Heri duduk di bawah dan memegangi tangan dokter Anya dengan pelan.
"Haruskah aku berhenti dari pekerjaanku? Sepertinya kamu sangat tidak menyukainya." Tanya Heri dengan suara hati-hati.
Bagaimanapun juga, dicurigai oleh orang yang ia sayang itu hal yang sedikit menyebalkan. Dirinya juga ingin marah, tapi tidak tega jika marah pada Anya yang tengah mengandung anaknya. Apalagi wanita itu belum memiliki perasaan untuknya. Jika saja dirinya yang belum apa-apanya sudah berani membentak atau bahkan marah-marah, lalu bagaimana saat dirinya sudah menjadi suaminya? Itu nanti akan menjadi kebiasaan yang buruk.
"Bukan seperti itu," balas Anya sedikit kebingungan.
"Maafkan aku," ucap Anya dengan suara pelan.
Pada akhirnya, Anya hanya bisa meminta maaf dengan kepala yang menunduk dalam. Dirinya memang salah, jadi wajar jika dirinya meminta maaf pada calon suaminya. Apalagi dirinya selalu membela laki-laki lain yang pernah ia harapkan perhatiannya.
"Tidak! Jangan minta maaf." Balas Heri dengan sungguh-sungguh.
"Aku sungguh bertanya, haruskah aku berhenti dari pekerjaanku? Aku bisa mencari pekerjaan yang lain." Lanjut Heri kembali bertanya.
Anya diam, menatap ke arah mantan suaminya yang terlihat sangat serius.
"Kamu ingin mencari pekerjaan apa?" Tanya Anya dengan suara pelan.
"Apa saja, aku bisa melakukan apapun dengan tubuh ini. Aku bisa menjadi kuli bangunan, pedagang, dan juga yang lainnya. Aku bisa melakukan apapun dan aku akan berhenti jika kamu ingin aku berhenti." Jawab Heri yang langsung saja membuat Anya terdiam.
Cukup lama Anya terdiam dengan menatap ke arah calon suaminya. Memang benar dirinya tidak menyukai pekerjaan calon suaminya, tapi bukankah dirinya akan sangat egois jika meminta suaminya berhenti dari pekerjaan yang sudah dirintis suaminya dari awal dengan susah payah?
"Tidak perlu, aku benar-benar minta maaf." Kata Anya pada akhirnya.
Heri yang mendengarnya tentu saja langsung bangun dan memeluk calon istrinya dengan erat. Heri tidak akan pernah kehilangan wanita itu hanya karena apa yang ia lakukan, untuk itu Heri akan mengalah jika calon istrinya tidak menyukai hal itu.
"Aku janji tidak akan menyentuh Kriss apapun yang terjadi." Janji Heri yang langsung saja membuat d**a Naya berdebar saat mendengarnya.
"Laki-laki yang dipegang hanya kata-katanya, jadi aku tidak akan pernah mengingkarinya." Lanjut Heri yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Anya.
"Terima kasih." Jawab Anya dengan suara pelan.
"Tapi apakah kamu masih menyukai Kriss?" Tanya Heri pelan.
"Tidak! Aku sudah tidak menyukainya." Jawab Anya dengan cepat.
"Aku hanya ingat saat Kriss terluka. Dia dipukul dengan parah sampai tidak bisa bangun selama seminggu penuh. Padahal kesalahannya hanya karena terlambat masuk ke dalam laboratorium." Kata Anya memberitahu.
"Aku kan yang merawatnya, jadi rasanya nggak adil banget. Aku takut Kriss akan memendam dendam padamu." Lanjut Anya lagi.
"Jadi kamu mengkhawatirkan aku?" Tanya Heri dengan antusias.
"Tidak, aku mengkhawatirkan calon suamiku." Jawab Anya yang langsung saja membuat Heri menarik dirinya dari pelukannya dan tersenyum lebar ke arah calon istrinya itu.
"Haruskah kita mendengarkan Tiffany? Kita bisa menutup pintu dan melanjutkannya ke dalam kamar." Kata Heri yang langsung saja membuat Anya tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak yakin dia akan bertahan jika kamu terus melihatnya." Jawab Anya mengingatkan.
"Ah benar, aku minta maaf karena terlalu egois." Ucap Heri meminta maaf.
Anya menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk diam dan kembali melihat laporan medis selama sebulan ini.
Setelah dirinya menikah, dirinya akan meninggalkan tempat itu dan hanya datang untuk bekerja. Jadi untuk jaga-jaga dirinya harus menyiapkan obat-obatan yang biasa diminum oleh semua orang. Karena jika mereka membutuhkannya saat malam, mereka tidak harus mencari dirinya.
***
Di tempat lain, Tiffany kembali masuk ke dalam kamar Kriss. Menatap ke arah Kriss yang sudah duduk di depan komputernya.
"Minum dulu vitaminnya." Ucap Kriss kembali mengingatkan.
Tiffany yang mendengarnya tentu saja langsung berjalan ke arah meja dan meminum vitamin yang diberikan oleh dokter Anya untuknya.
Setelah selesai meminumnya, Tiffany pun berjalan ke arah Kriss dan merangkul Kriss dari belakang.
"Apakah belum selesai juga?" Tanya Tiffany dengan pelan, matanya menatap ke arah desain yang tergambar pada layar komputer milik Kriss.
"Aku merombak ulang bentuknya." Jawab Kriss memberitahu.
"Sebenarnya Kriss, aku punya sesuatu yang efektif untuk menangkap gambar makhluk itu. Sepertinya ini juga bisa mengukur rata-rata tinggi dan juga besarnya makhluk itu." Kata Tiffany memberitahu.
"Sungguh? Mana?" Balas Kriss yang langsung saja mendongakkan kepalanya ke arah Tiffany yang langsung saja mencium bibirnya.
"Apakah kamu yakin? Bahkan kamera ponsel saja tidak dapat menangkapnya." Tanya Kriss lagi.
"Kita kan bisa mencobanya dulu." Jawab Tiffany memberitahu.
"Memangnya apa barangnya? Kamera?" Tanya Kriss dengan suara pelan.
"Anting." Jawab Tiffany sembari menyentuh anting yang ia pakai.
"Dulu papa membuat anting untuk mengawasi mama, siapa yang mama temui dan juga dengan siapa saja mama bergaul. Lalu saat pulang kemarin aku mengambilnya karena ingat kalau ini bisa saja membantu kamu." Kata Tiffany menjelaskan.
"Apakah aman? Kamu tahukan? Rencana ini tidak boleh diketahui orang lain." Tanya Kriss yang langsung saja membuat Tiffany diam.
Kriss mengembalikan tampilan komputernya dan menatap ke arah anting yang dipakai oleh Tiffany dalam diam.
"Dia menangkapku sekarang kan?" Tanya Kriss dengan suara pelan.
"Aku akan mengubah kodenya, dan hanya aku yang bisa membukanya." Jawab Tiffany memberitahu.
"Aku yakin ini sangat membantu, jadi cobalah sekali saja." Lanjut Tiffany lagi.
Kriss terdiam sejenak, menatap ke arah Tiffany dengan penuh selidik. Jujur saja, Kriss bukannya tidak percaya dengan Tiffany, hanya saja Kriss masih sedikit khawatir. Ini bukanlah hal kecil, tapi hal ini bisa saja merugikan semua orang jika dirinya melakukannya dengan sembrono.
Kriss tahu, Tiffany memang menyukainya, tapi Kriss juga khawatir wanita itu memiliki dendam padanya karena tidak mau menerimanya dan terus mendorongnya untuk mencari laki-laki lain sebagai pendampingnya.
"Kamu meragukan aku?" Tanya Tiffany dengan sungguh-sungguh.
"Tidak, bukan seperti itu." Balas Kriss dengan cepat.
Kriss memutuskan untuk diam dan menarik napasnya panjang.
"Berikan aku waktu untuk berpikir. Lagipula kita juga butuh waktu yang tepat untuk kembali datang ke bendungan anastasius. Belum lagi dengan bahaya yang mungkin saja bisa terjadi. Kamu benar-benar tidak boleh terluka sedikitpun." Kata Kriss pada akhirnya.
Tiffany menganggukkan kepalanya setuju. Tiffany melepaskan anting yang ia pakai dan menyerahkannya pada Kriss.
"Kamu bisa mengeceknya lebih dulu, jika memang tidak aman jangan gunakan." Kata Tiffany pada Kriss.
"Itu harganya tidak murah, jadi jika aku berbohong, kamu bisa menjualnya sebagai kompensasi." Lanjut Tiffany lagi.
Setelah itu Kriss pun menganggukkan kepalanya dan mulai mengecek keamanan yang ada dalam anting itu.