Saat malam tiba, Brendan memutuskan untuk kembali ke kediamannya seorang diri dan meninggalkan Jessica di rumah Gwen, sebab pria itu masih ingin menyendiri dan tak ingin bertemu Jessica sampai pikirannya benar-benar tenang.
"Aku pasti bisa, walau ini berat!"
Kini pria itu telah bersiap untuk meninggalkan kamar tamu. Penampilannya begitu lusuh dengan mata yang sembab karena pria itu menghabiskan harinya di kamar tersebut sendirian tanpa beranjak pergi keluar dengan tangisan yang seakan tak dapat berhenti, bahkan ia melewati makan siang dan makan malamnya begitu saja tanpa merasa lapar hingga kini.
Kali ini Brendan benar-benar hancur karena hati kecilnya mengatakan untuk pergi meninggalkan Jessica, namun pikirannya menolak dan masih ingin mempertahankan pernikahannya dengan memberi kesempatan kedua untuk Jessica.
Saat Brendan baru membuka pintu kamar, ia dikejutkan dengan kehadiran Jessica yang entah sejak kapan berada di depan pintu tersebut. Dan Jessica segera memeluk tubuh Brendan begitu sosok pria yang ia nantikan untuk membuka pintu tanpa harus dirinya mengetuk terlebih dulu berdiri di hadapannya.
"Jessy, lepas! Aku ingin pulang!" ucap Brendan dengan suara yang terdengar bergetar karena sejujurnya ia pun tidak tega untuk mengatakan hal tersebut saat Jessica baru saja memeluk tubuhnya penuh kerinduan.
Mendengar Brendan akan pulang ke rumah, Jessica pun segera melepaskan pelukannya dan menatap wajah suaminya lekat-lekat. "Kita pulang malam ini? Ya sudah aku siap-siap dulu ya," ucapnya yang begitu semangat karena akhirnya mereka akan kembali pulang ke rumah yang Brendan beli untuk mereka tempati setelah resmi menikah lima tahun silam.
"Bukan kita, tapi aku. Aku akan pulang sendiri malam ini dan kamu tetaplah di rumah ini bersama Mommy!" Brendan menjawab dengan perasaan yang lagi-lagi tidak tega ketika melihat wajah terkejut Jessica hingga kedua pelupuk matanya dengan cepat berkaca-kaca dan dipenuhi bulir-bulir bening bak kristal.
"Maksudnya kamu mau ninggalin aku di sini? Kenapa aku nggak boleh pulang bareng kamu?" tanya Jessica dengan raut merungut. Hatinya begitu sakit mendengar pernyataan Brendan yang memintanya untuk tetap tinggal di rumah Gwen. Seperti sebuah isyarat bahwa akan ada perpisahan di antara mereka.
"Aku masih ingin sendiri dan butuh waktu."
"Dengan cara meninggalkan aku di rumah Mommy?"
"Itu lebih baik, Jessy."
"Terus gimana sama aku? Sampai kapan kamu tega meninggalkan aku di sini dan melarangku untuk pulang ke rumah kita?" Jessica mengajukan pertanyaan itu dengan penuh penekanan walau air mata sudah mulai berjatuhan dan membanjiri wajahnya.
"Sampai aku menemukan keputusan yang tepat. Kalaupun nantinya kita berpisah, kamu boleh kembali ke rumah dan menetap di sana tanpa kehadiranku karena aku memang membeli rumah itu untuk kamu."
"Kamu tega ninggalin aku, Brendy?" tanya Jessica dengan meringis menahan perih di d**a mendengar perkataan demi perkataan yang terlontar dari mulut suaminya.
"Kenapa tidak? Ini sama seperti yang pernah kamu lakukan padaku sejak ada Patrick di hidupmu kan? Kamu selalu minta berpisah dan mengatakan bahwa kamu tidak pernah bahagia dengan pernikahan kita." Brendan coba mengingatkan Jessica akan hal menyakitkan apa yang pernah wanita itu minta darinya dan selalu membuatnya hancur berkeping-keping.
Jessica menggelengkan kepalanya berulangkali dengan kedua alis yang saling bertaut. Tampak penyesalan mendalam dari sorot matanya yang terpancar saat ini. "Aku bohong waktu itu, Brendy. Aku sangat bahagia dengan pernikahan kita. Aku sengaja mengatakan hal itu agar kamu mau meninggalkan pekerjaanmu demi aku. Aku benar-benar menyesal karena pernah semudah itu untuk mengatakan kebohongan hanya demi bisa merubah pikiran kamu bahwa aku lebih penting dari segalanya."
Brendan segera mengarahkan jari telunjuknya di hadapan Jessica untuk meminta wanita itu berhenti bicara. "Cukup, Jessica! Kamu tidak perlu repot-repot untuk menjelaskan semua hal yang pernah terjadi. Aku pamit!" titah Brendan untuk menghentikan Jessica. Kemudian pria itu pun memilih untuk berlalu pergi karena tidak sanggup jika terus-menerus melihat air mata wanita yang begitu ia cintai menetes, tanpa dapat jemarinya hapus.
Jessica segera meraih pergelangan lengan suaminya, membuat langkah Brendan yang belum jauh terhenti seketika. d**a wanita itu naik turun begitu cepat dengan rasa sesak yang membuatnya sulit untuk mengatur napas dengan normal. Bagaimana tidak, ditinggalkan oleh sosok yang paling dibutuhkan di saat-saat seperti ini membuat Jessica sangat terpukul dan pastinya merasa kehilangan.
"Untuk kali ini jangan pergi. Aku mohon, Brendy. Aku sangat membutuhkan kamu untuk bersamaku, jadi please jangan tinggalkan aku di saat seperti ini," mohon Jessica yang berharap diwujudkan oleh Brendan, pria yang selama ini selalu berusaha mengabulkan beragam permintaannya.
"Untuk saat ini aku tidak bisa Jessica, aku benar-benar ingin sendiri tanpa kamu."
"Tapi janji dulu sama aku kalau kamu tidak akan menceraikanku, walau sekarang kamu memutuskan untuk meninggalkanku di sini sementara waktu. Kamu akan segera menjemputku untuk untuk kembali pulang ke rumah, dan kamu janji akan menemaniku saat press conference nanti," pinta Jessica setelah usaha terakhirnya sama sekali tidak dipenuhi oleh Brendan.
"Aku tidak bisa berjanji, tapi jika suasana hatiku nanti sudah mulai tenang maka aku akan menghadiri press conference yang kamu buat," jawab Brendan yang membuat Jessica kecewa.
"Bukan menghadiri yang aku mau, tapi kamu menemaniku dan datang bersamaku ke acara itu."
"Kita bertemu saja nanti di gedung press conference," jawab Brendan yang begitu dingin, sehingga membuat Jessica tak bisa memaksakan kehendaknya agar pria itu mau mengabulkan salah satu keinginannya yang diucapkan dengan sangat memohon.
"Okay, kalau hanya itu yang bisa kamu lakukan untukku… Lalu bagaimana dengan permintaanku yang lainnya? Kamu mau kan janji sama aku?" tanya Jessica yang hampir pasrah dan menyerah.
"Untuk dua hal itu masih akan aku pikirkan lagi. Sudah ya, aku harus pergi sekarang." Brendan pun segera mengurai genggaman Jessica dari pergelangan tangannya hingga terlepas dan membuatnya dapat melangkah pergi dari hadapan wanita yang masih menjadi istrinya itu.
Jessica menatap nanar kepergian suaminya dengan tubuh yang terasa begitu lemas dan lutut yang bergetar, hingga untuk menopang raganya sendiri pun terasa sangat sulit dan membuatnya luruh begitu saja dengan air mata yang semakin mengalir deras.
"Kenapa Tuhan, kenapa Kau membiarkan dia pergi meninggalkanku? Apa salahku? Di mana kesalahanku sampai Kau menghukumku seperti ini karena kesalahan yang tidak pernah aku lakukan? Kenapa pernikahanku harus hancur karena Patrick? Aku dan Patrick tidak pernah selingkuh, bahkan mencintainya pun aku tidak pernah merasa sedikitpun. Aku tidak pernah mengkhianati suamiku, selama ini aku sudah setia dengan pernikahanku. Tapi kenapa semua ini harus terjadi, Tuhan?" Jessica yang hancur menangis dan bertanya-tanya pada sang pemilik kehidupan mengenai ujian yang tengah dihadapinya. Ujian yang terasa berat karena harus ia lalui seorang diri tanpa arah.
"Aku nggak mau pisah sama Brendan, Tuhan. Aku nggak minta banyak pada-MU, Tuhan, aku hanya minta Brendan percaya dan tidak meninggalkan aku. Hanya itu saja, tapi kenapa Kau tidak mengabulkan permintaanku? Kenapa Kau membiarkan Brendan berpikir sampai ke titik di mana dia pergi dan meninggalkanku?" Jessica sangat terpukul dan frustasi akan apa yang dihadapinya saat ini. Wanita itu terus bertanya sembari meremas rambutnya kuat-kuat lalu menjambaknya untuk meluapkan rasa kesalnya karena tak kuasa mencegah kepergian Brendan.
"Sekarang Brendan sudah menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan menceraikan aku sebentar lagi. Dia pulang ke rumah dan meninggalkan aku di sini, lalu dia tidak mau berjanji akan menjemputku untuk kembali ke rumah, bahkan dia menolak untuk menemaniku saat press conference nanti. Apa sudah tidak ada lagi harapanku untuk mempertahankan pernikahan ini, Tuhan?" tanya Jessica dengan lirih dan tubuhnya semakin bergetar hebat. Tangisan wanita itu kian tersedu-sedu, hingga Jessica merasa tak mampu untuk membendung kesedihannya lagi dan ia berteriak histeris untuk meluapkan kehancurannya.
Teriakan Jessica dari lantai dua terdengar jelas oleh Brendan dan Gwen yang tengah bicara empat mata di ruang keluarga, karena akhirnya Gwen berhasil menahan Brendan untuk tidak terburu-buru pergi meninggalkan rumahnya dan memberi Gwen sedikit waktu untuk bicara serius mengenai masalah yang tengah menyandung Jessica.
Gwen pun memilih untuk menyusul Jessica yang berada di lantai dua, walau ia belum bicara banyak dengan Brendan. Wanita paruh baya itu melangkah dengan tergesa dan diselimuti perasaan cemas. Gwen tidak ingin jika putri semata wayangnya melakukan hal nekat karena keputusan Brendan yang memilih meninggalkan Jessica di rumahnya dan tak mengajak serta putrinya untuk pulang ke rumah mereka berdua.
"Astaga, Jessy. Kenapa kamu seperti ini, Nak?" tanya Gwen setelah berdiri di hadapan Jessica dan meraih bahu putrinya untuk segera dibangunkan dari keterpurukan yang tengah menyelimuti diri Jessica.
"Mom, Brendan pergi meninggalkan aku, Mom... Dia pergi meninggalkan aku di sini dan tidak mau berjanji akan menjemputku pulang untuk kembali ke rumah. Itu artinya Brendy akan menceraikanku sebentar lagi kan, Mom? Kenapa dia tega melakukan ini sama aku, Mom? Aku tidak bersalah, Mom, lalu apa yang harus aku jelaskan pada Brendan agar dia percaya kalau aku tidak salah? Aku harus apa, Mom?" teriak Jessica yang bertanya-tanya kepada ibunya.
"Tidak, Jessy. Kata siapa Brendy akan menceraikanmu? Dia hanya memintamu untuk tinggal bersama Mommy sementara waktu sampai keadaaan jauh lebih tenang. Brendy mau kamu di sini untuk menemani Mommy dan menurutnya di rumah ini kamu lebih aman dibandingkan di rumah kalian. Jadi kamu tidak perlu takut Brendan tidak akan menjemputmu kembali ya, sayang. Dia pasti akan membawamu pulang jika semuanya sudah tenang dan kembali membaik," jawab Gwen coba menyudahi ketakutan putrinya agar tidak semakin stres di saat keadaan tengah memanas seperti ini.
"Mommy tahu darimana? Apakah Brendan mengatakan itu padamu?" tanya Jessica yang seketika mulai dapat menemukan secercah harapan walau teramat kecil, setelah mendengar perkataan ibunya.
"Ya, Brendan sudah bicara dengan Mommy. Makanya kamu tidak perlu takut lagi ya sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Lebih baik kamu fokus untuk menenangkan pikiranmu agar kamu bisa segera menggelar press conference untuk memberitahu semua orang yang telah berpikir buruk tentangmu bahwa kamu tidak bersalah," jawab Gwen yang terpaksa berbohong hanya demi dapat menenangkan putrinya yang tengah frustasi, karena Brendan masih belum dapat memutuskan apa pun dan masih butuh waktu untuk menyendiri.
Sementara Brendan tetap berada di posisinya dengan pandangan yang menatap ke arah deretan anak tangga. Ia memilih diam setelah mendengar Jessica baik-baik saja dan tidak melakukan hal nekat seperti yang sempat menghampiri benaknya, hingga ia bersikap seolah tak peduli, namun jauh di lubuk hatinya Brendan sangat mencemaskan Jessica dan merasa bersalah telah membuat wanita itu frustasi atas keputusannya. Akan tetapi, kini pikirannya sedikit lebih tenang walau jawaban Gwen tidak seperti apa yang sebenarnya. Brendan coba mengerti alasan mengapa Gwen berbohong, itu hanya untuk memenangkan putrinya.
"Maafin aku Jess, maaf aku tidak bisa menenangkan kamu saat ini. Aku hanya ingin kamu menyadari kesalahanmu bersama Patrick di belakangku. Andai kamu tahu sehancur apa perasaanku karena masalah ini. Dan sekarang aku tidak bisa berbuat banyak untuk memperjuangkan hubungan kita dan mungkin berpisah adalah jalan terbaik untuk kita agar kamu tidak merasa tertekan lagi menjalani pernikahan dengan aku yang banyak kekurangannya ini," batin Brendan dengan berlinangan air mata.