Sehari berlalu, Tiffany pun akhirnya sudah diperbolehkan untuk kembali pulang. Papanya datang menjemputnya dengan membawakan bunga di tangannya. Tongkat yang selalu dibanggakan itu sudah tidak ada lagi.
"Kamu pulang sama papa kan? Kita ke rumah dulu. Setelah kamu pilih kamu bisa bekerja lagi." Tanya papanya yang langsung saja membuat Tiffany menoleh ke arah Kriss yang tidak memperdulikan itu dan asik memasukkan sisa buah-buahan dan juga yang lainnya ke dalam plastik.
"Apakah kamu perlu ijinnya juga?" Tanya papanya sembari melihat ke arah Kriss yang masih tidak peduli.
"Hei! Apakah putriku harus kembali denganmu?" Tanya papa Tiffany yang langsung saja membuat Kriss menoleh dan menatap ke arah Tiffany.
"Tidak! Bawa saja dia bersama anda. Saya sudah merawatnya beberapa hari ini, jadi anda bisa membawanya tanpa perlu merasa sungkan." Jawab Kriss yang langsung saja membuat Tiffany berdecak pelan, tap percaya dengan jawaban yang diberikan oleh laki-laki itu. Benar-benar mengesalkan, tapi Tiffany tidak bisa melakukan apa-apa.
"Lagipula kemarin dia merengek merindukan anda," lanjut Kriss lagi, membuat Tiffany membuka bibirnya tak percaya dengan omong kosong yang dikatakan oleh Kriss.
"Ya!" Teriak Tiffany kesal sembari melempar bantal ke arah Kriss.
"Aku tahu, aku akan segera pergi. Jadi berhenti membuat keributan." Jawab Kriss sembari berjalan menghampiri ranjang dan meletakkan bantal itu di atas ranjang.
"Baik-baik ya di rumah, yang betah juga. Soalnya kalau ada kamu aku tidak bisa tidur nyenyak." Kata Kriss membuat Tiffany melotot saat mendengarnya.
"Jambak dulu?" Tanya Kriss sembari mendekatkan kepalanya.
Tiffany yang kesal tentu saja langsung menarik rambut laki-laki itu dengan kesal, papa Tiffany yang melihatnya tentu saja hanya bisa meringis. Bisa-bisanya laki-laki itu membiarkan putrinya melakukan hal itu.
"Kembalilah hari Senin, weekend aku tidak ada ditempat." Bisik Kriss memberitahu.
Kriss menarik kepalanya dan tersenyum lebar ke arah Tiffany yang terdiam saat mendengarnya.
"Berangkat kapan? Aku ikut!" Tanya Tiffany sembari berteriak ke arah Kriss yang sudah keluar dan tidak mengindahkan pertanyaannya.
"Apakah hubungan kalian seperti itu?" Tanya papa Tiffany dengan suara pelan.
"Seperti itu bagaimana?" Tanya Tiffany sedikit enggan.
"Terus berdebat dan kamu yang sering melakukan kekerasan?" Tanya papanya sembari memegangi rambutnya.
"Itu namanya bukan kekerasan. Kalau di dalam kamar dia yang melakukan kekerasan, menarik rambut panjang Tiffany dengan kasar." Jawab Tiffany yang langsung saja membuat papanya tertawa pelan saat mendengarnya.
"Benar-benar," gumam papa Tiffany sembari mendekati putrinya dan membantunya untuk mengenakan jaketnya.
"Mau mampir ke rumah mama?"
Tiffany terdiam, menatap ke arah papanya yang terlihat serius. Tiffany tidak ingin menjawabnya dan memutuskan untuk mengabaikan apa yang dikatakan oleh papanya.
"Papa serius, hari ini papa mengemudikan mobil sendiri, jadi jika kamu mau kita bisa menginap di sana juga." Lanjut papanya.
"Siapa yang mau tidur satu ruangan dengan orang mati?" Balas Tiffany dengan cepat.
"Kita hanya mampir dan langsung pulang, aku tidak ingin tidur di sana." Lanjut Tiffany yang langsung saja membuat papanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Tiffany merasa tidak terbiasa dengan senyuman papanya, untuk itu Tiffany merasa ragu. Jika papanya tersenyum, maka akan ada hal buruk yang terjadi. Jadi Tiffany akan lebih hati-hati.
"Papa sudah membereskan perjodohan terakhir kali, sekarang papa akan membiarkan kamus memilih pasangan kamu sendiri." Kata papanya memberitahu.
"Tiffany tidak akan menikah." Jawab Tiffany membuat papanya terkejut.
"Orang yang Tiffany sukai benar-benar tidak punya masa depan." Kata Tiffany memberitahu.
"Apakah kalian datang ke peramal untuk membaca nasib?" Tanya papanya penasaran.
"Anggap saja seperti itu, tapi yang pasti dia benar-benar tidak memiliki masa depan yang bagus." Jawab Tiffany yang langsung saja membuat papanya tertawa pelan saat mendengarnya.
"Baiklah, senyaman kamu saja." Balas papanya sembari mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut putrinya.
Tiffany yang mendapatkan perlakuan itu tentu saja merasa aneh dengan papanya. Tidak seperti biasanya papanya bersikap seperti itu. Benar-benar tidak seperti papanya yang biasanya.
"Papa sedang berusaha menjadi orang tua yang baik untuk kamu, jadi mohon bantuannya." Ucap papanya memberitahu.
Tiffany yang mendengarnya tentu saja tertawa pelan, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Kenapa tertawa seperti itu? Apakah sudah terlambat?" Tanya papanya lagi.
"Ya! Tapi tidak apa-apa karena papa sudah berniat melakukannya papa lakukan saja dengan baik." Jawab Tiffany tentu saja langsung membuat papanya mengubah ekspresi wajahnya.
Setelah itu, Tiffany dan papanya pun meninggalkan rumah sakit dan berada di dalam mobi.
Tiffany menatap ke arah jalanan yang cukup ramai, tapi tidak sampai macet.
"Apakah papa sudah mengunjungi rumah?" Tanya Tiffany pelan.
"Apa ada sesuatu di rumah?" Tanya papanya pelan.
"Tidak ada apa-apa." Jawab Tiffany dengan suara pelan.
Semenjak mamanya meninggal, papanya tidak pernah lagi pulang ke rumah yang dulu ditinggali bersama. Rumah itu dibiarkan begitu saja dengan beberapa pekerja yang ditempatkan di sana untuk mengurus rumah.
Papanya memutuskan untuk mengajak dirinya pindah ke rumah dinas yang jaraknya sangat dekat dengan perusahaan dan juga rumah sakit. Tiffany tidak tahu kenapa papanya tidak pernah mengunjungi rumah itu lagi, tapi sering datang mengunjungi makan mamanya.
"Apakah kamu ingin kembali ke rumah?" Tanya papanya dengan suara pelan.
"Tidak, terserah papa mau pulang ke mana." Jawab Tiffany pada akhirnya.
Tiffany turun dari mobil dan berjalan lurus, melewati tanaman bunga lili yang tidak pernah mati meskipun berganti musim. Papanya meminta seseorang untuk merawatnya dengan baik, tidak membiarkan bunga kesayangan mamanya itu mati begitu saja.
Tiffany membuka pintu dan masuk ke dalam, aroma harum dari berbagai bunga yang ada di ruangan itu membuat Tiffany berhenti sejenak.
Tiffany berjalan mendekati pot bunga mawar merah yang sedang mekar. Itu semua bukan bunga plastik, melainkan bunga asli yang dirawat dengan sangat baik.
Tiffany mengambil bunga mawar itu dengan memotong tangkainya, setelah itu Tiffany pun segera berbalik, menatap ke arah papanya yang menatap ke arahnya.
"Apakah kamu merusaknya lagi?" Tanya papanya yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Tiffany.
"Mama tidak terlalu menyukai bunga lambang cinta ini, jadi papa tidak perlu khawatir, karena mama tidak akan marah." Jawab Tiffany memberitahu.
Tiffany berjalan mendekati jasad mamanya yang masih sangat cantik meskipun sudah diawetkan selama lebih dari sepuluh tahun. Setiap tahunnya, mamanya akan berganti pakaian dan juga riasan, dan hak utama membuat mamanya terlihat hidup.
Tiffany menatap lurus ke arah mamanya, bercerita di dalam hati tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini. Setelah merasa cukup, Tiffany pun memutuskan untuk menghampiri makam tantenya tantenya dan meletakkan bunga yang tadi ia petik di atas nisan itu.
"Apakah kak Heri sudah datang? Dia akan menikah lagi sebentar lagi." Tanya Tiffany berbicara dengan makam tantenya.
"Tante jangan khawatir, kali ini kak Heri bersama wanita yang baik. Jadi dia pasti akan bahagia dan tidak akan berpisah lagi karena pengkhianatan." Lanjut Tiffany memberitahu.
"Sebenarnya Tiffany ingin bicara lebih banyak dengan Tante tapi Tiffany mengantuk, jadi Tiffany akan pulang dan mengingatkan kak Heri untuk datang bersama calon istrinya."
"Tiffany kasih bocoran, Tante akan segera memiliki cucu. Tante pasti tidak sabar untuk menyambutnya." Lanjut Tiffany sebagai percakapan akhirnya.
Setelah itu Tiffany mengajak papanya pergi. Melihat Tiffany yang hanya bicara dengan tantenya tentu saja membuatnya memutuskan untuk menghampiri istrinya.
"Mungkin karena ada aku, jadi dia tidak bicarain banyak hal." Ucapnya mencoba untuk menenangkan istrinya.
Setelah itu, dirinya pun pergi meninggalkan ruangan itu dan menghampiri putrinya yang sudah masuk ke dalam mobil.
"Supir papa di mana?" Tanya Tiffany penasaran.
"Papa memberinya cuti untuk bertemu keluarganya." Jawabnya yang langsung saja membuat Tiffany menganggukkan kepalanya mengerti.
Selama perjalanan pulang, Tiffany memutuskan untuk tidur, membiarkan papanya bosan karena tidak memiliki teman bicara.
Tiffany bangun saat dirinya dibangunkan oleh papanya. Tiffany menatap ke arah sekitar dengan sedikit tak percaya.
"Ayo turun, kita pulang ke rumah." Ajak papanya yang langsung saja membuat Tiffany segera turun dan masuk ke dalam rumah yang sudah cukup lama tidak ia kunjungi. Semua itu karena tidak ada orang lain di sini kecuali para pekerja.
"Tidurlah di kamar, papa akan ke kamar kerja lebih dulu." Tiffany tentu saja langsung menaiki tangga, di mana kamarnya terletak di lantai dua.
***
Kriss yang baru saja kembali tentu saja langsung ke kamarnya dan memutuskan untuk istirahat. Dirinya benar-benar lelah dan ingin tidur seharian ini. Untuk itu Kriss mematikan ponselnya, tidak berniat untuk menerima panggilan dari siapapun.
Baru saja Kriss ingin tidur, pintunya terbuka dan memperlihatkan Anto yang masuk ke dalam kamarnya.
"Bagaimana kabar Tiffany?" Tanya Anto penasaran.
"Dia pulang bersama papanya dan sudah baik-baik saja." Jawab Kriss memberitahu.
"Ah, di plastik itu ada buah-buahan, ambillah jika kamu mau. Setelah itu keluarlah, aku ingin tidur dengan nyenyak hari ini." Kata Kriss yang langsung saja membuat Anto menggelengkan kepalanya tak percaya saat mendengarnya.
Anto memutuskan untuk keluar dan membiarkan Kriss tidur. Saat ingin kembali, Anto melihat dokter Anya yang ingin ke kamar Kriss.
"Dia bilang ingin tidur nyenyak, daripada dokter Anya sakit hati karena diusir, mending dokter Anya kembali saja." Kata Anto memberitahu.
Dokter Anya yang mendengarnya tentu saja langsung menatap ke belakang punggung Anto, setelah itu dokter Anya memutuskan untuk berterima kasih pada Anto yang sudah memberitahukannya.
Dokter Anya kembali dengan perasaan tenang, mungkin Kriss memang lelah jadi dia ingin istirahat. Apalagi di rumah sakit, dia pasti tidak punya banyak waktu untuk istirahat seperti saat di rumah seperti ini. Belum lagi dokter yang merawat Tiffany selalu datang setengah jam sekali untuk memeriksa kondisinya.
"Kenapa kembali?" Tanya Heri pada calon istrinya.
"Anto bilang dia ingin tidur nyenyak dan tidak mau diganggu." Jawab Anya memberitahu.
Anya meletakkan piringnya di atas meja dan menatap ke arah calon suaminya yang sudah sibuk dengan laptopnya.
"Jika penting, pergi saja." Kata Anya memberitahu.
"Tidak ada hal yang lebih penting daripada kamu, jadi jangan khawatir." Jawab Heri memberitahu.
"Kapan kamu mau pindah?" Tanya Heri pada Anya.
Heri sudah mengambil surat kontrak milik istrinya dan juga sudah menghancurkannya, Heri juga sudah memberitahu istrinya tentang hal itu. Tapi istrinya bilang dia tidak ingin resign dan tetap ingin bekerja. Sebagai gantinya, Heri meminta istrinya untuk pindah ke rumahnya saja dan tidak lagi tinggal di sini.
"Setelah menikah saja ya? Aku masih ingin di sini. Kalau di sini kan aku masih ada temen, kalau di rumah cuma sama kamu." Jawab Anya ragu-ragu.
Heri menganggukkan kepalanya setuju. Mungkin hal itu memang lebih bagus untuk Anya yang tengah hamil. Karena bagaimanapun juga dia harus tetap menjaga kewarasannya agar tidak stress karena memikirkan kehamilan pertamanya.
"Kalau begitu terserah kamu saja, yang penting kamunya nyaman." Kata Heri pada akhirnya.
Anya pun tersenyum lebar saat mendengarnya. Anya berjalan mendekati calon suaminya dan melihat apa yang dikerjakan oleh calon suaminya itu.
"Apakah kamu menangani hal seperti ini juga?" Tanya Anya sedikit terkejut.
"Hem, dia mucikari terkenal di kota ini. Jadi dia membutuhkan jasa pengawal untuk mengawasi anak buahnya yang ikut dengan dia." Jawab Heri memberitahu.
Mila menatap ke arah wanita-wanita yang menggunakan pakaian minim itu, jika calon suaminya saja menangani hal seperti ini, bukankah jika dia mau dia mudah untuk mendapatkan pelayanan?
"Aku tidak melakukan s*x bebas, istilahnya sayang sama keluarga. Kalau ada apa-apa, nanti keluarga kecilku akan ikut terkena imbasnya juga." Kata Heri menjawab pertanyaan yang tidak diutarakan oleh calon istrinya.
"Bagaimana kamu tahu?" Tanya Anya penasaran.
Heri menoleh ke samping dan menyentuh dahi wanita itu yang berkerut.
"Terlihat sekali jika kamu memikirkannya terlalu keras, kulitmu akan benar-benar cepat keriput jika kamu suka memikirkan hal-hal yang tidak penting." Jawab Heri yang langsung saja membuat Anya tersenyum tipis saat mendengarnya.
Beberapa waktu yang lalu, calon suaminya itu mengatakan jika dirinya itu kurang kerjaan. Alasannya? Tentu saja karena dirinya memeriksa orang dan juga memikirkan penyakit orang lain, tidak hanya itu, dirinya juga harus memikirkan obat yang tepat untuk menyembuhkannya. Awalnya Anya sedikit kesal saat mendengarnya, karena dirinya pun sudah belajar dengan sangat keras untuk meraih gelarnya itu. Tapi calon suaminya malah menyimpulkan hal seperti itu. Lalu sekarang entah bagaimana otaknya dicuci, dirinya tiba-tiba merasa hal itu ada benarnya juga.
"Berapa banyak yang kamu dapatkan?" Tanya Anya penasaran.
"Ada apa?" Tanya Heri menoleh ke arah calon istrinya.
"Apakah kamu berniat menjadi pengangguran?" Tanya Heri yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Anya.
"Tidak sekarang, tapi nanti aku ingin jadi pengangguran saja." Jawab Anya dengan cepat.
"Saat kamu sudah ingin melakukannya katakan padaku, aku akan bekerja lebih keras untuk menghidupi kamu dan juga anak-anak kita." Kata Heri dengan sungguh-sungguh.
"Bersantailah di rumah, atau pergi ke luar juga tidak apa-apa. Melakukan treatment wajah dan juga melakukan hal lainnya. Tidak perlu mengkhawatirkan uangnya, karena itu menjadi tugasku untuk mencarinya."
Anya yang mendengarnya tentu saja tersenyum tipis, bisa-bisanya dirinya akan memiliki suami yang sangat baik padanya.
"Kalau begitu, teruskan pekerjaanmu! Aku akan berbaring. Jika ada pasien yang datang jangan lupa langsung panggil aku." Kata Anya yang langsung saja disetujui oleh Heri.
Heri sudah seperti asisten dokter, di mana dirinya yang berjaga di depan dan membantu mencari data pasien yang datang dan ingin melakukan pengobatan.
Meskipun begitu, Heri menikmati pekerjaannya itu, dirinya benar-benar senang dan tidak sedikitpun kesal karena hal itu.
Suara ketukan pintu yang terdengar membuat Heru bersuara, meminta orang itu masuk ke dalam.
"Apakah dokter Anya tidak ada?" Tanyanya yang langsung saja membuat Heri menoleh ke dalam. Calon istrinya itu baru saja istirahat, bagaimana bisa ada orang yang datang.
"Apa yang kamu keluhkan?" Tanya Heri yang langsung saja membuat wanita itu sedikit bingung saat menjawabnya.
"Saya ingin meminta obat pereda nyeri haid." Jawabnya yang langsung saja membuat Heri bangun dan memanggil calon istrinya.