Ruby melempar tasnya dengan kasar ke sofa di ruang tengah rumah bertingkat dua yang baru ditempatinya dua hari bersama Vando. Tas kulit cokelat itu jatuh begitu saja, isinya berhamburan, tetapi Ruby tidak peduli. Dadanya naik turun, napasnya tersengal karena emosi yang menggelegar.
Matanya yang berkilat penuh amarah menatap tajam ke arah Vando, lelaki 54 tahun yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu tetap tenang, seperti tidak merasakan apa pun, seolah yang baru saja ia ucapkan di rumah sakit tidak berarti apa-apa.
Ruby menggigit bibirnya, menahan isakan yang akan pecah. Ia tahu, ia seharusnya bisa mengendalikan diri. Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa ia menerima kenyataan bahwa lelaki yang baru saja menikahinya dua hari lalu, yang bersumpah di hadapan Tuhan untuk bersamanya, kini begitu santai mengatakan ingin menceraikannya?
"Dasar lelaki kejam!" Ruby menggeram.
Ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Bunyi pecahan kaca menggema di seluruh ruangan, namun Vando tidak bereaksi. Hanya menatapnya dengan sorot mata lelah, seolah menghadapi seorang anak kecil yang sedang mengamuk.
Ruby mengangkat dagunya, suaranya naik satu oktaf saat ia berteriak, "AKU TIDAK MAU BERCERAI!"
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan kemarahan yang siap meledak kapan saja. Dadanya terasa sesak, seolah-olah seseorang baru saja meremas jantungnya dengan kejam.
Vando menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Ia melangkah mendekat, ekspresinya masih sama—tenang, tanpa rasa bersalah.
Ketika ia sudah cukup dekat, tangannya terangkat, menyentuh wajah Ruby dengan lembut. Ia mengusap air mata yang mulai membasahi pipi Ruby. Sentuhan itu begitu familiar, tetapi kali ini membuat Ruby semakin muak.
"Ruby..." Suaranya terdengar lembut, nyaris seperti bisikan. "Kau masih muda. Kau bisa mencari lelaki lain yang lebih baik untuk menikah denganmu."
Ruby menepis tangannya dengan kasar. Ia menatap Vando dengan mata membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Lelaki lain?" Ruby tertawa, tawa yang penuh luka. "Kau pikir ini hanya soal menikah dan mencari lelaki lain? Aku ini istrimu, Vando! Baru dua hari! Dan sekarang kau menyuruhku mencari pria lain seolah aku ini hanya barang rusak yang bisa kau kembalikan begitu saja?"
Vando tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Aku tidak bisa meninggalkan dan menyakiti Shanas," katanya akhirnya.
Kata-kata itu menusuk Ruby lebih dalam dibandingkan apa pun.
Ia mencengkeram d**a kirinya, seolah-olah bisa menenangkan rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
"Tidak bisa menyakiti Shanas?" suaranya bergetar. "Lalu aku? Aku ini apa bagimu?"
Vando menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman, tetapi juga ketegasan yang tak tergoyahkan. "Aku tahu kau sakit hati, Ruby. Aku tahu ini tidak adil. Tapi aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa meninggalkan Shanas."
Ruby menggelengkan kepalanya berulang kali, seakan menolak kenyataan yang sedang terjadi. "Kau sudah menikah denganku, Vando. Kau sudah berjanji! Kau sudah mengucapkan sumpah! Dan sekarang, kau hanya ingin membuangku begitu saja?"
Vando menutup matanya sejenak sebelum kembali menatap Ruby. "Aku minta maaf."
Kata-kata itu terdengar kosong di telinga Ruby.
Minta maaf?
Setelah menghancurkan dunianya, setelah membuatnya merasa begitu berarti lalu mencampakkannya hanya dalam waktu dua hari, dia hanya bisa mengatakan ‘aku minta maaf’?
Amarah Ruby semakin membuncah.
Tanpa berpikir panjang, ia memukul d**a Vando dengan kepalan tangannya. Tidak keras, tetapi cukup untuk menunjukkan betapa hancurnya ia saat ini.
"Kau kejam! Kau menghancurkanku!" isaknya. "Aku mencintaimu, Vando! Aku mencintaimu!"
Vando tidak bergerak, hanya membiarkan Ruby melampiaskan emosinya.
Ruby menatapnya dengan air mata yang terus mengalir, dadanya naik turun karena tangis yang tertahan. "Kau tahu bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang dan berusaha mempercayainya, hanya untuk disingkirkan begitu saja?"
Vando tetap diam.
"Tidak ada gunanya aku menangis, bukan?" Ruby tersenyum pahit. "Kau sudah mengambil keputusan. Aku ini hanya kesalahan bagimu."
Bibir Vando terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak jadi mengatakannya.
Hening mengisi ruangan selama beberapa saat.
Ruby menghapus air matanya dengan kasar, meskipun percuma karena tangisannya terus berjatuhan.
"Aku tidak akan menceraikanmu," katanya akhirnya, suaranya tegas meski masih dipenuhi emosi.
Vando menatapnya dengan ekspresi sedikit terkejut. "Ruby..."
"Aku tidak akan menceraikanmu," ulang Ruby. "Aku istrimu, Vando. Kau memilihku. Aku tidak akan membiarkan kau mencampakkan aku begitu saja hanya karena Shanas sadar."
Vando menghela napas panjang. "Ini bukan soal memilih, Ruby."
"Tapi kau sudah memilih!" potong Ruby cepat. "Dua hari yang lalu, kau memilihku! Kau menikahiku! Kau membawaku ke rumah ini! Kau bilang aku bagian dari hidupmu!"
Suara Ruby pecah di akhir kalimat.
"Aku tidak bisa mengabaikan Shanas," kata Vando dengan nada pelan.
Ruby tertawa lagi, tawa yang dipenuhi kepahitan. "Dan kau bisa mengabaikanku? Kau bisa menghancurkanku? Aku ini tidak berarti apa-apa bagimu, ya?"
Vando kembali terdiam.
Ruby melangkah mundur, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Aku tidak akan pergi dari rumah ini. Aku tidak akan menceraikanmu. Kau ingin kembali pada Shanas? Silakan. Tapi jangan harap aku akan mengalah dan membiarkanmu mengusirku begitu saja."
Vando menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, "Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri dengan bertahan, Ruby."
"Aku sudah cukup sakit," Ruby berbisik. "Dan semuanya karena kau."
Air mata masih terus mengalir di pipinya, tetapi kali ini tidak ada isakan.
Hanya keheningan yang begitu menyakitkan.
Dan di antara keheningan itu, Ruby bersumpah dalam hati.
Jika Vando berpikir ia bisa membuangnya begitu saja, ia akan membuktikan bahwa ia tidak akan menyerah semudah itu.
Jika ini adalah permainan Vando untuk menghancurkan hidupnya. Maka Vando harus melihat permainan Ruby juga. Ruby tidak akan menjadi lemah.