Varo menatap dirinya di depan cermin besar apartemennya. Kaos hitam yang ia kenakan melekat sempurna di tubuhnya, membingkai dengan jelas otot-ototnya yang terbentuk dengan baik. Jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya semakin menambah kesan maskulin dan misterius. Rambutnya sengaja ia sisir dengan gaya yang sedikit acak, memberikan sentuhan liar namun tetap memikat.
Dia menyisir rambutnya sekali lagi dengan jemarinya sebelum melangkah menuju pintu apartemen. Namun, begitu dia membuka pintu, matanya membulat sedikit, tidak menyangka melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Ruby.
Wanita itu berdiri dengan santai, mengenakan gaun ketat berwarna merah darah yang menonjolkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang bergelombang ditata begitu elegan, sementara bibir merahnya melengkung membentuk senyuman menggoda. Mata tajamnya menyapu penampilan Varo dari ujung kepala hingga ujung kaki, menilai setiap detail dengan penuh kepuasan.
“Hmmm…” Ruby berdeham pelan, matanya sedikit menyipit, lalu mengangguk kecil. “Memang tampan.”
Varo hanya menatapnya tanpa ekspresi berlebihan, sudah terbiasa dengan cara Ruby memandangnya seperti itu.
Ruby kemudian melangkah sedikit mendekat, tangannya bermain di d**a Varo sebelum bertanya dengan nada manja namun tetap dominan, “Jadi, apakah sugar baby-ku sudah siap menemani Mommy ke klub malam?”
Varo menatapnya sejenak, lalu mengangguk perlahan. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya meraih pinggang Ruby dan menariknya sedikit lebih dekat, seolah menunjukkan kepatuhannya.
Ruby tertawa kecil, suara tawanya terdengar begitu feminin namun menyimpan makna terselubung. “Bagus,” gumamnya sambil mengusap dagu Varo sebelum menarik diri.
Keduanya berjalan turun ke lobi hotel dengan penuh percaya diri. Semua mata yang ada di sekitar mereka seketika tertuju pada pasangan yang terlihat begitu mencolok ini. Ruby yang anggun dan menggoda, serta Varo yang maskulin dengan aura misteriusnya.
Saat mereka tiba di depan hotel, Varo mengeluarkan kunci mobilnya, bersiap menuju kendaraan pribadinya. Namun, Ruby dengan cepat menahan tangannya.
“Jangan bawa mobilmu,” katanya, mengibas-ngibaskan jari telunjuknya di depan wajah Varo. “Pakai mobilku saja.”
Varo mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap ke arah yang ditunjuk Ruby. Di sana, sebuah Audi R8 berwarna hitam berkilau terparkir sempurna di depan pintu masuk hotel.
Ruby menyeringai. “Kamu yang menyetir.”
Tanpa banyak bicara, Varo mengambil kunci mobil dari tangan Ruby dan berjalan ke sisi pengemudi. Saat dia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara gemuruh dari mesin mobil sport itu memenuhi udara, terdengar begitu bertenaga.
Ruby masuk ke dalam mobil dengan anggun, lalu duduk di kursi penumpang. Mata wanitanya masih terpaku pada Varo, terutama pada lengan berototnya yang terlihat begitu mencolok saat dia mengendalikan setir.
“Hmmm… memang tampan,” gumam Ruby sekali lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. Dia menikmati pemandangan di sampingnya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan kota yang mulai dipenuhi lampu-lampu malam. Ruby menyilangkan kakinya dengan anggun, lalu menoleh ke arah Varo yang tetap fokus pada jalan.
“Kamu tahu, Varo?” Ruby mulai berbicara dengan suara lembut. “Aku sangat suka saat kamu menurut seperti ini.”
Varo tidak menanggapi, hanya menghela napas pelan.
Ruby tertawa kecil, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh paha Varo dengan ujung jarinya. “Jangan tegang begitu. Kita akan bersenang-senang malam ini.”
Varo menegang sesaat, tapi tetap tidak bereaksi berlebihan.
Malam ini akan menjadi malam yang panjang. Varo harus menemani wanita itu dan menuruti semua perintah Ruby.
**
Varo menghentikan Audi R8 dengan halus di depan klub malam mewah yang gemerlap dengan lampu-lampu neon. Musik berdentum dari dalam, memberikan kesan hidup yang liar dan penuh euforia. Dari balik kaca depan, Varo bisa melihat orang-orang berlalu-lalang, sebagian besar dalam kondisi mabuk atau sibuk menikmati malam mereka.
Saat dia hendak membuka sabuk pengaman dan keluar, suara lembut namun penuh perintah dari sebelahnya membuatnya berhenti.
“Sugar baby seharusnya membukakan pintu untuk mommynya, bukan?”
Varo menghela napas kasar, rahangnya mengencang sesaat sebelum akhirnya dia membuka pintu mobil dan keluar. Dia melangkah ke sisi penumpang dan dengan enggan menarik pegangan pintu, membukakannya untuk Ruby.
Wanita itu tersenyum penuh kemenangan, lalu keluar dari mobil dengan anggun. Gaun merahnya yang ketat membingkai tubuhnya dengan sempurna, menarik perhatian beberapa pria yang berdiri di sekitar pintu masuk klub.
Begitu dia berdiri tegak, Ruby tanpa ragu melingkarkan tangannya pada lengan kekar Varo, menariknya lebih dekat seolah ingin memamerkan pria tampan di sampingnya.
“Malam ini pasti menyenangkan,” gumamnya dengan nada penuh antisipasi.
Varo hanya diam, tidak merespons. Matanya melirik ke arah pintu klub yang terbuka lebar, memperlihatkan bagian dalam yang dipenuhi cahaya kelap-kelip, lantai dansa yang ramai, serta meja-meja dengan botol minuman mahal berjejer di atasnya.
Begitu mereka melangkah masuk, suara musik yang berdengung keras langsung memenuhi telinga mereka. Campuran aroma alkohol, parfum mahal, dan rokok langsung menyerang indra penciuman Varo, membuatnya sedikit tidak nyaman. Tapi dia tetap berjalan di samping Ruby tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
Ruby menuntun Varo melewati lantai dansa yang penuh sesak hingga akhirnya mereka tiba di sebuah meja VIP di sudut ruangan. Di sana, dua wanita sudah duduk dengan segelas wine di tangan mereka.
Begitu melihat Ruby datang bersama seorang pria tampan, keduanya langsung tersenyum penuh minat.
“Oh, Ruby,” salah satu dari mereka, wanita dengan rambut panjang berwarna cokelat yang belakangan diketahui bernama Lita, berbicara lebih dulu. “Aku pikir setelah bercerai dengan si tua Vando, kamu akan lebih sibuk menangisi pernikahanmu yang gagal. Tapi ternyata… kamu justru membawa pria tampan ke sini.”
Wanita lainnya, Jannie, seorang wanita dengan rambut pendek sebahu dan bibir merah menyala, menyeringai sambil melirik ke arah Varo. “Dan dia… astaga, dia sangat tampan.”
Mereka berdua tertawa kecil, jelas sekali menikmati pemandangan di hadapan mereka.
Varo yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba mengepalkan tangannya di bawah meja. Mendengar ayahnya dihina seperti itu, ada dorongan untuk membalas mereka. Namun, dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan orang-orang seperti ini. Maka, dia hanya diam, menahan amarahnya.
Ruby yang menyadari reaksi Varo hanya tersenyum tipis. Dia mengelus punggung tangan Varo di bawah meja, seolah memberi isyarat agar pria itu tidak bertindak bodoh.
“Ya, dia brondongku,” kata Ruby akhirnya dengan nada puas. “Sugar baby-ku.”
Lita dan Jannie menatap Ruby dengan penuh kekaguman, lalu terkikik geli.
“Kamu memang luar biasa, Ruby,” kata Lita sambil menggelengkan kepalanya. “Setelah meninggalkan si Vando tua itu, kamu justru mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Pria muda, tampan, dan pastinya lebih menyenangkan.”
Ruby hanya tersenyum, sedangkan Varo tetap diam, menyembunyikan rasa frustrasinya.
Ruby menyandarkan punggungnya ke sofa empuk di area VIP klub, mengambil gelas wine miliknya, dan mengaduk isinya perlahan dengan ujung jarinya sebelum menyesap sedikit. Senyum menggoda terukir di bibirnya.
“Biarkan saja si tua Vando kembali pada istrinya yang penyakitan,” katanya ringan, matanya menatap Lita dan Jannie dengan penuh kenikmatan. “Aku tidak butuh pria tua yang membosankan lagi. Sekarang aku punya Varo, brondongku yang tampan dan tentu saja…” Ruby mengusap lengan Varo dengan lembut, jemarinya menelusuri kulit pria itu. “Yang bisa membuatku puas.”
Lita dan Jannie tertawa terbahak-bahak, jelas menikmati hinaan Ruby terhadap mantan suaminya. Jannie bahkan sampai menepuk pahanya sendiri saking terhiburnya.
“Oh, Ruby, kau memang luar biasa,” ujar Lita sambil menyandarkan kepalanya di bahu Jannie. “Kau bukan hanya tetap cantik dan kaya, tapi juga tahu cara menikmati hidup.”
Jannie yang masih tersenyum melirik ke arah Varo dan mengedipkan sebelah matanya. “Jangan sia-siakan Ruby, Tuan Tampan. Dia itu orang kaya. Kalau kau pintar, kau bisa mendapatkan banyak dari hubungan ini.”
Varo tetap diam.
Satu tangannya mengepal di bawah meja, sementara yang satunya menggenggam gelas minumannya dengan erat. Dia menahan napas, mencoba mengendalikan amarah yang membakar di dadanya. Mendengar ayahnya dihina dengan begitu rendah, membuatnya ingin membalas, ingin menampar mereka dengan kata-kata tajam. Tapi dia tahu, melawan mereka tidak ada gunanya.
Ruby, yang duduk di sampingnya, menyeringai penuh kemenangan. Dia tahu betul bahwa Varo sedang menahan diri. Matanya menyapu wajah pria itu, memperhatikan ketegangan di rahangnya dan sorot matanya yang mulai berbahaya.
Masa bodoh.
Ruby tidak peduli.
Dia mengangkat gelas winenya dan mengarahkannya ke depan, seolah hendak bersulang. “Untuk hidup baru yang lebih menyenangkan,” ucapnya santai.
Lita dan Jannie mengikuti, mereka mengangkat gelas masing-masing dan menyesap minuman mereka dengan wajah penuh tawa.
Varo tetap diam, membiarkan gelasnya di atas meja tanpa menyentuhnya.
“Kenapa diam saja, Sayang?” Ruby bertanya dengan nada menggoda, mengelus d**a Varo dengan jarinya. “Jangan malu-malu di depan teman Mommy, hm?”
Varo menarik napas panjang dan akhirnya meraih gelasnya. Dengan enggan, dia menyesap sedikit minumannya, lalu menatap Ruby dengan tatapan datar.
Ruby tertawa pelan, lalu melingkarkan tangannya di lengan Varo dengan posesif. “Ayo, kita nikmati malam ini.”