Matahari telah tinggi, sinarnya menerobos masuk melalui celah-celah tirai di ruang makan keluarga Arjuan. Namun, di tengah cahaya pagi yang cerah, suasana rumah itu terasa muram. Shanas menatap putranya yang baru saja memasuki ruang makan dengan langkah gontai. Wajah Varo terlihat lelah, kantung matanya menghitam, dan matanya masih menyipit seperti orang yang baru bangun tidur. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi—waktu di mana biasanya Varo sudah segar dan bersiap untuk beraktivitas. “Varo…” panggil Shanas pelan, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Varo hanya mendesah pelan sebelum menjatuhkan dirinya di kursi meja makan. Ia menutup matanya sejenak, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengusir kantuk yang masih menyerang. Shanas duduk di sampingnya, menatap