Ruby berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap ke arah gedung-gedung tinggi yang menjulang di sekelilingnya. Senyum tipis terukir di wajahnya saat ponselnya bergetar di atas meja. Pesan dari Devan masuk, mengabarkan bahwa perusahaan Varo kini benar-benar di ambang kehancuran. Semua yang ia rencanakan selama enam bulan terakhir akhirnya membuahkan hasil. Perusahaan yang dulu begitu kuat kini berada di titik terlemah, dan hanya ada satu orang yang bisa menyelamatkannya: dirinya sendiri.
Ruby mengambil mantel dan berjalan keluar, menuju tempat pertemuannya dengan Elvaro Arjuan—anak lelaki Vando yang kini memikul beban berat atas kehancuran perusahaan keluarganya. Varo, begitu ia dipanggil, dulunya begitu sombong dan tak tersentuh, sama seperti ayahnya. Namun, hari ini berbeda. Hari ini, ia hanyalah seorang pria yang tengah kehilangan segalanya.
Ketika Ruby tiba di restoran mewah yang telah ia pilih untuk pertemuan mereka, Varo sudah duduk di sana, menunggunya dengan wajah penuh ketegangan. Dia mengenakan setelan yang mahal, tetapi ekspresinya memperlihatkan bahwa kepercayaan dirinya mulai terkikis. Ruby melangkah mendekat dengan anggun, duduk di depannya, lalu menyilangkan kakinya dengan tenang.
"Jadi, perusahaan keluargamu benar-benar berada di ujung tanduk," gumam Ruby dalam hati, tetapi ia tidak menunjukkan kepuasannya. Ia ingin Varo tetap berpikir bahwa ia datang dengan niat baik.
Varo menatapnya dengan sorot mata tajam. "Apa maumu, Ruby?" Suaranya terdengar kasar, penuh dengan ketidaksabaran.
Ruby tersenyum santai. "Aku bisa menyelamatkan perusahaanmu," katanya pelan, tetapi penuh keyakinan. "Aku bisa melunasi semua utang, mengamankan aset-aset yang masih tersisa, dan memastikan bisnis keluargamu tetap bertahan."
Varo mengernyit, tidak langsung percaya. "Dan apa yang kau inginkan sebagai imbalannya?" tanyanya curiga.
Ruby mengangkat gelas anggurnya, memainkannya dengan ujung jarinya sebelum akhirnya menatap Varo dengan sorot mata penuh perhitungan. "Aku ingin kau menjadi sugar baby-ku."
Varo terdiam. Seolah pikirannya tidak bisa memproses kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Ruby. Wajahnya yang semula penuh ketegangan kini berubah menjadi keterkejutan. "Apa?" suaranya nyaris bergetar.
Ruby meletakkan gelasnya dengan tenang. "Kau mendengarnya dengan jelas," katanya santai. "Aku tidak ingin uangmu, aku tidak ingin bisnis keluargamu. Aku hanya ingin kau."
Wajah Varo memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah. "Kau gila," desisnya. "Aku tidak akan menjual diriku padamu."
Ruby tertawa kecil, menikmati reaksi pria itu. "Menjual diri? Oh, Varo, jangan terlalu dramatis," katanya ringan. "Aku hanya menawarkan kesepakatan. Kau butuh uang dan aku punya banyak. Kau hanya perlu berada di sisiku, menjalani hidup yang nyaman, dan memastikan bahwa aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Tidak ada yang memaksamu, tetapi jika kau menolak, maka perusahaanmu akan hancur, dan kau tahu itu."
Varo mengepalkan tangannya di atas meja. Ia ingin menolak, ingin marah, tetapi ia tahu bahwa Ruby benar. Tanpa bantuannya, perusahaan Varo akan tenggelam. Ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan mereka. Nama keluarga Arjuan akan jatuh ke dalam kehancuran. Ayahnya, Vando, mungkin akan benar-benar kehilangan segalanya.
Dan yang lebih menyakitkan, Varo tahu bahwa Ruby menikmatinya.
"Kenapa aku?" tanyanya, mencoba mencari celah dalam permainan ini.
Ruby menyandarkan punggungnya ke kursi, tersenyum sinis. "Karena kau adalah putra kesayangan Vando Arjuan," katanya lembut. "Dan tidak ada yang lebih memuaskan daripada mengambil sesuatu yang paling berharga dari musuhku."
Varo terdiam. Ia menyadari bahwa ini bukan sekadar tentang dirinya. Ini adalah balas dendam Ruby terhadap ayahnya. Jika ia menerima tawaran ini, maka ia akan menjadi bagian dari rencana gelap Ruby. Tapi jika ia menolak… tidak ada pilihan selain kehancuran.
Ruby mengamati ekspresi pria itu, mengetahui bahwa pikirannya sedang bergulat dengan keputusan yang berat. "Aku tidak terburu-buru," katanya, mengambil tasnya dan berdiri. "Tapi ingat, Varo, waktu tidak berpihak padamu. Semakin lama kau berpikir, semakin dekat perusahaanmu menuju kehancuran. Jadi, pikirkan baik-baik."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Varo dengan pikirannya sendiri. Namun, Ruby tahu satu hal dengan pasti: Varo tidak punya pilihan lain. Pada akhirnya, ia akan kembali padanya. Dan saat itu terjadi, permainan ini akan benar-benar dimulai.
**
Varo duduk di sofa apartemennya dengan memijit kepalanya yang terasa sangat sakit sekali. Si gila Ruby Joana itu menawarkan dirinya menjadi sugar baby. Lalu wanita itu menjadi sugar mommy nya begitu?
Oh s**t!
Sepertinya Varo akan masuk ke dalam rumah sakit jiwa kalau sungguh menerima tawaran dari wanita tidak waras itu. Tapi …
Varo menatap pada ponselnya yang terus berdering. Dengan cepat Varo mengangkat ponselnya dan menerima panggilan dari orang kepercayaannya di perusahaan.
“Tuan Varo, penurunan perusahaan semakin drastis dan perusahaan kita diambang kebangkrutan. Bahkan sekarang, dua investor menarik sahamnya kembali dari kita.”
Varo memijat pelipisnya dan menatap nanar ke depan. Dia tidak ada keputusan yang lain. Selain menerima tawaran dari si wanita gila itu. Mantan ibu tirinya itu. Tidak pernah diduga oleh Varo, kalau dia ternyata orang kaya dan memiliki segalanya. Varo kira wanita itu memang miskin karena dia hanya penjual bunga kalau tidak salah.
Varo menatap pada ponselnya nama Ruby terpapar di layar ponselnya. Dia harus menghubungi wanita itu bukan?
“Halo… kenapa anak tiriku sayang?”
Varo berdecak kecil mendengar pertanyaan dari Ruby. “Mantan anak tiri.”
Suara tawa Ruby dari seberang sana terdengar dan Varo hanya menatap datar ke depan dan rahangnya mengeras. Dia tidak suka mendengar suara tawa yang seperti mengejek dari wanita sialan itu.
“Aku mau bertemu denganmu.” Ucap Varo dengan kasar.
Ruby semakin tertawa. “Baiklah, kau bisa menemui Mommy di apartemen yang Mommy kirimkan sayang. Oh! Jangan marah anak tiriku sayang. Akh! Maksudnya mantan anak tiriku. Kau tidak perlu marah tampan. Mommy yakin, kalau kau menerima tawaran Mommy. Perusahaanmu akan hancur bukan? Kasihan sekali. Ck! Aku sungguh kasihan.”
Varo mematikan sambungan telepon itu. Ia menatap datar pada ponselnya dan melihat pesan yang dikirim oleh Ruby padanya. Alamat apartemen yang disebutkan oleh Ruby padanya.
Apakah dia memang harus mengambil keputusan ini? Tapi rasanya tidak sudi dirinya menjadi sugar baby dari wanita sialan itu. Tapi kalau tidak menerima tawaran Ruby. Varo tidak tahu kemana lagi dirinya akan meminta tolong. Mengatakan pada ayahnya.
Yang ada dia kena hajar dan dibilang tidak becus menjaga perusahaan yang dibangun oleh ayahnya susah payah dan penuh perjuangan. Akh! Sungguh menyebalkan sekali.
Varo mengacak rambutnya dan PRANG! Bunyi vas bunga yang dipecahkan oleh Varo kasar karena rasa frustasi yang dialami oleh dirinya sekarang. Dan membuatnya mengambil keputusan gila ini.