Varo membuka matanya perlahan ketika cahaya matahari menerobos melalui celah gorden kamar. Matanya masih terasa berat setelah malam yang panjang, namun sinar mentari yang menyengat membuatnya sulit untuk kembali tidur. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang mulai memenuhi ruangan. Saat kesadarannya mulai pulih, Varo mendapati sosok Ruby yang duduk di dekat balkon kamar.
Ruby tampak begitu anggun dalam balutan jubah sutra merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wanita itu duduk dengan santai, satu kaki disilangkan di atas yang lain, sembari memegang secangkir coklat hangat di satu tangan dan laptop terbuka di pangkuannya. Wajahnya serius, seakan tengah membaca sesuatu yang penting di layar. Varo mengerutkan kening. Wanita itu bangun sejak kapan? Bagaimana bisa dia sudah rapi dan sibuk dengan pekerjaannya sementara Varo masih merasa malas untuk bangun dari ranjang?
Tanpa menoleh sedikit pun, Ruby berkata dengan nada santai, "Oh, ternyata kamu sudah bangun. Baguslah. Lebih baik kau mandi, lalu kita sarapan bersama." Nada suaranya terdengar seperti perintah daripada ajakan.
Varo mendengus pelan. Sebenarnya dia masih ingin tidur, tubuhnya terasa masih berat. Namun sebelum ia sempat menarik kembali selimut dan mencoba tidur lagi, suara Ruby kembali terdengar, kali ini lebih tegas. "Jangan tidur lagi. Aku tidak suka membiarkan tamu terlalu lama di apartemenku. Lagipula, aku ada urusan di perusahaan setelah ini."
Varo berdecak kesal dan bangkit, duduk di tepi ranjang. "Semalam siapa yang menyuruhku menginap?" gumamnya dengan nada protes.
Ruby menutup laptopnya dengan gerakan sedikit kasar dan akhirnya menatap Varo dengan tatapan tajam. "Sugar baby tidak boleh melawan perintah mommynya," katanya dengan seringai licik di bibirnya.
Varo mendengar itu hanya mengangguk malas. Ia berdiri dan berjalan menuju kamar mandi, masih merasa berat untuk bergerak sepagi ini. Namun, tatapan tajam Ruby terus menatapnya seolah menuntutnya untuk segera bergerak. Saat berjalan melintasi ruangan, Ruby memperhatikan tubuh kekarnya yang hanya ditutupi celana tidur longgar. Lekuk otot punggungnya yang kokoh serta perutnya yang berlapis otot membuat wanita itu tersenyum kecil. Ia menjilat bibirnya perlahan, mengagumi betapa sempurnanya pria yang sekarang menjadi sugar babynya.
“Hmm… kau tahu, Varo?” suara Ruby terdengar menggoda, membuat Varo menoleh sekilas sebelum masuk ke kamar mandi. “Aku rasa aku sangat beruntung memiliki sugar baby sepertimu.”
Varo tidak merespons, hanya menutup pintu kamar mandi dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya, membuat Ruby tertawa kecil.
Setelah beberapa menit di bawah pancuran air hangat, Varo merasa lebih segar. Ia menyeka wajahnya dengan tangan, berusaha menghilangkan sisa kantuk yang masih menggantung di matanya. Setelah selesai, ia melilitkan handuk di pinggangnya dan berjalan keluar.
Di depan lemari, ia menemukan pakaian yang telah disiapkan Ruby. Kemeja putih berkualitas tinggi dan celana panjang yang terlihat mahal. Varo menghela napas dan tersenyum miring. "Tentu saja," gumamnya pelan. "Ruby selalu memastikan aku berpakaian sesuai dengan seleranya."
Ia mengenakan pakaian itu dan berjalan menuju meja makan, di mana Ruby sudah menunggu dengan sarapan yang telah disiapkan oleh pelayan apartemen. Wanita itu menyesap coklatnya dengan anggun, lalu menatap Varo dengan ekspresi puas.
“Kau tampak luar biasa dalam pakaian itu,” komentar Ruby dengan seringai. “Lihatlah dirimu, seperti model kelas atas. Aku tahu pilihanku tidak pernah salah.”
Varo hanya menatapnya tanpa ekspresi sebelum menarik kursi dan duduk di seberang wanita itu. Ia mulai menyantap sarapannya tanpa banyak bicara. Ruby terus menatapnya, seolah menunggu sesuatu.
“Kau tidak akan mengucapkan terima kasih, sayang?” goda Ruby sembari menyilangkan tangannya di atas meja. “Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu, memberimu tempat tidur yang nyaman, bahkan sarapan lezat ini. Apa itu tidak cukup untuk mendapatkan sedikit penghargaan?”
Varo menatapnya sebentar sebelum akhirnya menghela napas. “Terima kasih, Mommy,” ucapnya dengan nada yang jelas-jelas dibuat-buat.
Ruby tertawa kecil, puas dengan respons yang diberikan Varo. Ia menyesap kembali coklat hangatnya sebelum berkata, “Bagus. Aku suka sugar baby yang tahu cara menghargai apa yang dia dapatkan.”
Setelah sarapan selesai, Ruby berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Varo. Ia berdiri di belakangnya, lalu menunduk, membisikkan sesuatu di telinganya.
“Nanti malam, kita akan makan malam di restoran Prancis. Aku sudah memesankan tempat.”
Varo menegakkan tubuhnya. “Aku punya urusan di perusahaan.”
Ruby tertawa pelan, tangannya mengelus lembut bahu Varo. “Oh, sayang. Kau lupa siapa yang menyelamatkan perusahaanmu?”
Varo mengepalkan tangannya di atas meja. Dia tidak bisa membantah. Ruby benar. Wanita ini memiliki kendali atas perusahaannya.
“Baiklah,” jawabnya akhirnya.
Ruby menepuk bahu Varo dengan ringan. “Bagus sekali. Aku suka sugar baby yang patuh.”
Setelah itu, Ruby berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Varo yang hanya bisa duduk diam, menatap piring kosong di depannya dengan perasaan campur aduk. Satu hal yang jelas, ia semakin terperangkap dalam permainan Ruby.
Ruby kembali keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang rapi. Pakaian kantornya melekat di tubuhnya. Membuat Varo memandang wanita itu dengan penuh penilaian.
Dulu Ruby terlihat kumal sekali. Dan tidak ada aura orang kaya sama sekali pada diri Ruby. Namun sekarang? Varo sadar, betapa wanita itu cantik dan terlihat seperti orang kalangan atas dan lihat? Bagaimana tas Loro Piana yang ditenteng oleh Ruby dan sepatu Loro Piana yang dikenakan olehnya.
Seperti old money yang memiliki banyak uang yang melimpah dan selalu hidup dalam kemewahan.
“Kenapa? Kau masih terkejut karena mantan istri ayahmu ini adalah orang kaya? Tidak perlu terkejut sayang. Lagian Mommy memang orang kaya. Memiliki segalanya. Kalau Mommy tidak kaya, bagaimana bisa menjebakmu berada di posisi Mommy sayang. Bagaimana bisa Mommy membantu perusahaanmu hmm? Kau tidak perlu terkejut tampan.” Ruby menepuk pelan pipi Varo.
Varo berdecak. “Kau sangat sombong sekali Ruby!”
Ruby tertawa sinis. “Bukankah harta kekayaan itu untuk disombongkan? Agar kamu tidak diinjak-injak Varo. Karena kau miskin, maka orang lain akan menginjak harga dirimu. Seperti kau dan ayahmu dulu. Yang melempar surat cerai ke hadapanku.” Seringai Ruby sinis.
Ruby melirik jam di pergelangan tangannya. “Kau bisa keluar dari apartemenku Varo. Karena aku juga akan pergi.” Usir Ruby.
Varo segera berdiri dari tempatnya. Dan berjalan keluar dari apartemen Ruby. Ruby menyeringai melihat anak tirinya itu sudah pergi.
Bukankah menjadi orang kaya memang begitu berarti? Karena dirimu tidak akan pernah dihina oleh orang!