Terlalu Banyak Kejutan

1243 Kata
“Selamat malam Tuan Danis.” Keriuhan mulai terdengar saat Danis dan Luna masuk ke dalam ruang pesta. Banyak orang yang datang dan saling berbincang dengan orang-orang yang mereka inginkan. Danis masuk dengan tetap menggandeng wanita cantik yang kini sudah menjadi istrinya itu. Dia memamerkan senyum pada semua orang yang menyapanya. Luna menjadi sangat percaya diri saat dia berjalan di kerumunan orang kaya yang tidak dia kenal. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan apa pun saat ini. Dia hanya ingin terus menempel pada Danis yang tidak menyuruhnya menjauh. “Kita cari Mama Papa dulu ya,” ucap Danis setelah dia menyapa beberapa kenalannya. “Terserah kamu aja.” Danis berpamitan dan akhirnya Danis menggandeng Luna masuk semakin dalam ke tengah pesta. Danis terus saja menyapa orang yang ada di sana. Sepertinya dia cukup dikenal oleh orang banyak. “Danis,” panggil Arnold saat melihat Danis dan Luna. Danis segera mengajak Luna untuk mendekat, “Pa ... Mama mana?” “Mama lagi sama temannya itu di sana. Dan, kamu masih ingat sama Mr. William ga?” Danis menoleh ke pria yang ada di sampingnya, “Wait! Are you man from Evernia?” tanya Danis saat melihat seorang pria asing di sebelahnya. “You right. I’m William,” seru pria itu sambil tersenyum. “Oh my God! How are you, Will? Long time no see.” “I’m Ok! I will back to Gerga next month. I want we can see in bussiness again.” “Oh of course! I’ll too.” Luna hanya bisa tersenyum saja saat melihat suaminya berbicara dengan kenalannya serta Papa mertuanya. Dia tidak terlalu faham dengan apa yang di katakan oleh kedua orang itu. Dia melihat ke arah mama mertuanya yang sedang berbincang dengan orang lain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia berharap Niken akan menoleh dan memanggilnya. Dia sangat bosan saat dia harus mendengarkan orang bicara yang dia tidak mengerti. Dan apa yang diinginkan Luna terkabul. Niken menoleh ke arahnya dan segera memanggilnya di sertai dengan sebuah lambaian tangan yang menyuruhnya mendekat. “Danis,” panggil Luna sambil sedikit menepuk lengan Danis. “Apa, sayank?” Luna terpaku dan mengedipkan matanya berkali-kali, “Sayank?” ucapnya lirih. Mata Danis tertuju ke sang Mama yang sedang melihatnya juga, “Kamu mau ke Mama?” Luna mengangguk, “Iya, boleh ga?” “Boleh donk. Ati-ati ya sayank.” Luna mulai melepas tangannya dari lengan Danis. Entah kenapa rasanya sangat berat. Dia takut mimpi indah ni akan berakhir saat ini juga. Danis menganggukkan kepalanya sesaat. Dia seolah menjawab kekhawatiran Luna. Dia ingin memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja. Luna mengangguk tanda dia mengerti. “Luna, kamu kok telat dateng sih?” tanya Niken saat Luna datang. “Maaf, Ma. Tadi sempet ada gangguan sedikit di rumah.” Niken mendekatkan bibirnya di telinga Luna, “Kalian ga bertengkar lagi kan?” bisik Niken. “Enggak, Ma. Cuma perut Luna agak ga enak. Kaya salah makan.” “Kok bisa? Kamu udah minum obat?” “Udah.” “Jeng Niken, ini istrinya Danis ya? Kok ga di kenalin sih? Kemaren acara nikahnya tertutup banget loh.” “Aduuh iya bener. Maaf banget ya kalo acaranya kami privat. Masalahnya, Danis ga pengen istrinya di ekspose. Maklum dia kan bukan dari Gerga.” “Bukan dari Gerga? Kamu dari mana? Eh iya namanya siapa?” “Saya Luna, Tante. Saya dari ....” “Dia dari Alandor. Karena dia memang belum tau tentang Gerga, jadi Danis ga pengen di publis dulu,” potong Niken sebelum Luna menjawab. “Waah jauh banget ya. Bisa aja ya Danis tahu kalo di sana ada cwe secantik ini.” “Iya bener, cantik bener. Alami dan sangat muda. Selamat berbahagia ya.” “Makasih, Tante.” Luna mulai menyimak apa yang dibicarakan oleh para orang tua di sekitarnya itu. Terkadang dia mejawab apa yang mereka tanyakan. Dia lebih menikmati suasana ini dari pada saat bersama Danis tadi. “Luna, minggu depan ada pembukaan butik saya yang ketiga, kamu dateng ya?” “Waah, gimana ya. Saya harus ijin dulu sama Danis.” “Dateng aja Lun, Danis pasti ijin kok. Kamu juga harus punya komunitas di sini. Paling tidak kan ini untuk kamu dan citra Danis.” “Nah denger itu. Mertua kamu kalo soal yang seperti ini sudah sangat hafal. Soalnya dia selalu jadi pimpinan.” “Kalian biasa aja deh.” Danis dan Arnold menghampiri Luna dan Niken. Mereka ingin mengajak pasangan mereka masing-masing untuk menikmati makanan yang di sajikan. “Kita makan yuk? Kan tadi kamu belum makan,” ucap Danis sambil melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Luna. Luna segera saja menegakkan tubuhnya. Dia kaget saat tangan Danis melingkar begitu saja. Niken yang mengetahui sikap kaget Luna segera mengalihkan perhatian teman-temannya. “Kalian ga ikut makan?” tanya Niken. “Iya ... tapi kami mau cari suami kami dulu.” “Suami jangan terlalu jauh di tinggal, nanti di ambil orang,” ucap Arnold. “Itu menantu sama anak kamu bikin iri aja. Cinta usia muda itu emang selalu beda ya.” “Kalian ini bisa aja. Kami duluan ya.” Niken segera mengajak Danis dan Luna untuk pergi. Mereka berempat segera menuju ke meja prasmanan. “Kamu kenapa?” tanya Danis yang merasakan tangan Luna sangat dingin dan berkeringat. “Aku ga papa kok,” jawab Luna gugup. “Kamu sakit? Mau pulang aja?” “Enggak aku ga papa. Aku cuma kaget aja tadi.” Danis mencoba mengingat apa yang membuat istrinya itu kaget, “Oh ini ya.” Badan Luna menegang lagi yang membuat Danis tersenyum, “Kamu harus biasa mulai sekarang,” bisik Danis. Luna menggangguk, “Iya. Aku harus biasa,” ucap Luna pelan. Danis dan Luna menikmati makanan mereka di sebuah meja yang hanya mereka isi berdua. Tidak ada perbincangan apa pun di antar dua orang ini. Mereka hanya menikmati makanan yang ada di depan mereka. “Wee ... akor neeh kayanya,” ucap Zaid yang datang bergabung. “Ngapain lu di sini?” tanya Danis. “Gw diundang kali. Tuh dateng bareng dia,” ucap Zain sambil melihat seseorang di belakang Danis. “Ngapain juga lu ke sini?” protes Danis lagi saat dia melihat Yoga juga datang dengan membawa dua buah gelas di tangannya. “Pengen makan. Nih buat lu, kurang baik kaya gimana gw,” jawab Yoga sambil memberikan satu gelas yang ada di tangannya. “Free?” “Free. Kaya gw ga kenal lu aja.” Pandangan dua orang pemuda teman Danis itu kini berpindah ke arah Luna. Luna kelihatan sangat cantik dan berbeda dengan yang tempo hari mereka lihat. “Lun, itu rambut palsu?” tanya Zain. “Hmm ... bukan. Ini rambut asli. Aku potong rambutku.” “Cantik. Cantik banget, iya kan Ga?” “Yoa. Beda banget ama yang kemaren. Lun, kalo Danis ga mau, lu nikah ama gw aja yuk. Bakal gw perhatiin lu ntar. Ga usah kuatir.” “Lu kalo ngomong bisa enak dikit ga, Ga?” “Santai Bos, ga usah cemburu gitu donk.” Saat sedang asik menikmati makanannya, Luna sama sekali tidak mengetahui kalau ada orang yang sedang mengamati dia dari atas. Seseorang yang sedang mengamatinya dari atas sampai ke bawah dengan sangat teliti. “Jadi itu istri Danis? Lumayan cantiknya. Selera dia makin rendah ternyata. Tapi paling ga, dia ga malu-maluin kalau di ajak ke sini.” “Permainan lu keliatan jelek banget, Dan. Kalo belum bisa move on ga usah maksain diri.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN