Setelah itu keduanya pun makan siang dengan tenang. Jika biasanya mereka akan duduk bertiga dengan dokter Anya, kali ini tidak. Dokter Anya tidak pernah lagi datang ke kantin untuk makan. Ada seseorang yang membawakan makanan yang lebih sehat untuk konsinyasi yang berbadan dua.
Malam harinya, hujan tiba-tiba saja turun dengan jelas. Suara guntur disertai petir membuat Tiffany tidur dengan tidak nyaman.
Dibandingkan dengan kamar yang lain, mungkin kamarnya memang sedikit kurang aman, untuk itu suara guntur masih terdengar dengan jelas.
Kriss menggerakkan tangannya untuk menenangkan Tiffany yang masih terus bergerak, keningnya terus berkerut membuat Kriss menyentuhnya dan mencobanya untuk meratakannya dengan ibu jarinya.
Mungkin sebentar lagi, dirinya akan pergi dari sini dan meninggalkan semuanya. Begitupun dengan wanita yang penuh kasih sayang ini. Kriss juga akan meninggalkan wanita itu dan mulai kembali hidup sendiri di rumah yang sudah ia siapkan.
Suara langkah kaki yang terdengar membuat Kriss bangun, menatap ke arah Anto yang terlihat terengah-engah.
"Tiffany takut sama suara guntur," kata Anto memberitahu.
"Aku pikir dia tidur sendirian jadi aku datang untuk memintamu menemaninya." Lanjut Anto lagi.
"Dia sudah aman jadi jangan khawatir." Jawab Kriss yang langsung saja memindahkan kepala Tiffany di atas bantal dan dirinya beranjak bangun.
Anto duduk di atas lantai, menatap ke arah Tiffany yang terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Anto dulu juga tidak mengetahuinya, wanita itu sering mengeluh tidak bisa tidur saat musim penghujan tiba, dan dengan bodohnya Anto menggodanya perihal Tiffany yang kesepian karena dingin.
Hingga suatu hari saat dirinya dan Tiffany terjebak di luar, Tiffany memberitahu jika dirinya benci musim penghujan. Dirinya takut dengan petir dan guntur, untuk itu, setiap hujan turun dia akan terlihat waspada dan tidak akan bisa tidur nyenyak.
Anto sudah mencoba untuk mencaritahu apa alasan wanita itu takut, tapi sampai sekarang wanita itu tidak pernah menyebutkannya, dan hal itu membuat Anto sadar jika Tiffany belum sepenuhnya mempercayai dirinya.
"Sebelum ada kamu, di saat musim penghujan tiba, dia selalu merengek tidak bisa tidur di malam hari." Kata Anto memberitahu.
"Apakah ada alasan kenapa dia seperti itu?" Tanya Kriss sedikit khawatir.
"Aku tidak tahu, tapi yang pasti dia benar-benar ketakutan. Aku pernah melihatnya sendiri saat kita terjebak hujan di luar, tubuhnya menggigil dan suhu tubuhnya tiba-tiba saja panas. Sepanjang hujan turun, dia hanya menatap dengan khawatir dan tangan yang menutupi kedua telinganya."
Mendengar hal itu tentu saja Kriss langsung menoleh ke arah Tiffany, tangannya terulur untuk menyentuh dahi wanita itu yang kembali berkerut.
"Tidak apa-apa, ada aku di sini." Kata Kriss dengan suara pelan.
"Kalau begitu aku akan pergi dulu, kalian tidurlah dengan nyenyak." Kata Anto yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Kriss.
Anto keluar dari kamar, menatap ke arah Heri dan juga papa Tiffany yang berdiri di depan kamar Kriss. Karena terkejut tentu saja Anto langsung membungkukkan tubuhnya untuk memberikan salam.
"Tiffany tidur dengan aman di dalam." Ucap Anto memberitahu.
"Pergilah!" Seru Heri yang langsung saja membuat Anto menganggukkan kepalanya dan berlari untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri.
"Sudah saya katakan, Tiffany akan aman dengan laki-laki itu. Dia berbeda dengan laki-laki yang mendekati Tiffany sebelumnya. Jadi anda jangan terlalu menyimpan dendam dengannya." Kata Heri pada papa Tiffany yang masih diam dan menatap ke arah pintu yang tidak memiliki kunci itu.
"Ini pertama kalinya kamu membantahku, apakah ada alasan lain kenapa kamu menolak untuk menyingkirkannya?" Tanya papa Tiffany yang langsung saja membuat Heri terdiam dan menggelengkan kepalanya pelan.
Sudah dari satu bulan yang lalu Heri mendapatkan perintah untuk menyingkirkan Kriss, tapi Heri menolaknya dengan tegas, karena dirinya tidak pernah berpikir untuk membuat laki-laki yang disukai calon istrinya dalam bahaya. Karena jika hal itu terjadi, maka imbasnya akan masuk pada istrinya dan juga calon bayinya.
"Biarkan Tiffany hidup dengan tenang bersama pilihannya. Anda janganlah terlalu mengekangnya." Kata Heri pada pamannya.
"Apakah kamu tidak ingat? Karena orang-orang yang tidak mengetahui posisinya dengan baik, istriku pun pergi meninggalkanku." Kata papa Tiffany yang yang langsung saja membuat Heri terdiam saat mendengarnya.
Dari awal, pernikahan yang terjadi antara papa dan mama Tiffany itu karena kesalahan. Papa Tiffany selalu memaksakan kehendaknya pada mama Tiffany yang memang tidak menyukainya, lalu saat mama Tiffany mulai lelah dengan hidupnya, dia pun berpura-pura selingkuh dengan supirnya sendiri.
Pernikahan itu berlangsung lebih dari dua puluh tahun, dan tidak mungkin jika mama Tiffany tidak memiliki perasaan sedikitpun selama pernikahannya. Dia mencintai papa Tiffany seperti pasangan pada umumnya, hanya saja mama Tiffany merasa terkekang dan tidak bisa bebas seperti teman-temannya yang lain.
Papa Tiffany tidak pernah sekalipun mengijinkan mama Tiffany keluar dari rumah tanpa pengawalan, sedangkan teman-teman Mama Tiffany akan tidak nyaman jika dia datang dengan seorang pengawal. Bukan hanya teman-temannya, bahkan orang lain pun akan hati-hati dan menatapnya layaknya seorang tahanan. Setelah itu setiap ada pertemuan mama Tiffany tidak lagi keluar dari memutuskan untuk tetap di rumah.
Lalu suatu hari saat papa Tiffany baru pulang dari perjalanan bisnis, mama Tiffany baru saja turun dari mobil bersama dengan supir kepercayaannya. Papa Tiffany mempercayai rumor itu, di mana istrinya tengah berselingkuh dan menjalin hubungan dengan supirnya sendiri. Hingga akhirnya papa Tiffany pun memutuskan untuk menembak mati supir itu dengan tangannya sendiri dan juga tepat di depan mata istrinya.
Suara senjata api yang terdengar, diikuti oleh seseorang yang tumbang, dan darah yang mengalir, membuat mama Tiffany memundurkan langkahnya dan ikut terjatuh. Tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan.
Tidak sampai di sana, papa Tiffany mendekat dan memberitahu itulah akibatnya jika mama Tiffany berani berpaling darinya. Dengan kata lain papa Tiffany memberitahu jika supir itu kehilangan nyawanya karena salahnya yang bergaul terlalu baik dengan supir itu.
Lalu setelah beberapa hari mengurung diri di dalam kamar, dengan perasaan yang bersalah dan juga takut. Mama Tiffany melakukan bunuh diri di rumah kaca yang penuh dengan bunga-bunga kesayangannya. Hari itu hujan turun dengan deras, diikuti oleh petir dan guntur yang saling bersahut-sahutan.
Malangnya, orang pertama yang melihat hal itu adalah Tiffany kecil, saat itu dia ingin menunjukkan hasil gambarnya pada mamanya tapi dirinya terkejut saat mamanya tergantung di atas dengan suara hujan, guntur dan juga petir yang terdengar jelas.
Hal itulah yang membuat Tiffany tidak menyukai tempat terbuka dan memutuskan untuk tinggal di laboratorium yang sangat tertutup. Ruangan kamarnya pun memiliki dinding dan juga atas yang tebal, ada peredam suara juga. Tapi wanita itu masih bisa mendengar hal-hal itu hanya karena ingat musim penghujan sudah tiba.
"Itu sebabnya aku tidak suka dengan orang-orang yang tidak tahu tempatnya. Mereka selalu merangkak perlahan dan mendekati tuannya, lalu mereka membuat tuannya tertarik padanya untuk mengambil keuntungan." Lanjut papa Tiffany dengan amarah yang tertahan di dalam hatinya.
Salahnya, bahkan sampai istrinya meninggalkan dunia dan juga dirinya. Papa Tiffany tidak pernah tahu jika mama Tiffany mencintai dirinya. Karena selama ini fokus papa Tiffany hanya membuat istrinya berada disekitarnya, terlihat oleh matanya, dan tidak dekat dengan siapapun kecuali dirinya.
Lalu, sifat posesifnya itu ia alihkan pada putrinya, satu-satunya keturunan yang ditinggalkan oleh istrinya untuk dirinya yang kesepian itu.
"Tapi jika anda memaksakan diri, Tiffany juga pasti akan meninggalkan anda, dan anda tidak akan memiliki siapa-siapa lagi." Kata Heri mengingatkan.
Itulah yang papa Tiffany takutkan. Jika dirinya juga kehilangan putrinya, maka dirinya tidak punya seseorang lagi dari darah keturunan yang ditinggalkan oleh istrinya. Istrinya terlalu kejam karena hanya meninggalkan satu orang putri yang mirip sepertinya. Membangkang dan juga susah di atur.
Papa Tiffany mendorong pintu itu dengan tongkatnya, setelah pintu itu terbuka, Heri dan juga papa Tiffany masuk ke dalam dan terus melangkah hingga melihat ke arah putrinya yang tertidur dengan seorang laki-laki yang menggerakkan tangannya untuk menenangkan putrinya yang terlihat tidur dengan tingkat nyaman.
"Apakah kamu membiarkan putriku tidur di atas lantai? Apakah kamu tidak tahu betapa berharganya dia? Kamu bahkan tidak mampu membayarnya jika dia sakit sedikit saja." Ucap papa Tiffany yang langsung saja membuat Kriss menoleh, menatap ke arah Heri dan juga papa Tiffany dengan tatapan datar.
"Jika anda khawatir, anda bawa saja dia pulang. Jangan biarkan putri anda di luar seperti ini, dan tertarik pada orang yang tidak sebanding dengan statusnya." balas Kriss dengan berani.
Dirinya tidak memiliki apa-apa di dunia ini, selain dirinya sendiri. Jadi tidak ada hal yang membuat dirinya takut pada orang-orang seperti itu.
"Coba katakan lagi!" Seru papa Tiffany sembari mengangkat tongkatnya.
Heri menahannya dengan cepat, membuat papa Tiffany menoleh dan melotot ke arah Heri dengan tatapan tajam.
"Anda hanya akan menambah kebencian Tiffany jika dia mengetahui apa yang ingin anda lakukan." Kata Heri memberitahu.
Papa Tiffany yang mendengarnya tentu saja langsung menoleh, menatap ke arah keponakannya itu dalam diam.
"Bawa dia, jangan biarkan dia tidur di sini lagi." Kata papa Tiffany memberikan perintah.
Heri pun menganggukkan kepalanya dan menggendong Tiffany, memindahkannya ke dalam kamarnya sendiri. Meninggalkan papa Tiffany yang masih ada di dalam kamar Kriss dan menatap tajam ke arah laki-laki itu.
"Jangan bertingkah, sadarlah tentang posisimu!" Kata papa Tiffany memperingatkan.
Kriss pun tidak mendengarkan dan memutuskan untuk berbaring, lalu memejamkan matanya, tidak memperdulikan keberadaan papa Tiffany yang tengah memperingatkan dirinya.
Papa Tiffany tentu saja kesal, memutuskan untuk pergi dan berjalan ke arah kamar putrinya. Di sana papa Tiffany melihat Tiffany yang tidur dengan lebih tidak nyaman.
"Sepertinya keputusan yang salah memindahkan Tiffany tidur di sini." Kata Heri memberitahu.
"Ini kamarnya, tentu saja itu keputusan yang benar." Jawab papa Tiffany dengan cepat.
"Pergilah sekarang! Aku sendiri yang akan menemaninya."
Heri pergi meninggalkan kamar Tiffany begitu mendengar perintah itu. Heri berjalan meninggalkan kamar itu setelah menoleh sekali lagi untuk menatap ke arah kamar Tiffany.
Anya yang ikut khawatir tentu saja tidak bisa tidur, menunggu Heri kembali dan menceritakan semuanya.
"Apakah kamu melakukan kekerasan?" Tanya Anya dengan cepat begitu melihat Heri kembali dan masuk ke dalam ruangannya.
Heri yang mendengar pertanyaan itu tentu saja langsung diam, itu memanglah pekerjaannya, jadi wajar jika seseorang berpikir jika dirinya baru saja melakukan kekerasan.
"Tidak, aku hanya diminta untuk memindahkan Tiffany ke kamarnya sendiri."
Mendengar jawaban itu tentu saja membuat Anya lega saat mendengarnya, tapi itu bukan berarti Anya percaya seratus persen dengan calon suaminya.
"Kamu tidak memukulnya sedikit sajakan?"
Heri yang mendengar pertanyaan itu tentu saja menyeringai tipis, setelahnya Heri berjalan menghampiri Anya dan mencium bibir wanita itu paksa. Dirinya benar-benar cemburu pada Kriss yang mendapatkan perhatian dari calon istrinya.
"Aku jadi bener-bener ingin memukulnya karena kamu tidak percaya padaku." Kata Heri setelah melepaskan ciumannya.
"Ah, maafkan aku!"
Ucapan maaf yang sering terdengar di telinga Heri tengah saja membuat Heri terdiam dan memutuskan untuk menarik wanita itu ke dalam pelukannya.
"Aku tidak akan menyakiti laki-laki yang akan membuat calon istriku khawatir. Aku memang cemburu, tapi aku lebih peduli denganmu." Ucap Heri memberitahu.
Anya yang mendengarnya tentu saja langsung terdiam, merasa bersalah lagi karena dirinya masih belum menghilangkan perasaannya pada Kriss, padahal jelas-jelas dirinya sudah akan menikah dengan laki-laki yang selalu memperlakukan dirinya dengan baik.
"Sekarang istirahatlah, aku akan menemani kamu!"
Anya menganggukkan kepalanya setuju. Keduanya masuk ke dalam kamar secara bersamaan. Anya tidur di atas ranjang, diikuti oleh Heri yang ikut tidur di samping wanita itu.
Tangan Heri bergerak menarik baju Anya, tangannya bergerak mengelus perut wanita itu dengan gerakan pelan. Tadi malam, Heri melakukan hal itu dan Anya berhasil tidur dengan nyenyak. Padahal malam-malam sebelumnya calon istrinya itu tidak bisa tidur.
Tidak lama setelahnya, Anya pun menutup matanya dan tertidur lelap. Heri tersenyum tipis saat melihatnya, calon anaknya benar-benar pintar karena tanpa sadar membuat mama dan papanya semakin dekat karena tingkah rewelnya.
Heri bangun dan mengambil ponselnya yang bergetar. Heri ingin sekali mengumpat pada pamannya yang merepotkan itu. Apa salahnya membiarkan putrinya sendiri hidup tenang. Dia selalu saja membuat keributan dengan menyingkirkan orang-orang yang disukai oleh Tiffany, dan memang benar, dirinya lah yang mendapatkan tugas itu. Dengan catatan itu tidak boleh diketahui oleh Tiffany.
Mulai dari satu orang, lalu bertambah setiap tahunnya. Saat itu juga Tiffany semakin mendinginkan hatinya dan tidak pernah pulang ke rumah lagi untuk melihat papanya sendiri.
"Aku akan kembali dengan cepat." Bisik Heri pelan sembari mencium kening Anya lama.
Setelah itu Heri beranjak turun dari ranjang dan berjalan meninggalkan kamar dan juga Anya sendirian di sana.
Heri berlari menuju kamar Tiffany yang berada cukup jauh dari kamar tempat Anya. Sesampainya di sana Heri menatap ke arah pamannya yang sudah memukul Kriss dengan tongkat andalannya itu.
"APA YANG ANDA LAKUKAN!" Teriak Heri yang langsung saja menghentikan hal itu, menata kesal ke arah Kriss sayang tidak melakukan perlawanan sedikitpun.