Pagi itu, Shanas duduk di taman rumahnya yang luas, ditemani secangkir teh yang sudah tak lagi hangat. Wajahnya tegang, kusut, dan penuh tekanan. Selama beberapa hari terakhir, kehidupannya terasa seperti api yang membakar perlahan. Saham perusahaan turun, media mulai mengaitkan namanya dengan skandal masa lalu karena ulah Ruby, dan yang paling membuatnya gelisah: Varo. Putranya tidak pulang sejak beberapa hari lalu. Ponselnya selalu tidak aktif. Hatinya tak tenang. Ketika langkah sepatu berhak tinggi terdengar dari arah gerbang, Shanas mengangkat wajahnya. Pandangannya langsung membeku. Ruby—dengan setelan jas mewah berwarna merah marun dan kacamata hitam yang diturunkan sedikit ke ujung hidungnya—berjalan dengan angkuh menuju tempatnya. "Apa yang kamu lakukan di rumahku?" suara Shanas