Bab 05

745 Kata
Ruby memandang Devan yang berdiri tegak di depannya. Pria itu, dengan ekspresi tenang dan penuh hormat, menunggu perintah dari Ruby. Matanya sedikit menunduk, tanda bahwa ia mengetahui betul siapa yang ada di hadapannya—Ruby, wanita yang tidak hanya kuat dalam menghadapi kehidupan, tetapi juga cerdas dalam merencanakan langkah-langkahnya. Ruby mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja besar yang mengkilap, suaranya membelah kesunyian ruangan yang luas itu. "Nona," suara Devan terdengar pelan, penuh kehati-hatian. "Apa yang perlu saya lakukan?" Ruby menatapnya dengan pandangan tajam, seolah melihat apakah Devan benar-benar memahami maksudnya. Ia duduk tegak, meraih gelas wine di meja dan memandang ke luar jendela, di mana gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, seolah mewakili kekuasaan yang kini berada di tangannya. "Saya ingin beberapa investor perusahaan Arjuan yang dipimpin oleh Elvaro Arjuan membatalkan kerja sama mereka," Ruby mengucapkan dengan suara yang datar, namun penuh kekuatan. "Pastikan mereka merasakan kerugian besar. Jangan biarkan mereka hidup tenang begitu saja." Devan mengangguk, menatap Ruby dengan keyakinan. "Tentu, Nona Ruby. Saya akan melaksanakan tugas dari anda sebaik mungkin." Ruby tidak mengalihkan pandangannya dari luar jendela, tetapi suaranya tetap tegas dan jelas. "Aku tidak ingin mereka bangkrut, Devan. Cukup buat mereka berada di ambang kebangkrutan. Itu sudah cukup untuk memberi pelajaran pada mereka." Devan menundukkan kepala sedikit lebih dalam, memahami sepenuhnya apa yang diminta. "Paham, Nona. Saya akan memastikan itu terjadi tanpa menimbulkan kecurigaan." Ruby menoleh ke arahnya, bibirnya melengkungkan senyum dingin yang penuh perhitungan. "Bagus. Ingat, Devan, semuanya harus berjalan dengan sangat hati-hati. Jangan ada yang tahu aku ada di belakang semua ini." "Nona, Anda tenang saja," jawab Devan, nada suaranya rendah, "tidak akan ada yang mengetahui tentang peran Anda dalam ini. Saya akan melakukannya dengan sangat rapi." Ruby mengangguk puas, lalu mengibaskan tangannya dengan santai. "Lakukan segera, Devan. Jangan buang-buang waktu." Devan tidak berkata apa-apa lagi. Dengan kepala terangguk sedikit, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun, sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, menatap Ruby sekali lagi. "Nona," katanya dengan suara yang sedikit lebih lembut, "saya benar-benar mengagumi Anda. Anda adalah wanita yang luar biasa." Ruby hanya tersenyum tipis, namun senyum itu terasa lebih seperti sebuah senyum yang penuh dengan kekuatan tersembunyi. "Kekuatan datang dari pengalaman, Devan. Aku sudah cukup terluka untuk tahu bagaimana cara bangkit dan bertahan." Devan menundukkan kepala lagi, kali ini lebih dalam, dan tanpa kata-kata lagi, ia keluar dari ruangan itu. Ruby kembali duduk di kursinya, menatap potret keluarga bahagia yang ada di atas meja. Potret itu mengingatkannya pada Vando—lelaki yang dulu adalah suaminya, yang kini bahagia dengan Shanas Larasati, istri pertamanya. Memandang potret itu membuat hati Ruby terasa sesak, namun ia tahu bahwa segala yang terjadi adalah akibat dari pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang ia cintai. Dengan senyum tipis yang kembali muncul di bibirnya, Ruby meneguk wine yang ada di gelasnya. Mari tunggu… *** Varo duduk di meja kerjanya dengan gelisah, telepon genggamnya di tangan, masih berdering-dering dengan panggilan yang tak berhenti masuk. Dengan cepat, ia menjawab salah satu telepon itu, suaranya terdengar terburu-buru, tapi juga penuh kecemasan. "Ya, ini Varo. Ada apa?" jawabnya dengan nada tegang. Di ujung telepon, suara investor terdengar frustrasi. "Kami menilai kondisi keuangan perusahaan Anda sangat buruk, Varo. Kami terpaksa membatalkan kerjasama ini. Keputusan kami sudah final." Varo terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan itu. "Tunggu, ini… ini mustahil," suara Varo terputus, menahan amarah yang mendalam. "Kenapa tiba-tiba? Apa yang terjadi?" Investor itu hanya menghela napas. "Kami sudah mencoba memberi waktu, tapi kami tidak bisa terus berinvestasi dalam perusahaan yang stabilitasnya sangat meragukan. Kami tidak bisa membiarkan kerugian semakin besar. Maafkan kami, Varo." Tanpa sempat menanggapi, telepon itu sudah terputus. Varo meremas rambutnya dengan keras, menekannya ke kepala, seolah mencoba mengusir kekacauan yang semakin menguasai pikirannya. Tumpukan laporan keuangan yang ada di mejanya sudah terlihat jelas—angka-angka merah yang mencolok semakin menggerogoti pundi-pundi perusahaan. Langkah cepat Varo menuju komputer dan membuka laporan keuangan terbaru. Mata pria itu semakin tajam, namun semakin tak percaya. Dalam hitungan minggu, nilai saham perusahaan turun drastis, dan arus kas yang sebelumnya stabil, kini tampak seperti tergerus tanpa ampun. Hati Varo mendesir, perasaan tak menentu mulai menguasai dirinya. "Ini tidak mungkin," gumamnya, memandangi layar komputer yang menampilkan data yang tak terelakkan. "Bagaimana bisa?" Varo begitu tahu kalau perusahaannya sebelumnya baik-baik saja dan tidak ada masalah sedikitpun. Varo bingung apa yang harus dilakukan oleh dirinya sekarang? Mana mungkin Varo meminta bantuan ayahnya, yang ada Varo akan dimarahi oleh ayahnya, juga ayahnya sedang berada di Prancis bersama ibunya sekarang. ARGHHTTTT! APA YANG HARUS DILAKUKAN OLEHNYA?!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN