Brendan yang paling tidak bisa lama-lama marahan seperti ini dengan istrinya, ia pun segera menyentuh pundak Jessica dan mencengkramnya dengan lembut.
“Jessy, maafin aku. Kita jangan marahan seperti ini lagi ya. Aku tahu, aku salah karena tidak seharusnya memancingmu seperti tadi di tempat kita bekerja. Kamu benar kok, semua itu salahku yang tidak sabaran, bukan salah Sena. Jadi aku benar-benar minta maaf lho ini sama kamu. Please, maafin aku ya.” Dengan penuh ketulusan dan suaranya yang lembut, Brendan meminta maaf pada Jessica, berharap setelah ini mereka kembali baik-baik lagi seperti sebelumnya.
Jessica malah semakin mengerucutkan bibirnya mendengar permintaan maaf dari Brendan, bahkan kedua matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca karena rasa kesal yang masih menyelimuti pikirannya.
“Aku kesal sama kamu, apalagi saat kamu tadi mengusirku. Rasanya aku nggak mau maafin kamu!” jawab Jessica dengan suara yang terdengar serak.
“Jangan gitu dong sayang, aku kan sudah minta maaf. Maafin aku ya, aku janji tidak akan memancingmu lagi di saat kita berada di tempat-tempat tidak aman seperti kejadian tadi. Aku juga minta maaf karena tadi sudah bercanda di depan teman-temanku. Sumpah deh, itu hanya iseng aja kok, nggak serius sama sekali. Iseng pengen bikin kamu tambah kesal,” ucap Brendan dengan lembut sembari mengusap bahu istrinya.
“Kamu kok seneng banget sih bikin aku malu di depan teman-teman kamu? Kamu seneng ya orang lain mikir aku ini istri yang menyebalkan?” tanya Jessica yang kini mulai mengurai kedua tangannya yang semula bersedekap dan memukul d**a suaminya berkali-kali.
Brendan tak mengelak, ia membiarkan Jessica melakukan apa pun untuk meluapkan rasa kesalnya. Setelah selesai, Brendan langsung merengkuh tubuh molek istrinya hingga masuk ke dalam pelukannya yang hangat.
“Sudah ya sayang, jangan marah-marah lagi. Aku tidak bermaksud membuatmu malu di depan teman-temanku, karena setelah kamu pergi mereka bertanya kita ada masalah apa, lalu aku menceritakan inti permasalahan kita hingga akhirnya aku ditertawakan. Mereka semua menyalahkanku dan mengatakan aku yang tidak sabaran karena tidak mengenal waktu dan tempat. Jadi memang aku yang salah kok, akunya aja yang kadang suka gengsi untuk mengakui sebuah kesalahan. Maafin aku ya sayang,” ucap Brendan yang berusaha menjelaskan dan tak lelah untuk membuat Jessica mau memaafkannya.
Setelah mencerna dengan baik penjelasan suaminya, akhirnya Jessica pun dapat kembali tersenyum karena pria itu mau mengakui kesalahannya dan merasa bersalah.
Sementara Reynold dan beberapa chef yang berada di dapur sesekali melihat kedua bosnya yang berpelukan di depan mereka. Terkadang hal itu membuat beberapa orang iri karena tidak memiliki pasangan atau hubungan mereka dengan kekasihnya tidak seharmonis Jessica dan Brendan yang selalu terlihat hangat dan romantis.
“Ok, aku maafin kamu. Lain kali jangan diulangi lagi ya!” Akhirnya Jessica pun memaafkan Brendan dan menyudahi kekesalannya.
“Makasih ya sayang. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi,” jawab Brendan yang sangat lega karena istrinya tak lagi marah.
“Iya, sekarang tolong kamu lepasin aku, Brendy. Nggak enak tahu dilihatin sama chef-chef tuh!” titah Jessica yang menyadari pandangan orang yang berada di sekelilingnya mengarah padanya yang tengah dipeluk erat oleh Brendan.
“Biarin aja mereka, aku masih mau peluk kamu,” tolak Brendan yang masih nyaman memeluk tubuh istrinya.
“Jangan di sini juga dong, Brendy. Kalau mereka keasikan lihat ke arah kita yang ada nanti masaknya malah nggak fokus atau platingnya berantakan.”
Akhirnya Brendan pun menurut dan melepaskan pelukannya dari tubuh Jessica karena tak ingin apa yang istrinya takutkan akan terjadi. “Ok deh, karena kamu sudah maafin aku, silahkan kamu lanjutkan platingmu lagi. Aku balik ke meja teman-temanku dulu ya, nanti kamu susul aku kalau sudah selesai, kita makan siang bersama mereka ya!”
“Ok sayang, sana kamu duluan!” jawab Jessica yang tak menolak karena hubungannya dengan Brendan telah kembali membaik.
Brendan pun segera melangkah pergi meninggalkan dapur dan membiarkan Jessica dengan aktivitasnya di sana.
Jika hubungan Jessica dan Brendan semakin hari semakin hangat karena tidak lagi dibumbui konflik-konflik seperti sebelumnya, terlebih saat keduanya memutuskan untuk resign dari pekerjaan masing-masing, tetapi beda halnya dengan hubungan Morgan dan Brielle yang awalnya terjadi karena sebuah kerja sama.
Namun, siapa yang menyangka jika benih-benih cinta mulai tumbuh di hati Brielle karena terbiasa bersama dengan Morgan, dan rasa itu sudah berulang kali untuk ditepis, akan tetapi selalu gagal karena sebuah rasa tidak dapat dicegah dengan cara apa pun.
Sudah lima Minggu bersama, membuat Brielle ketergantungan pada sosok Morgan yang hampir setiap malam menyentuhnya demi sebuah misi. Brielle yang semula berpikir hanya demi misi pun ia rela menyerahkan tubuhnya untuk Morgan berubah menjadi ikhlas Morgan menikmati tubuhnya.
Dan siang ini, di sebuah rumah sakit Brielle merasa cemas menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Ada rasa gelisah yang mengganggu ketenangannya.
“Briel, kamu kenapa sih? Kenapa kamu terlihat gelisah seperti ini?” tanya Morgan yang merasa aneh melihat tingkah Brielle yang duduk di sebelahnya.
“Hum, tidak apa-apa kok. Aku hanya tidak betah menunggu di sini terlalu lama,” jawab Brielle berbohong sambil mengusap hidungnya.
“Sabar ya, kemungkinan sebentar lagi hasilnya keluar. Semoga saja hasil pemeriksaan kali ini menunjukkan kalau kamu hamil ya, karena kamu pun sudah telat haid kan,” harap Morgan yang sangat menginginkan kali ini Brielle benar-benar hamil agar ia dapat segera mengakhiri kontraknya bersama wanita itu.
Namun, hal sebaliknya Brielle rasakan. Wanita itu berharap dirinya tidak hamil agar kebersamaannya dengan Morgan tak akan pernah berakhir.
“Aku justru mengharapkan yang sebaliknya, Morgan. Aku tidak ingin kita berpisah secepat ini, aku belum rela untuk mengakhiri semua ini bersamamu. Aku tahu, ini terdengar egois, tapi itulah isi hatiku yang dipenuhi harapan agar kita masih ditakdirkan untuk terus bersama, walau dengan cara yang gila sekalipun,” batin Brielle menatap lekat kedua mata Morgan yang tengah menatap intens wajahnya.
“Hei, tuh kan kamu diam lagi. Sebenarnya apa sih yang kamu pikirkan saat ini, Briel? Sampai kamu seperti tidak mendengar perkataanku,” tanya Morgan yang merasa harus mencari tahu akan sikap wanita itu sejak tiba di rumah sakit untuk menjalani beberapa pemeriksaan.
Seketika lamunan Brielle buyar saat Morgan mengusap punggung tangannya. Membuat Brielle tersadar dan segera menjawab perkataan pria itu.
“Sepertinya aku sedikit kurang enak badan, makanya kepalaku bawaannya pusing banget.”
“Jadi kamu merasa sedang kurang sehat? Kalau begitu aku temui dokter dulu ya agar dia segera memeriksa kondisimu dan memberimu obat biar kamu kembali sehat,” tawar Morgan yang tidak ingin Brielle sakit.
“Tidak perlu, Morgan. Aku hanya butuh istirahat, maka semua akan kembali membaik, jadi aku tidak butuh obat.” Brielle menolak karena memang sesungguhnya ia tak membutuhkan obat, baginya kegelisahan yang dirasakannya saat ini hanya dapat diobati dengan mereka tetap bersama-sama.
“Yakin?” tanya Morgan memastikan.
Brielle hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum untuk menjawab pertanyaan Morgan. Lalu ia kembali mengalihkan pandangannya dengan harapan yang sama.
“Apa aku bisa terus menjalani sandiwara ini tanpa Morgan ketahui isi hatiku yang sebenarnya? Dan kalau aku menyampaikan isi hatiku, apa dia mau menerima? Bagaimana kalau dia tidak memperdulikan perasaanku sama sekali dan tetap pada tujuannya?” batin Brielle yang bertanya-tanya di kedalaman hatinya.
Berada di posisinya saat ini membuat Brielle merasa gelisah dan serba salah. Ia tidak tahu harus memposisikan dirinya di mana. Jika ia tetap menuruti keinginan Morgan untuk sebuah misi agar pria itu mendapatkan Jessica, itu artinya hubungan mereka harus berakhir saat hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Brielle hamil. Namun, jika Brielle ingin menyudahi sandiwara ini, maka wanita itu harus mampu meluluhkan hati Morgan yang hanya mencintai Jessica seorang walau dengan cara yang salah.
Brielle bingung harus melakukan apa karena belum tentu pengakuan akan perasaannya pada Morgan akan ditanggapi dengan baik, terlebih pria itu sudah terlalu terobsesi dengan sosok Jessica yang menurut Morgan jauh lebih baik dari wanita mana pun, apalagi jika dibandingkan dengan dirinya.
"Daripada aku bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban, lebih baik aku jujur saja sama Morgan sebelum dokter menunjukkan hasil pemeriksaan yang mungkin sebentar lagi akan keluar. Aku harus siap dengan apa pun yang Morgan putuskan, aku harus menerima konsekuensi apa pun itu karena sudah berani-beraninya melibatkan hati dan perasaan dalam hubungan kerja sama ini. Tapi … apakah aku bisa sekuat itu jika menerima penolakan darinya?" batin Brielle yang masih bergumul dengan pergolakan batinnya sendiri yang tidak dapat merasa tenang sampai dirinya berhasil mengungkapkan isi hatinya pada Morgan.