Bab 03

752 Kata
Ruby Joana berdiri di lorong rumah sakit, jari-jarinya mencengkeram tali tas dengan erat. Ruang rawat VIP yang berada tepat di hadapannya terasa seperti gerbang neraka yang menunggunya untuk masuk. Jantungnya berdegup keras, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang mulai membakar tubuhnya. Ia tidak boleh ada di sini. Ia tahu itu. Tapi ia harus tahu apa yang sedang dibicarakan mereka di dalam sana. Ia ingin tahu sejauh mana dirinya telah dihina dan dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi suaminya. Perlahan, ia mendorong sedikit pintu ruangan itu. Tidak banyak, hanya cukup untuk melihat dan mendengar dengan jelas. Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Vando, lelaki yang baru saja menikahinya empat hari lalu, berdiri di dekat tempat tidur rumah sakit, wajahnya lelah dan penuh beban. Di sampingnya ada Shanas, wanita yang baru sadar dari koma setelah enam tahun, wanita yang membuat Ruby dianggap tak berarti dalam hidup Vando. Namun, yang membuat darah Ruby semakin mendidih adalah lelaki muda yang berdiri di hadapan mereka dengan sorot mata tajam penuh amarah. Elvaro Arjuan. Putra Vando yang berusia 27 tahun. "Kau tahu apa yang paling menjijikkan dari semua ini, Pa?" suara Varo penuh kebencian. "Gadis jalang itu haus akan sentuhan dan perhatian! Lihat sekarang, dia tidak mau bercerai! Dia mau merusak rumah tangga Mama dan Papa!" Ruby merasakan tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat di tenggorokan, tapi ia tetap berdiri diam, mendengarkan. Varo menatap tajam ke arah Vando, penuh kekecewaan. "Aku tidak akan tinggal diam. Biar aku yang berbicara dengan Ruby dan memaksanya untuk bercerai. Dia tidak punya hak sedikit pun dalam keluarga ini!" Ruby mengepalkan tangan. Urat-urat kemarahan mulai bermunculan di tubuhnya. Shanas yang sedari tadi diam, akhirnya berbicara. Suaranya pelan, tapi penuh ketegasan. "Aku setuju, Varo." Ruby bisa melihat bagaimana tangan Shanas menggenggam selimutnya dengan erat, menunjukkan bahwa wanita itu juga sama marahnya. "Aku tidak mau dimadu," lanjutnya, suaranya semakin tegas. "Aku masih ingin menjadi istri satu-satunya Vando. Aku tidak akan membiarkan ada wanita lain di dalam hidup suamiku." Wanita itu berhenti sejenak, lalu menatap Vando dengan tajam. "Beritahu aku, Vando... apakah kau sudah tidur dengannya?" Jantung Ruby seakan berhenti berdetak. Ia menatap ke dalam ruangan dengan mata yang membelalak. Napasnya tertahan, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya. Vando tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata dengan tenang, "Aku tidak pernah tidur dengan Ruby. Bahkan dua hari setelah menikah, kami pisah kamar." Ruby merasa tubuhnya mati rasa. Pisah kamar? Seolah pernikahan mereka hanyalah formalitas belaka? Seolah ia tidak pernah ada? Ia ingin tertawa, tetapi suara tawanya hanya terdengar di dalam kepalanya. Tawa penuh kepahitan, penuh amarah yang tidak bisa ia keluarkan dalam bentuk kata-kata. Memang benar. Si k*****t tua itu tidak mau satu kamar dengannya. Ternyata karena ia masih mencintai wanita penyakitan itu. Ternyata ia hanyalah pelarian, alat yang digunakan untuk menggantikan seseorang yang dianggap sudah mati. Ruby mengepalkan tangan lebih erat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. Ia ingin masuk ke ruangan itu dan menghancurkan semuanya. Ingin berteriak dan membongkar seluruh kebusukan mereka. Tapi ia menahan diri. Tidak sekarang. Ia akan membalas semua ini dengan caranya sendiri. Varo menepuk pundak Vando dengan yakin. "Papa tenang saja. Aku akan memaksa Ruby untuk bercerai. Aku akan pastikan perempuan itu keluar dari hidup Papa dan Mama." Cukup. Ruby sudah mendengar lebih dari cukup. Ia berbalik dan melangkah pergi dengan cepat. Tumit sepatunya berbunyi nyaring di lantai rumah sakit yang mengkilap. Setiap langkah yang diambilnya dipenuhi dengan kemarahan. Setiap detik yang berlalu hanya membuatnya semakin yakin. DIA TIDAK SUDI DIPERMAINKAN! *** Ruby masuk ke dalam mobilnya dengan kasar, membanting pintu hingga suara dentuman keras menggema di area parkiran rumah sakit. Tangannya mencengkeram kemudi dengan erat, mencoba menahan emosi yang hampir meledak. Sialan! Sialan! Sialan! Ia menginjak pedal gas dengan kuat, melesat keluar dari parkiran dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli dengan klakson mobil lain, tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang kaget melihatnya melaju seperti orang gila. Di dalam dadanya, amarah membara. Rasa sakit yang menghancurkan. PENGKHIANATAN YANG TAK TERMAAFKAN. Ia menekan rem mendadak di pinggir jalan, tangannya gemetar saat melepaskan kemudi. Matanya panas, tapi ia menolak untuk menangis. "Tidak... aku tidak akan menangis untuk mereka," bisiknya pada diri sendiri. Ia menatap bayangannya di kaca spion. Mata yang dulu penuh harapan, kini hanya dipenuhi dendam. Baiklah, jika mereka ingin perang, maka ia akan bertarung. Vando, Shanas, Elvaro—mereka akan menyesal telah mempermainkannya. Ruby bukan wanita lemah. Dia bukan pemeran protagonis yang menerima disiksa. Dia bisa lebih kejam dari antagonis. Bukankah rasa sakit harus dibalas rasa sakit? Karena ia bukan wanita yang bisa ditinggalkan begitu saja tanpa perlawanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN