Saat pertama kali pandangannya beradu dengan Alice, seseorang yang sudah sekian lama tak pernah dijumpainya, Brielle berlari kecil menghampiri Alice yang sudah bangkit dari posisi duduknya. Lalu berhambur memeluk tubuh sang kakak yang akhirnya ia rindukan setelah mencegah hatinya untuk tidak merindukan seseorang yang telah ia putuskan untuk pergi dari hidupnya.
“Alice, kamu apa kabar?” tanya Brielle dalam pelukan Alice yang mendekapnya begitu erat, seakan tak rela untuk melepaskan.
“Aku sangat mencemaskan kondisimu, Briel. Aku tidak baik-baik saja sejak kamu pergi dari rumah. Setiap hari aku selalu merindukanmu.” Alice menjawab dengan kedua mata yang sudah digenangi bulir-bulir bening.
“Maafin aku, Alice. Aku sungguh-sungguh minta maaf sudah membuatmu mencemaskan kondisiku. Aku juga menyesal telah berbuat kurang ajar padamu yang selama ini sudah berjuang mati-matian untuk menghidupiku. Maaf atas segala sikapku yang terkesan jahat dan membuatmu sakit hati. Sekarang aku sudah sadar dan sangat menyesali semuanya,” ungkap Brielle yang sudah mulai menitikkan air mata setetes demi setetes.
Hati Alice sungguh bergetar mendengar pengakuan Brielle karena pada akhirnya adik kecilnya dulu kini telah beranjak dewasa dan tahu artinya penyesalan, juga tidak malu untuk meminta maaf atas semua perbuatannya selama ini. Air mata seketika jatuh terurai dari kedua sudut mata dan membasahi pipi.
“Aku tidak pernah marah padamu selama ini, Briel. Walau tidak bisa dipungkiti terkadang aku kecewa dan sering merasa sakit hati, tapi pada akhirnya aku selalu berusaha melupakan dan berpikir wajar kamu menunjukkan sikapmu yang kesal karena tidak bahagia dengan kehidupanmu setelah mama dan papa pergi. Harusnya aku yang minta maaf karena tidak bisa memenuhi segala kebutuhanmu dan mewujudkan semua keinginanmu. Maaf aku sudah sering mengekangmu dan tidak pernah memberikan kamu kebebasan seperti teman-temanmu sampai akhirnya kamu memutuskan untuk pergi dari rumah.” Alice pun mengungkapkan permintaan maafnya dengan beruraian air mata. Ia tak lagi ragu untuk mengatakan isi hatinya pada sang adik.
Dengan perlahan demi perlahan Alice mulai mengurai pelukan keduanya hingga terlepas. Lalu ia menghapus air mata Brielle untuk pertama kalinya karena adik kecilnya itu sangat jarang menangis, bahkan hampir dikatakan tidak pernah. Maka dari itu Alice menilai mental adiknya sangat kuat, tidak lemah seperti mentalnya yang sebenarnya mudah hancur.
Begitupun dengan Brielle yang ikut menghapus air mata sang kakak. Bagi semua orang yang sering menyaksikan percekcokan antara keduanya selama ini, mungkin pemandangan saat ini sangat langka dan wajib diabadikan. Pemandangan yang sangat mengharukan, karena dua wanita yang sama-sama keras kepala akhirnya saling mengakui kesalahan masing-masing dan tidak gengsi untuk melontarkan kata maaf.
Setelah menghapus air mata sang kakak, kini Brielle menangkup kedua lengan Alice dan mencengkramnya dengan lembut. “Kamu tidak salah, kenapa harus meminta maaf? Selama ini kamu sudah melakukan yang terbaik untukku, Kak. Walau kamu tidak bisa memenuhi semua yang aku inginkan, tapi kamu sudah memenuhi segala kebutuhan yang benar-benar aku butuhkan. Kamu sudah banyak berjuang untuk memberikanku kehidupan yang baik dan layak sampai kamu rela bekerja dari bar ke club hanya untuk bisa menghidupiku.”
“Tapi aku sering membuatmu tertekan akan peraturan yang aku buat.”
“Kamu membuat peraturan itu demi kebaikan aku juga, Alice. Jadi itu bukan kesalahan kamu sama sekali. Seandainya aku bisa mengikuti aturan dari kamu, pasti kita masih bersama-sama sampai saat ini,” ucap Brielle dengan tersenyum getir menyesali keputusannya waktu itu.
“Tidak perlu menyesali semua yang telah terjadi. Jadikan semuanya sebagai pelajaran untuk ke depannya. Kamu harus tahu satu hal, Briel, aku bangga denganmu saat ini. Sekarang wanita yang ada di hadapanku saat ini seperti bukan Brielle, si gadis kecil dengan memiliki ego yang tinggi dan tidak suka disalahkan, tapi yang berdiri di depanku saat ini adalah Brielle yang telah dewasa dengan pemikiran yang sudah luas, mau mengakui semua kesalahannya, juga tidak malu untuk meminta maaf. Katakan padaku, apa yang bisa membuatmu berubah jauh lebih baik, Brielle?” tanya Alice yang sangat kagum dengan adiknya saat ini, karena setelah cukup lama berpisah ternyata Brielle menunjukkan perubahan yang sangat luar biasa. Dan perubahan itu mengarah ke hal baik. Merubah sikap negatif menjadi positif.
Brielle yang lupa untuk mempersilahkan Alice duduk, ia pun segera mengajak sang kakak untuk duduk bersebelahan di atas sofa. Lalu ia merangkul bahu Alice dengan senyuman yang mengembang sempurna.
“Kamu yakin ingin tahu alasannya?” tanya Brielle yang balik bertanya dengan nada yang terdengar menggoda.
“Ya, sangat yakin dong.”
“Sejak aku hidup sendiri tanpamu, pelan-pelan pikiranku mulai terbuka. Kesendirian kemarin membuatku sadar bahwa kamu sangat berarti untukku, terlebih ada banyak pengalaman yang menjadi pelajaran untukku, seperti mencari uang halal yang tidak mudah di kota ini, dan aku baru sadar bahwa kamu sudah sangat berjuang demi adikmu yang tidak tahu diri ini. Aku menyesali semua kesalahanku saat aku sudah mencoba melamar di beberapa tempat tapi selalu ditolak, mereka malah balik melamarku untuk menjadi wanita penghibur dan menemani kesepian mereka. Itu sungguh memalukan, aku dipandang rendah hanya karena tidak memiliki pengalaman kerja dan hanya memiliki ijazah SMP. Rasanya aku ingin sekali pulang ke rumah dan meminta maaf padamu, tapi aku sadar kesalahanku sudah begitu banyak yang selama ini hanya menjadi bebanmu sampai kamu benar-benar tidak mempedulikan urusan cinta karena sibuk memikirkan aku. Maka dari itu aku tetap memutuskan jauh darimu, berharap kamu mau fokus memikirkan masa depanmu sendiri tanpa kehadiranku.”
Cerita Brielle membuat Alice menangis hingga terisak-isak. Ia merasa haru dengan begitu banyak pengalaman yang menyadarkan Brielle setelah jauh darinya, hingga membuat adik kecilnya dulu berubah dan membuatnya bangga.
“Seharusnya kamu jangan berpikir seperti itu karena menurutku kamu lebih penting di atas segalanya.” Alice mengatakan hal itu dengan tubuh yang terguncang karena tangisannya kian terisak-isak hingga menyesakkan d**a.
“Sudah ah, jangan terus menangis seperti ini. Masa kita baru bertemu lagi setelah lama berpisah malah terus menerus menangis?” pinta Brielle seraya menghapus air mata Alice yang sudah membasahi wajah cantik sang kakak yang selalu tampak natural, namun menawan. Lalu wanita itu memeluk erat-erat tubuh Alice untuk menguatkannya dan memintanya agar berhenti menangis.
Tak lama kemudian, Morgan datang menghampiri keduanya seraya menghidangkan tiga gelas minuman di atas meja juga dua piring makanan ringan, dan sejak tadi ia asik berkutat di dapur untuk membuat minuman walau hanya sekedar orange juice dan menyiapkan cemilan untuk menemani obrolan Alice dan Brielle.
“Hi, girls. Silahkan diminum dulu, pasti capek kan dari tadi menangis? Sekarang saatnya mengisi tenaga yang sempat terbuang. Maaf ya, aku hanya bisa buat orange juice untuk kalian, dan tadi hanya ada cheese cake di kulkas, jadi silakan dicicipi seadanya,” sapa Morgan dengan ramah dan menghempaskan tubuhnya untuk duduk di sofa yang berada di seberang sofa yang diduduki oleh Alice dan Brielle saat ini.
“Memangnya Brielle nggak masak apa-apa seharian ini?” tanya Alice sembari meraih segelas orange juice yang terhidang di depan matanya dan sungguh menggoda untuk segera diminum, melepaskan rasa dahaga yang sudah mengeringkan tenggorokannya.
"Aku kan nggak bisa masak, Alice," jawab Brielle seraya mengerucut manja.
Setelah menghabiskan setengah gelas orange juice, Alice kembali meletakkan gelasnya di atas meja dan menyentuh punggung tangan Brielle yang berlabuh di atas permukaan pahanya.
"Belajar dong, sekarang kan kamu sudah ada pasangan yang harus kamu hidangkan makanan yang enak-enak setiap mau pergi kerja atau pulang kerja. By the way, tapi kalian memangnya serius sudah resmi pacaran?" tanya Alice saat merasa memiliki kesempatan untuk bertanya mengenai hubungan mereka yang sebenarnya.
Brielle menganggukkan kepala dengan penuh semangat saat akhirnya sang kakak bertanya akan hal tersebut.
"Yes, aku dan Morgan sudah resmi menjadi sepasang kekasih sejak tanggal 14 Februari kemarin. Maaf ya karena aku baru memberitahumu sekarang. Untung saja kamu datang mencariku ke sini, kalau tidak entah sampai kapan kita akan bertemu," jawab Brielle yang terdengar sangat meyakinkan, membuat Alice menelan salivanya kasar-kasar.
Terlebih saat Brielle menampilkan ekspresi yang tampak benar-benar bahagia tanpa merasa tertekan sama sekali.
"Apakah kamu bahagia dengan hubungan ini, Briel?" tanya Alice kembali sambil membagi pandangannya ke arah sang adik dan Morgan yang berada di seberangnya.
"Ya, aku sangat bahagia. Bagiku Morgan adalah pria yang aku harapkan selama ini. Dia tidak hanya tampan, tapi dia baik hati dan lembut. Dia selalu memperlakukan aku seperti ratu di istananya, seperti soal memasak. Morgan tidak pernah memaksaku untuk bisa memasak karena soal makanan bisa pesan di restoran tanpa harus merepotkanku. Dia bisa menerimaku apa adanya dengan segala kekurangan yang aku miliki." Jawaban Brielle semakin meyakinkan Alice bahwa semua yang Morgan katakan benar, tidak seperti yang disampaikan oleh Chiko.
"Ternyata jawaban Morgan dan Brielle sama. Itu artinya mereka benar-benar menjalin hubungan spesial, dan berarti Morgan bukan sengaja menahan Briel di sini, tapi atas keinginan mereka yang sudah menjadi sepasang kekasih. Sepertinya aku tidak perlu lagi mencurigai ada yang tidak beres dengan Morgan karena mereka sama-sama terlihat saling mencintai dan saling membutuhkan satu sama lain. Aku pun dapat melihat ada cinta yang begitu dalam dari sorot mata Brielle. Dia juga terlihat sangat bahagia atas hubungannya bersama Morgan," batin Alice yang memutuskan untuk berhenti berpikir yang tidak-tidak akan hubungan Brielle dan Morgan setelah ia mendengar langsung jawaban dari mulut sang adik yang dianggapnya tidak pernah berbohong.