“Hah ….” Jenie mengembuskan nafas lelah. Ia telah berada di kamarnya sekarang setelah sebelumnya makan malam bersama Rama. Jenie yang duduk di tepi ranjang, menjatuhkan tubuhnya ke belakang membuatnya menatap langit kamar. Tiba-tiba wajahnya menghangat teringat ucapan Rama sebelumnya. Jika ia tak hamil jua, itu artinya ia akan terus melakukannya dengan Rama. Jenie menepuk jidat. Pikiran macam apa itu? Harusnya ia marah, bukan? Karena ia seakan menjual tubuhnya. Mau dilihat dari segi apapun tentu saja Rama yang diuntungkan. Sebagai laki-laki Rama tentu menikmatinya sementara dirinya yang akan menanggung akibatnya di kemudian hari. Tapi, entah kenapa Jenie seakan melupakan itu bahkan tak memikirkan konsekuensinya sama sekali. Bahkan, tubuhnya justru merasa aneh saat membayangkan ia dan R