BRAK!
Pintu rumah itu dibuka dengan kasar.
Ruby yang sedang duduk dengan tenang di sofa, menyesap segelas anggur merah, hanya mengangkat alisnya ketika tamu tak diundang itu melangkah masuk tanpa permisi.
Elvaro Arjuan.
Wajah lelaki berusia 27 tahun itu dipenuhi amarah, sorot matanya tajam seperti belati yang siap menebas siapa pun yang menghalangi jalannya. Dalam genggamannya, selembar kertas putih terlihat kusut karena cengkeraman terlalu kuat.
Tanpa basa-basi, Varo melemparkan surat itu ke atas meja di hadapan Ruby.
"Tandatangani!" bentaknya.
Ruby melirik ke bawah, menatap surat itu sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Varo dengan ekspresi datar.
"Surat cerai?" tanyanya, nada suaranya terdengar acuh tak acuh.
"Papa sudah menandatanganinya. Sekarang giliranmu," desis Varo, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Ruby tersenyum miring, matanya masih mengunci sorot mata penuh kebencian milik putra Vando itu.
"Ayahmu terlalu pengecut untuk datang sendiri?" sindir Ruby.
Varo semakin geram. Ia meraih surat cerai itu lagi, lalu mendorongnya langsung ke d**a Ruby.
"Tandatangani, lalu pergi dari kehidupan Papa dan Mama! Jangan pernah perlihatkan mukamu lagi di hadapan kami!"
Ruby menatap Varo dalam-dalam. Pria ini begitu penuh kebencian terhadapnya, seakan dirinya adalah sampah yang harus segera dibuang.
Ia bisa saja menolak. Ia bisa saja membuat semuanya lebih sulit hanya untuk menyusahkan mereka. Tapi... untuk saat ini, ia memilih untuk menahan diri.
Dengan gerakan santai, Ruby mengambil pena di atas meja. Ia meraih surat cerai itu, membalikkan halaman yang diperlukan, lalu menandatangani dengan goresan kasar.
Setelah selesai, ia melemparkan surat itu kembali ke arah Varo dengan acuh tak acuh.
"Sudah," katanya ringan.
Varo menangkap surat itu dengan geram, menatapnya seolah ingin merobek-robek wajahnya.
Ruby tersenyum tipis. Perlahan, ia bangkit dari sofa dan berjalan mendekati Varo.
Ia mengangkat tangan, menyentuh pipi lelaki itu dengan lembut. Sentuhan itu lebih mirip ejekan daripada kasih sayang.
"Jangan meremehkan aku, Varo," bisiknya.
Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu dalam sorot mata Ruby yang membuat Varo sedikit mundur.
"Sekarang aku memang kalah..." Ruby melanjutkan, suaranya penuh ketenangan yang berbahaya.
Ia menurunkan tangannya, lalu melangkah melewati Varo menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia menoleh dan menatap pria itu sekali lagi.
"Tapi ingat baik-baik... sakit hati ini akan aku balaskan."
Ia tersenyum tipis, lalu melangkah pergi.
Meninggalkan Varo yang untuk pertama kalinya merasa... waspada.
***
Ruby duduk di dalam mobilnya, menatap lurus ke jalanan di depannya.
Tangannya masih sedikit gemetar.
Bukan karena takut.
Bukan karena kesedihan.
Melainkan karena api yang membakar dalam dirinya semakin membesar.
Vando, Shanas, Varo.
Mereka mengira dia hanya seorang wanita lemah yang bisa disingkirkan begitu saja. Mereka mengira dia akan menangis dan menyerah setelah dicampakkan.
Mereka salah.
Sangat salah.
Ruby bukan tipe wanita yang menerima kekalahan begitu saja.
Jika mereka ingin perang, maka ia akan bertarung.
Dan ia akan memastikan bahwa mereka akan menyesali perbuatan mereka.
Dendam ini baru saja dimulai.
***
Ruby melangkah masuk ke dalam rumah besar yang begitu megah, rumah bak mansion yang telah menjadi miliknya sejak orang tuanya meninggal. Rumah ini, yang sebelumnya diwariskan dari kakeknya, kini menjadi simbol dari segala sesuatu yang telah ia miliki. Semua yang ada di sini adalah miliknya, mulai dari perabotan mahal hingga setiap detail arsitektur yang megah, dan perusahaan besar semuanya kini ada dalam genggamannya. Ruby duduk di sofa ruang tengah, yang terletak di dekat jendela besar yang memandang ke taman yang luas.
Senyumnya sedikit terukir di wajahnya, namun ada kepahitan yang mengendap di hatinya. Hampir setahun yang lalu, dirinya hanya seorang gadis sederhana yang bekerja sebagai pengantar bunga, menjalani hidup tanpa ambisi besar, bertahan dari hari ke hari. Namun, semuanya berubah saat ia bertemu dengan Vando Arjuan, lelaki yang begitu tampan dan penuh pesona, yang tahu bagaimana membujuknya agar mau menikah dengannya.
Pada awalnya, ia merasa seperti seorang gadis beruntung. Dia menikah dengan seorang pria kaya, pria yang bisa memberinya segala yang ia inginkan. Namun sekarang? Semua itu berubah menjadi sebuah lelucon yang pahit. Dirinya dicampakkan begitu saja, seperti barang yang tidak lagi berguna.
Ruby menyeringai tipis, matanya menatap kosong ke luar jendela.
Lucu sekali.
Dia bukanlah gadis miskin seperti yang mungkin pernah dibayangkan oleh Vando. Tidak. Dia tidak butuh pria seperti Vando untuk bertahan hidup. Dia memiliki lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Segala yang selama ini dipikirkan Vando tentang dirinya—tentang bagaimana ia hanya seorang gadis pengantar bunga yang hidup di bawah garis kemiskinan—semua itu hanyalah salah besar.
Ruby menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya.
Hidupnya sekarang berbeda. Semua yang ia miliki, bukanlah pemberian Vando atau siapa pun. Itu adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri. Rumah besar ini, harta yang melimpah, semua itu datang dari warisan keluarganya, dia sudah menjadi orang kaya sebelum ia mengenal Vando. Kini, dia merasa bodoh. Bagaimana bisa dia begitu mudah jatuh dalam perangkap pria seperti Vando? Namun, dia sadar, ini adalah pelajaran berharga.
Semuanya harus dihancurkan. Jika Vando dan keluarganya berpikir bahwa mereka bisa memanfaatkannya begitu saja, mereka sangat salah.
Ruby mengerutkan kening, berpikir sejenak. Apa yang bisa dia lakukan? Apa langkah selanjutnya dalam permainannya yang baru saja dimulai?
Tentu saja, dia tidak akan hanya duduk diam dan menerima kenyataan pahit ini.
Dia sudah membuat keputusan. Semua yang telah terjadi, baik itu pernikahan dengan Vando yang sekarang sudah hancur, ataupun penghinaan dari keluarga Vando, hanya akan menjadi bahan bakar bagi api dendam yang semakin menyala dalam dirinya.
Ruby bangkit dari sofa dengan gerakan mantap.
"Jangan khawatir, Vando. Aku akan menunjukkan siapa aku yang sebenarnya," gumamnya pada dirinya sendiri, matanya penuh tekad.
“Kau akan melihat mantan istrimu menjadi rubah betina sayang.”