Kafe itu terletak di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, langit sore mulai memudar menjadi jingga, menciptakan suasana melankolis yang berbalut angin lembut. Di salah satu sudut kafe, duduklah Shanas, mengenakan mantel cokelat tua dan kacamata hitam besar, berusaha menutupi lelah dan luka yang tidak bisa disembunyikan oleh kosmetik semahal apapun. Cangkir cappuccino di depannya sudah dingin, tak tersentuh sejak sepuluh menit lalu. Matanya kosong menatap ke arah lalu lalang kendaraan di luar jendela. Begitu banyak hal yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir, dan kepalanya terasa seperti akan meledak karena amarah dan pengkhianatan. Tiba-tiba, langkah-langkah tinggi berderap masuk ke dalam kafe, suara heels menghantam lantai kayu membelah keheningan. Aroma parfum tajam menyusup masuk