Ruby membuka matanya perlahan. Cahaya matahari menembus tirai kamarnya yang sedikit terbuka, memberikan semburat kehangatan pada kulitnya yang telanjang. Ia meraba sisi ranjangnya, mencari keberadaan Varo, tetapi yang ia temukan hanyalah kesunyian dan dinginnya seprai. Mata Ruby menyipit, lalu ia menghela napas panjang, menenangkan emosinya yang perlahan-lahan mulai mendidih. Dengan enggan, ia bangkit dari ranjang, membiarkan tubuhnya yang masih polos terekspos udara pagi. Langkahnya menuju kamar mandi terasa lambat, penuh dengan perhitungan. Saat membuka pintu kamar mandi, ia mendapati wastafel masih basah, pertanda bahwa Varo baru saja mandi sebelum pergi. Aroma sabun maskulin masih samar-samar tertinggal di udara. Ruby mengepalkan tangannya, jemarinya menekan sisi marmer wastafel denga