Tiffany menatap ke arah Kriss yang tengah mengemudikan mobilnya. Tiffany tersenyum tipis karena akhirnya dirinya bisa duduk tenang dan melihat Kriss mengemudikan mobil sendiri.
"Kapan kamu belajar?" Tanya Tiffany dengan suara pelan.
"Saat kamu memintanya." Jawab Kriss memberitahu.
Kriss tentu saja ingat saat wanita itu mengeluh dan meminta dirinya untuk belajar mengemudikan mobil agar disaat seperti ini dirinya tidak mengandalkan wanita itu. Meskipun belum punya SIM resmi, Kriss tetap mengemudikan mobil itu dengan percaya diri.
"Kamu kelihatan tampan kalau mengemudi." Ucap Tiffany memberikan pujian.
Kriss yang mendengarnya tentu saja hanya bisa menggelengkan kepalanya. Di mata wanita itu, dirinya memang selalu tampan, jadi Kriss tidak akan terkejut saat mendengar wanita itu memuji dirinya.
"Sungguh, aku tidak berbohong." Lanjut Tiffany lagi.
"Haruskah kita membeli mobil untukmu? Kamu bisa memilih mau yang mana." Tanya Tiffany dengan antusias.
"Aku tidak menerima pemberian dari seorang wanita, jadi simpan saja uangmu dengan baik." Jawab Kriss yang langsung saja membuat Tiffany memanyunkan bibirnya ke depan.
Kriss benar-benar berbeda dengan laki-laki yang selama ini dekat dengannya. Kebanyakan dari mereka tidak akan pernah menolak saat dirinya menawarkan barang mewah, sedangkan Kriss menolaknya tanpa berpikir ulang. Tentu saja Tiffany sedikit sedih, tapi Tiffany tidak bisa melakukan apa-apa untuk memaksa laki-laki itu. Karena Tiffany tahu, jika dirinya memaksa, maka laki-laki itu akan menjauh dari dirinya.
"Jika kamu berubah pikiran,"
"Aku tidak berniat untuk berubah pikiran." Ucap Kriss dengan cepat, memotong kata-kata yang ingin dikatakan oleh Tiffany.
Tiffany pun akhirnya menganggukkan kepalanya dan memutuskan untuk diam dan bersandar dengan nyaman.
Baru saja semenit wanita itu diam, dia sudah kembali bergerak dan membuat Kriss tak bisa berkata-kata.
"Tapi Kriss, apakah kamu tidak berniat untuk menikah saja?" Tanya Tiffany dengan suara pelan.
"Menikah? Dengan siapa?" Tanya Kriss pura-pura tak mengerti.
"Papa bilang aku boleh nikah sama siapa saja," jawab Tiffany memberitahu.
"Kalau begitu segera cari orangnya dan ajak nikah." Balas Kriss dengan acuh.
Tiffany memanyunkan bibirnya ke depan, bisa-bisanya dirinya bicara dengan seseorang yang tidak bisa diajak bicara.
Tiffany memutuskan untuk diam dan bersandar dengan tenang, matanya terpejam sebentar hingga akhirnya memutuskan untuk tidur. Perjalanan pun masih panjang, jika dirinya terus bicara maka Kriss akan semakin kesal dengan dirinya.
Jam tiga sore keduanya sampai di parkiran. Kriss mematikan mesin mobilnya dan segera turun. Kriss menggendong Tiffany yang masih tertidur dan membawanya ke kamar wanita itu.
"Apakah terjadi sesuatu?" Tanya Anto yang tidak sengaja berpapasan.
"Hanya lelah." Jawab Kriss dengan entengnya.
Kriss menidurkan Tiffany di atas ranjang nyamannya, setelah itu dirinya memutuskan untuk keluar dan berjalan ke arah kamarnya sendiri.
Belum sempat Kriss masuk ke dalam, Kriss harus dihadapkan dengan laki-laki yang sepertinya sangat penasaran.
"Jika kalian masih mau mengawasiku, lebih baik jauhkan Tiffany dari jangkauanku." Kata Kriss dengan sedikit kesal.
Jika apa yang ia lakukan selalu diawali dengan ketat hanya karena ada Tiffany di sekitarnya, maka Kriss tidak akan bisa menerimanya. Semua rencana yang sudah ia atur dengan baik akan sirna jika dirinya terus diawasi seperti itu.
Heri menyerahkan plastik obat pada Kriss, hal itu tentu saja langsung membuat Kriss diam dan menatap ke arah obat itu.
"Anya memberikan vitamin untuk Tiffany, jangan lupa mengingatkan anak itu untuk meminumnya." Kata Heri yang langsung saja membuat Kriss mengambil napasnya panjang dan menerima obat itu dengan berat hati.
"Gue nggak ikut campur masalah pribadi lo atau Tiffany, jadi jangan berpikir kalau aku di sini buat ngawasin lo." Kata Heri memberitahu.
"Kalaupun gue ngawasin lo, itu karena Anya suka sama lo, dan bukan karena hal lain." Lanjut Heri lagi.
Setelah mengatakan itu, Heri pun pergi dan Kriss pun segera masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan vitamin itu di atas meja.
Kriss masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi, setelah selesai mandi Kriss pun keluar dengan baju yang juga sudah ia pakai di dalam kamar mandi tadi.
"Kenapa nggak bangunin aku!!"
Rengekan yang terdengar dari Tiffany membuat Kriss tertawa pelan, bisa-bisanya wanita itu sudah ada di kamarnya lagi.
"Dokter Anya memberikan vitamin untukmu, minumlah dengan rutin sesuai dengan resep yang tertulis." Kata Kriss memberitahu sembari menunjuk ke arah meja, dimana vitamin tadi ia letakkan.
"Kamu langsung bertemu dokter Anya setelah tiba? Apakah kamu sangat merindukan dia?" Tanya Tiffany dengan nada suara yang sedikit tinggi.
Kriss menggaruk kepalanya yang tak gatal, menatap ke arah Tiffany yang sudah cemburu saja. Kriss memutuskan untuk berjalan ke arah Tiffany dan menggigit bibir bawah wanita itu pelan.
"Kakak sepupumu yang datang dan menyampaikannya, apakah ada yang ingin kamu tanyakan lagi?" Kata Kriss memberitahu.
Tiffany yang mendengarnya tentu saja langsung menatap ke arah Kriss dengan tatapan yang penuh selidik. Laki-laki jaman sekarang sulit untuk dipercaya, jadi akan lebih baik jika dirinyalah semakin waspada.
"Aku akan datang dan bertanya." Ucap Tiffany yang langsung saja berlari keluar.
Kriss tertawa pelan saat melihatnya, itu mungkin terlihat sedikit menyebalkan, tapi Kriss menyukai semua tingkah yang diperlihatkan oleh wanita itu.
Seperti yang ia katakan, Tiffany memutuskan untuk menghampiri klinik dokter Anya dan masuk begitu saja.
Heri dan Anya yang sedang berciuman tentu saja segera menjauhkan dirinya masing-masing. Tidak peduli apa, tapi biasanya orang yang datang akan mengetuk pintu lebih dulu, tapi Tiffany menerobos begitu saja.
"Siapa yang datang ke kamar Kriss tadi?" Tanya Tiffany tanpa sedikitpun merasa bersalah atau terlihat canggung.
"Aku, ada apa?" Jawab Heri dengan cepat.
Anya segera menatap ke arah Tiffany dan juga Heri secara bergantian. Bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Sungguh?" Tanya Tiffany lagi.
"Apakah Kriss babak belur?" Tanya Anya dengan hati-hati.
"Kamu mencurigai aku lagi?" Tanya Heri tak percaya pada calon istrinya itu.
"Tubuh kamu sebesar ini, lalu pekerjaan kamu juga seperti itu, salah kalau aku curiga?" Balas Anya dengan cepat.
Heri bangun dan meninju udara dengan frustasi. Seumur hidupnya, ini pertama kalinya Heri menyesal punya badan besar dan juga menyesal dengan pekerjaan yang sangat ia agungkan dulu.
"Ah, baiklah." Kata Tiffany tiba-tiba.
"Apa yang terjadi?" Tanya Heri sedikit meninggikan suaranya.
"Tidak ada yang terjadi, aku hanya penasaran." Jawab Tiffany dengan entengnya.
"Kriss tidak babak belur, kak Heri juga tidak meninjunya, jadi dokter Anya jangan khawatir. Teruskan saja apa yang kalian lakukan. Aku akan membantu membalikkan papan close agar kalian bisa segera melanjutkannya di atas ranjang." Lanjut Tiffany yang langsung saja pergi, tidak lupa membalikkan papan buka tutup seperti yang ia janjikan sebelumnya. Meninggalkan dokter Anya yang kembali merasa bersalah dengan calon suaminya.