1. Suami Psycho
Hanina … di mana kau? Keluarlah, Sayang.”
Wanita itu berusaha menahan napas dan menutup mulut rapat-rapat dengan tangannya yang gemetar. Rasa takut begitu kentara di wajahnya yang penuh jejak luka. Bahkan pelipisnya mengeluarkan darah segar.
Sring ….
Suara ujung katana yang menggores lantai terdengar membuat Hanina Athana yang bersembunyi di dalam lemari kian ketakutan hebat. Apakah ini akhirnya? Apakah ia akan mati di tangan suaminya sendiri? Suami yang paling ia cintai?
Hanina memejamkan mata rapat dan lelehan air mata keluar makin deras dari ujung matanya. Air mata merasakan sakit hati, jiwa dan raga, juga mengenang semua yang telah dilaluinya dengan Agra Hanif, suami yang menikahinya 6 bulan yang lalu. Ya, mereka baru menikah selama 6 bulan tapi Agra berhasil membuat perasaan dan seluruh dunianya luluh lantak.
“Menikahlah denganku, Han. Aku bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, tapi aku berjanji, aku janji akan berusaha seluruh jiwa dan ragaku untuk membahagiakanmu.”
Kalimat lamaran yang Agra katakan masih terekam jelas dalam ingatan Hanina. Rasanya baru kemarin kalimat itu terucap dari mulut mantan sopir ayahnya itu, tapi sekarang semua telah berubah 180 derajat. Pria yang dulu tampak begitu mencintainya, kini bak iblis yang siap menjemput nyawanya kapan saja.
Hanina membuka mata lebar saat merasakan kehadiran Agra. Dan benar saja, ia melihat kaki suaminya lewat celah pintu lemari yang sedikit terbuka. Seketika degup jantung Hanina semakin menggila, keringat dingin semakin mengucur deras.
“Mau main petak umpet, eh?” gumam Agra. Pandangannya turun pada bagian bawah pintu lemari seakan melihat sesuatu di dalamnya yang menarik perhatian. Senyum bengis pun tercipta lalu menjadi kelakar tawa yang memenuhi ruangan.
“Hahahaha! Hahaha! Hanina, istriku, mau sembunyi di manapun, aku akan selalu menemukanmu, Sayang.”
Tangan Agra terulur berniat membuka pintu lemari di hadapannya dengan wajah bengis yang semakin menakutkan.
Kriet ….
Suara derit kecil terdengar saat Agra membuka pintu perlahan, sangat pelan. Dan saat pintu terbuka seringai terukir lebar di bibirnya.
“Baaa … ketemu,” ucap Agra setelah menggeser pakaiannya yang tergantung di atas Hanina sambil tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Namun, senyuman itu justru begitu menakutkan bagi Hanina. Bak senyuman sang psikopat yang telah menemukan mangsa.
Suara tangis yang berhasil Hanina redam, perlahan terdengar dibarengi dengan air mata yang jatuh bak air terjun. Sekujur tubuhnya gemetaran, rasa takut akan kematian yang bak menjemput sebentar lagi membuatnya sampai terkencing di celana.
Agra memiringkan kepala dengan sebelah mata menyipit melihat lelehan kencing Hanina mengalir. “Eh? Apa ini, Sayang? Kau mengompol seperti bayi?”
Hanina tak mampu bicara, hanya bisa menangis tanpa suara.
Agra menggelengkan kepala seraya berdecak. Namun, tiba-tiba saja ia membungkuk dan berteriak di depan wajah Hanina. “Apa kau gila! Kau mengotori lemariku! Mengotori lantaiku!”
Tubuh Hanina yang gemetar sampai terjingkat karena kerasnya teriakan Agra. Teriakan Agra bak petir yang menyambar di siang buta.
“Ma- maaf, maaf,” ucap Hanina terbata-bata disertai tangis yang terdengar begitu memilukan.
Napas Agra memburu. Tatapannya begitu tajam, bak busur panah yang siap ditembakkan. Namun, tiba-tiba saja senyuman lebar kembali tercipta dengan tangan terangkat menutupi sebagian wajahnya.
“Hihihi, kau lucu sekali saat ketakutan seperti ini, Sayang. Tapi, kau tetap harus dihukum,” kata Agra kemudian mengangkat katana di tangan kirinya lalu mengarahkannya pada tangan Hanina yang memeluk lutut, tepatnya pada jari manis Hanina yang tersemat cincin pernikahan mereka. “eh? Apa ini? Bahkan setelah semua yang aku lakukan, kau masih memakai cincin ini?”
Hanina hanya diam, tak mampu menjawab. Ia seakan kehilangan seluruh kata karena rasa takutnya.
“Jawab! Jawab aku jalang!” teriak Agra lalu menghunus katananya hingga benda tajam itu tertancap pada dinding lemari di belakang Hanina, berada 2 centi meter di sisi telinga kanannya.
Dada Hanina naik turun melirik benda tajam di samping kepalanya itu. Setetes darah pun muncul, menetes dari pipi yang terkena goresan bilah katana itu. Dengan wajah pucat bak mayat dan nyawa yang seakan telah berada di kerongkongan, ia menatap suaminya itu dan berucap, “I- iya. Iya.”
“Hah?” Agra kembali mendekatkan wajahnya, mendekatkan telinganya di depan wajah Hanina. “kau bicara apa, Sayang? Aku tidak dengar. Coba katakan lagi,” ucapnya dengan suara lembut.
Disertai tangis, Hanina berusaha mengeluarkan suara. “Aku … memakainya karena aku masih mencintaimu. Meski semua yang telah kau lakukan, aku tetap mencintaimu.”
Seringai bengis kembali tercipta di wajah Agra. Ia lalu berbisik di telinga Hanina dengan bisikan yang begitu lembut tapi bak embusan angin yang mematikan. “Kalau begitu, berikan aku jarimu.” Lalu menggenggam tangan Hanina dan meletakkannya di dekat kaki Hanina yang gemetar. Mencabut katananya, diarahkannya ujung katana itu di atas jari manis Hanina.
Hanina menatap cincin di jari manisnya yang tampak berkilau. Namun, tatapannya seketika kosong. Cincin itu seolah menyerap seluruh perasaan Hanina, membawanya pada ingatan saat Agra mengucap janji suci pernikahan dan menyematkan cincin itu di jarinya.
“Terima kasih sudah menerimaku, Han. Terima kasih sudah menjadikan aku pria paling beruntung di dunia ini karena menjadi suamimu.”
Hanina tenggelam pada ingatan manisnya itu. Meski selama ini mendapatkan luka lahir dan batin, tapi kenangan indah yang pernah ia rasakan amat sulit ia hapus. Dulu, Agra hanya pria biasa yang ayahnya terima bekerja karena rasa iba. Lalu, mulai mendekatinya, memberinya pujian dan kata-kata manis yang membuat Hanina terlena. Pria itu sangat pintar merayu dengan tutur katanya yang lembut. Sikap baik dan ramahnya, sopan santunnya, membuat siapa saja terkesima. Akan tetapi, semua itu berubah setelah mereka menikah. Agra menjadi kasar, bahkan secara terang-terangan berselingkuh di depan matanya. Pria itu bahkan membawa dua p*****r ke rumah mereka, dan memaksa Hanina menyaksikan mereka bergumul di atas ranjang sementara, Agra sama sekali tak pernah menyentuhnya.
“Jari-jari yang sangat cantik. Aku tak sabar menjadikannya salah satunya gantungan kunci,” gumam Agra lalu bersiap dengan mengangkat katana.
Akan tetapi, tepat saat ia akan menghujamkan katakannya, sebuah tongkat baseball mendarat keras di kepala.
Klang!
Tongkat baseball itu tergeletak di lantai bersamaan Agra yang tumbang. Katana yang sebelumnya berada dalam genggaman pun ikut tergeletak di dekatnya.
Napas pria itu terengah menatap Agra yang mulai mengeluarkan darah segar dari kepala akibat pukulan kerasnya. Tapi, tak ada rasa iba, tak ada rasa cemas jikalau Agra tewas, ia justru merasa puas bahkan rasanya, ingin menghajar pria itu dengan tangan kosong. Akan tetapi, ini bukan saatnya karena, ada orang yang harus lebih dulu ia utamakan, yakni Hanina.
“Hanina!”
***
Hanina membuka mata perlahan dan menemukan ruangan bernuansa putih yang sudah ia hapal. Ruangan yang menjadi tempat tinggal sementara setiap kali ia mendapat kekerasan dari suaminya.
“Akhirnya kau sadar.”
Sebuah suara terdengar membuat Hanina menoleh pelan dan menemukan Yogi duduk di kursi di sisi ranjang. Prayogi Baskara namanya, pria yang pernah Hanina tolak mentah-mentah demi pria sebangsat Agra.
“Kau … apa yang kau lakukan di sini?” tanya Hanina. Sepertinya ia lupa bahwa pria itu lah yang telah menyelamatkannya dan membawanya ke rumah sakit. Mungkin karena ia pingsan, sesaat setelah Agra tergeletak.
Yogi menghela napas berat sebelum akhirnya mengatakan, “Bukankah itu pertanyaan yang salah? Harusnya, kenapa aku bisa di sini. Dan jawabannya tentu saja, karena aku yang membawamu, dan ada yang harus aku katakan. Aku tahu ini mungkin bukan saat yang tepat, tapi kupikir, kau harus mengetahuinya segera.”
Yogi menjeda ucapannya sejenak, seakan masih menimbang, apakah memang harus mengatakannya sekarang atau tidak. Tapi, pada akhirnya ia tetap bicara.
“Ayahmu, dia bukan meninggal karena serangan jantung, tapi dibunuh Agra, suamimu. Dan ibumu, dia bunuh diri karena mengetahui perselingkuhan ayahmu dan Agra lah yang menunjukkan semua bukti perselingkuhan itu. Dan ada satu hal lagi, yang lebih penting yaitu, tujuan Agra menikahimu. Dia ingin balas dendam karena ayahmu telah membunuh seluruh keluarganya.”
Petir bak menyambar tatkala Yogi mengatakan semua kalimat itu, begitu jelas, begitu tegas seakan tak ada keraguan sedikitpun, seakan semua itu adalah fakta nyata yang harusnya sudah ia tahu. Berbagai perasaan pun muncul, berkecamuk dalam kepala Hanina. Ayahnya seorang pembunuh? Rasanya tidak mungkin, dan ayahnya berselingkuh? Itu rasanya juga tidak mungkin. Ayahnya adalah pria hebat yang bertanggung jawab, selalu memenuhi rumah dengan kasih sayang dan kebijaksanaannya. Atau … apakah mungkin ia yang tak tahu apapun tentang ayahnya? Tentang keluarganya? Bahkan ia juga tak tahu apapun tentang Agra, pria yang sangat dicintainya.
Tak ada ekspresi berarti di wajah Yogi melihat reaksi yang Hanina tunjukkan. Ia seolah telah menebak sebelumnya, seakan sudah tahu bahwa ini lah yang akan ia dapat dan saksikan. Namun, ketika Hanina menundukkan kepala kala air matanya kembali tumpah, seringai tipis terukir di bibirnya.