokus dengan keadaan sekitar sejak pergi meninggalkan kediamannya. Bahkan ia sama sekali tak menghiraukan beragam pertanyaan wartawan yang menyerbunya dengan pertanyaan bertubi-tubi begitu mengetahui Brendan keluar dari rumah. Bahkan kini banyak wartawan yang memenuhi pelataran lobi rumah sakit. Beruntungnya rumah sakiti ini menerapkan peraturan yang sangat ketat, hingga tidak ada satu pun wartawan yang diizinkan untuk masuk. “Ya Tuhan, bagaimana nanti saat Jessica mengetahui semua ini? Apa yang harus aku lakukan untuk meredakan kesedihannya? Aku sendiri saja tidak tahu, apakah aku bisa menerima semua ini dengan ikhlas atas kepergian Mommy Gwen?” batin Brendan yang terus memikirkan kondisi Jessica saat ini. Namun, jauh di kedalaman hatinya ia masih sangat berharap Gwen baik-baik saja ketika ditemuinya nanti. Hingga pandangannya kini tertuju pada sosok wanita yang begitu ia cemaskan tengah mondar-mandir di depan ruang IGD dengan wajah yang dibasahi air mata kesedihan. “Jessy,” panggil Brendan dengan begitu lirih seraya meraih pergelangan lengan Jessica yang tak bertenaga. Seketika Jessica menoleh ke arah Brendan dengan tatapan mata yang menampilkan raut penasaran. Ia berpikir darimana Brendan mengetahui bahwa dirinya berada di sini, padahal wanita itu tidak berniat untuk menghubungi Brendan lagi agar tidak semakin membebani pikiran Brendan yang sudah tertekan dengan adanya masalah ini. “Brendy… kenapa kamu ada di sini?” tanya Jessica seraya menghapus air mata yang membasahi wajahnya dan berusaha menampilkan raut baik-baik saja di hadapan Brendan. “Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Kenapa kamu ada di sini, Jessy? Apa yang terjadi, sampai kamu mendatangi rumah sakit?” Brendan malah balik bertanya seolah-olah dirinya tidak mengetahui apa pun yang terjadi saat ini. “Hmm, a-aku … aku ke sini untuk membawa Mommy berobat.” Jessica terdengar gugup saat menjawab pertanyaan dari Brendan. “Apa penyakit jantung Mommy kambuh? Terus bagaimana keadaannya sekarang? Mommy baik-baik saja kan, Jessy?” tanya Brendan kembali dengan kedua mata yang mulai tampak berkaca-kaca karena ternyata apa yang Ryan sampaikan padanya benar. Jessica menggelengkan kepalanya dengan perlahan, dan napasnya tercekat karena tidak tahu harus menjawab apa mengenai kondisi Gwen yang sampai saat ini masih ditangani Dokter Laura, pikirnya. “Aku tidak tahu, karena sampai saat ini aku belum mendapat kabar apa pun dari dokter yang menangani Mommy di dalam sana. Lalu kenapa kamu ada di sini? Kamu belum menjawab pertanyaanku soal itu?” tanya Jessica kembali karena cemas jika Brendan mengeluhkan sakit akibat pikirannya yang terlalu dibebani oleh masalah yang ditimbulkan oleh Patrick. “Alasan kenapa aku di sini untuk apa, itu sama sekali tidak penting. Sekarang aku akan berada di sini, menemanimu sampai dokter menyampaikan kabar tentang Mommy karena aku sangat mengkhawatirkannya.” Sementara Brendan masih memiliki harapan yang begitu besar, Gwen selamat dan tidak benar-benar tiada, karena jika itu sampai terjadi tidak hanya Jessica yang merasa kehilangan, ia pun akan merasakan hal yang sama, bahkan dirinya akan sangat menyesal dan dihantui rasa bersalah. “Kamu masih mau peduli padaku, Brendy?” tanya Jessica yang hatinya sangat bahagia melihat dan mendengar Brendan ada di sisinya dan akan menemaninya di sini, di saat dirinya merasa ketakutan akan kehilangan sang ibu. “Tentu saja, karena kamu adalah istriku.” Jawaban Brendan membuat perasaan sedih Jessica seketika berganti dengan kebahagiaan. “Benarkah? Lalu bagaimana dengan keputusanmu yang berniat untuk meninggalkanku?” tanya Jessica dengan dahi yang mengernyit. “Aku belum benar-benar memikirkan untuk mengakhiri pernikahan kita. Kamu saja yang terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan. Kita bisa bahas masalah ini setelah dari pulang rumah sakit, jadi sekarang tolong jangan bahas hal itu dulu karena aku sudah bersusah payah untuk menenangkan pikiranku!” pinta Brendan yang tidak ingin membahas hal tersebut karena pikirannya masih terus fokus kepada Gwen. “Kalau benar begitu, itu artinya kamu memberiku harapan untuk kita dapat kembali bersama, dan aku berharap kita bisa bersama-sama lagi seperti kemarin,” harap Jessica dengan sorot mata yang menampilkan cinta yang teramat dalam untuk sosok pria yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya setelah sempat membuatnya frustasi. Belum lama keduanya kembali terlibat percakapan setelah berpisah selama dua hari tanpa komunikasi, Dokter Laura pun mulai memberanikan diri untuk menghampiri Jessica dan bergegas menyampaikan kabar tentang Gwen, membuat percakapan keduanya terhenti seketika. Melihat sosok yang sangat ia nantikan sejak tadi untuk menyampaikan kondisi ibunya kini berada di hadapannya, Jessica pun segera mengurai genggaman Brendan dari pergelangan lengannya. Lalu Jessica langsung menangkup kedua lengan Laura untuk menuntut jawaban atas pertanyaannya. “Dok, bagaimana kondisi Mommy Gwen? Apa Mommy sudah sadarkan diri? Boleh aku dan suamiku masuk untuk bertemu dengannya?” tanya Jessica yang diselimuti rasa penasaran dan sudah tidak sabar menantikan jawaban dari Laura. Sementara raut wajah Laura tampak berselimut duka dan kedua matanya mulai digenangi bulir-bulir bening, membuat perasaan Jessica yang melihatnya semakin tidak tenang. “Dok, cepat jawab pertanyaanku? Apa yang terjadi pada Mommy?” tanya wanita itu kembali karena ia pernah berada di posisi Laura saat ini, terlihat sulit untuk menyampaikan kabar mengenai kondisi dari pasien yang ditanganinya pada pihak keluarga ketika Jessica tidak berhasil menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Bahkan raut yang ia tampilkan saat itu pun tidak jauh berbeda dengan raut wajah Laura saat ini. Setelah terdiam cukup lama tanpa jawaban sepatah kata pun, Jessica mulai mengguncangkan tubuh Laura sekencang-kencangnya agar wanita itu segera memberinya jawaban. “Laura jawab aku!” teriaknya dengan penuh emosional. “Maaf Dokter Jessica, Nyonya Gwen tidak dapat diselamatkan karena saat tiba di rumah sakit jantungnya sudah berhenti berdetak,” jawab Laura dengan suara bergetar penuh sesal. Jessica tersenyum kecil mendengar jawaban Laura yang hampir berhasil menghentikan detak jantungnya. Lalu kepalanya menggeleng berulang kali karena tidak percaya atas kabar yang Laura sampaikan. “Jangan bercanda kamu, Lau! Aku tahu yang kamu tangani saat ini adalah ibuku, ibu dari sahabatmu. Tapi tidak seperti ini jika ingin mengerjaiku! Ini sama sekali tidak pantas untuk dijadikan lelucon!” jawab Jessica yang segera melepaskan cengkramannya dari lengan Laura dan mendorong tubuh wanita itu dengan sedikit kasar hingga mundur beberapa langkah ke belakang. “Aku tidak sedang bercanda, Jess. Aku mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa Nyonya Gwen telah…” belum selesai Laura dengan jawabannya, Jessica segera mengarahkan jari telunjuknya di permukaan bibir Laura dengan berdesis kesal. “Cukup, Lau! Tidak perlu kamu melanjutkan kata-katamu lagi karena aku akan membuktikannya sendiri. Tapi kamu harus ingat satu hal, jika sampai terjadi sesuatu pada Mommy, aku tidak akan pernah mau memaafkan kamu!” ucap Jessica dengan penuh penekanan, membuat Laura semakin dihantui rasa bersalah karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengembalikan detak jantung Gwen. Setelah menyelesaikan perkataannya, Jessica segera melangkahkan kedua kakinya untuk masuk ke dalam ruang tindakan. Ruangan di mana Gwen berada sejak tadi. Namun, langkah kaki Jessica seketika terhenti karena begitu membuka pintu ruangan yang hendak ditujunya, kedua matanya melihat tubuh Gwen yang pucat dan terbujur kaku di atas brankar hendak diselimuti dengan kain putih oleh paramedis yang berada di sana, membuat Jessica teramat syok dan berlari menuju brankar dengan berteriak memanggil sang ibu. “Mommy…” Jessica menatap lekat-lekat wajah Gwen yang pucat dan membiru, bibirnya bergetar hebat karena tidak tahu harus berkata apa. Jemarinya yang telah mendingin mengusap lembut permukaan wajah sang ibu yang tak menjawab panggilannya. Seketika tangisan Jessica pecah dan ia memeluk tubuh Gwen sekuat-kuatnya, mengguncangkan tubuh yang telah terbujur kaku itu untuk segera bangun. “Bangun, Mom… Aku mohon bangunlah!! Jangan tinggalkan aku di sini…” teriak Jessica berulang kali dengan menangis histeris sambil memeluk jasad ibunya yang tidak bernyawa. Brendan yang sudah berada di samping istrinya berusaha meraih tubuh Jessica dan memeluknya kuat-kuat. “Jessy, kita harus kuat untuk menerima semua ini. Mungkin Tuhan lebih sayang sama Mommy dan tidak ingin membiarkan Mommy berlarut-larut merasakan sakit di sini. Kita harus ikhlas, walau berat. Kamu tidak sendiri, ada aku di sini. Aku janji akan menemanimu dan menjagamu sampai habis usiaku. Aku tidak akan membiarkan kamu merasa sendirian di dunia ini, Jessy. Aku janji…” ucap Brendan yang diwarnai isak tangis karena berusaha ikhlas untuk melepas kepergian Gwen dengan hati yang berat. “Tapi kenapa Tuhan harus setega ini sama aku, Brendy? Kenapa Dia harus mengambil Mommy dari hidupku? Kenapa Tuhan harus menghukumku dengan cara seperti ini? Aku tidak siap untuk kehilangan Mommy dengan cara seperti ini, Brendy. Aku tidak siap kehilangannya, karena aku belum sempat membahagiakannya, dan aku malah memberi Mommy kesedihan sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Mommy belum menjawab permintaan maaf dariku karena aku tidak bisa menepati janjiku untuk mempertahankan pernikahan kita... Kenapa Tuhan tidak bisa memberiku sedikit waktu untuk tetap bersama Mommy sampai aku berhasil membuktikan bahwa aku tidak bersalah? Kenapa aku harus merasakan kehilangan ini, Brendy?” tangis Jessica di dalam pelukan Brendan dengan banyak pertanyaan yang terucap penuh rasa penyesalan. Jessica rapuh, ia hancur karena harus mengetahui bahwa satu-satunya orang tua yang ia miliki di dunia ini kini pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi. Dunianya seakan terbalik tanpa sosok ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang, mencukupi segala kebutuhannya, memberikannya pendidikan terbaik, hingga seorang Jessica tumbuh dewasa dan bertemu dengan jodohnya. Tangisan Jessica semakin terisak karena teramat sulit melepaskan kepergian Gwen di saat dirinya masih begitu membutuhkan sosok ibu yang selalu membelanya, sekalipun putrinya melakukan kesalahan. Kini Jessica merasa kehilangan sosok pelindungnya, sosok yang selalu mendekapnya erat dan tidak pernah melukai perasaannya. “Mommy selalu memaafkan kesalahan apa pun yang kamu lakukan, entah itu benar atau salah, dia tidak pernah marah padamu, Jess. Kita harus kuat, kita harus ikhlas agar Mommy dapat pergi dengan tenang. Tidak hanya kamu, aku pun sangat kehilangan. Kalau boleh jujur aku juga tidak siap untuk kehilangan Mommy secepat ini. Tapi aku tidak bisa melawan takdir Tuhan dan satu-satunya cara yang aku miliki adalah dengan menjagamu, menjaga separuh nyawanya yang ada pada dirimu,” lirih Brendan dengan air mata yang terus jatuh mengalir membasahi wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN