Padma meletakkan makanan di tangannya serta bunga yang tadi dibawa oleh Rania di atas meja. Sejujurnya, dia sebenarnya ingin membuangnya jika saja Dirga tidak terlanjur menemukannya tadi.
“Apa ini?” tanya Dirga.
Padma mengamati tempat makanan itu sejenak. Dia juga tidak tahu apa itu. “Buka saja,” katanya.
Dengan penasaran Dirga membuka tempat makanan itu dan mendapati ada sop iga yang dikemas dalam wadah tahan panas. Pandangannya lalu beralih pada buket bunga yang juga diberikan oleh Padma. Ada bunga daisy di sana.
“Darimana buket bunga ini?” Dirga bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari sana.
“I-itu… aku… melihat sebuah toko bunga, jadi kupikir ada baiknya untuk—“
“Kamu tidak pernah memberikanku buket bunga,” kali ini tatapannya beralih pada Padma, tampak tak ada emosi di sana. “Kenapa tiba-tiba?”
“Tidak apa-apa… karena.. karena tidak pernah, kupikir tak ada salahnya jika aku mengirimimu bunga kan? Ini, untuk mendoakan agar kau lekas pulih.”
Seorang pegawai datang dengan membawakan kopi untuk Dirga dan Padma.
“Mau makan sekarang Pak?” tanya pegawai tersebut, saat melihat sop iga di atas meja.
“Ambilkan saja mangkuk dan sendok, saya mau makan ini,” dagunya sedikit berjingjit menunjuk sop tersebut. “Oh, ya, tadi kamu bilang melihat Rania, ternyata yang ada di depan itu Padma,” ungkap Dirga.
Pegawai itu mengamati Padma sejenak, ia lalu menggaruk sisi kepalanya dengan telunjuk, memasang raut bingung dan berpikir, “mungkin saya salah lihat Pak,” katanya kemudian.
“Ya sudah, tidak apa-apa… ambilkan kami piring dan sendok,” katanya.
Pegawai itu patuh dan segera beranjak dari sana.
“Dirga, aku sangat lega melihat keadaanmu sekarang, sepertinya sudah lebih baik, kelurgamu pasti—“
“Kamu tadi bertemu Rania di depan, ‘kan?” tembak Dirga tanpa basa-basi lagi. “Apa kamu mengatakan sesuatu kepadanya? Atau kamu mengusirnya?”
Padma terkejut, gelagapan. Jelas terlihat dia tak siap dituding seperti itu.
“Tidak, Dirga, tidak! Aku… tadi aku… tidak… tidak… aku tidak melihat.”
“Makanan ini, buket bunga ini, kalau bukan Rania yang menyiapkan, kurasa tidak ada orang lain yang akan melakukannya.”
Padma terdiam, menelan liurnya panic. Tertangkap basah.
“Rania sudah beberapa kali ke sini, ada beberapa bunga untuk tokonya yang diambil dari rumah kaca di belakang,” terang Dirga. “Tidak mungkin pegawaiku salah melihatnya. Jika dia orang yang tidak familiar, pasti mereka sudah menghampiri dan bertanya tentang keperluannya. Tapi Rania sudah dikenal oleh mereka. Dia sudah biasa dibiarkan keluar masuk kapan saja.”
Sekali lagi Padma tak bisa berkata apa-apa, dan menunduk.
“Aku sudah menunggu kedatangannya selama ini,” DIrga berujar terus terang. Memicuk api cemburu di hati Padma yang membuat kepala gadis itu dipenuhi dengki.
“Dirga! Kamu jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Kamu tahu apa yang dia katakan? Dia ke sini memang bermaksud mengakhiri hubungannya denganmu!” terang Padma, yang dihadiahi tatapan tidak percaya oleh Dirga. “Dia bilang, dia tidak akan lagi mengganggu hubunganku denganmu!”
“Padma!” Dirga was-was, tatapannya sempat beredar khawatir ada orang lain yang mendengar ucapan Padma yang sembarangan.
“Aku tidak bohong!” Padma menggeleng keras, dia kemudian melanjutkan. “Aku bahkan berada di sini, juga karena Agni mulai mencurigai sesuatu.”
“Agni?” Dirga mengerutkan alisnya. “Apa kaitan Agni dengan semua ini?”
“Dia melihat Rania berkencan dengan seorang pria. Dia juga bilang, Rania tidak memakai cincin tunangan kalian. Karena itu Agni khawatir dan curiga, apalagi kamu tidak kunjung pulang. Kurasa dia berpikir kamu mungkin sedang patah hati!”
Driga terdiam mendengar penjelasan Padma.
“Aku tidak mengerti, Dirga… jangan terus-menerus memikirkan dia. Jelas-jelas kalian hanya berpura-pura. Kenapa kamu melakukan hal ini? Sudahi saja hubungan kalian. Untuk apa membohongi banyak orang? Kalau terbongkar, ini bisa jadi masalah besar! Ini memalukan!” tegas Padma. “Keluarga besarmu, orang-orang di kantor, semua sudah tahu. Kalau mereka tahu kamu dan Rania bersandiwara, ini hanya akan menjadi bahan olok-olokan.”
“Lalu? Aku harus bersamamu?” tanya Dirga.
Padma tertegun. Tentu saja itu yang dia inginkan Dirga pun sudah tahu mengenai hal itu. Tak ada jawaban di bibir Padma.
“Padma, aku menghargai kedatanganmu. Dan katakana kepada mereka, bahwa aku baik-baik saja. Mama masih menghubungiku setiap hari. Dia tahu aku baik. Aku hanya perlu di sini untuk mendapatkan lebih banyak ketenangan, agar aku bisa lebih cepat pulih. Lagipula, semua kebutuhanku di sini terpenuhi, kamu pulang saja.”
“Tapi Dirga…”
Lelaki itu tampak berusaha bangun.
“Kamu mau kemana?” tanya Padma.
“Aku mau menemui Rania.”
Jawaban itu membuatnya terkejut, “Menemui dia, buat apa? Dirga, dia sudah bilang dia tidak ingin lagi bertemu denganmu.”
“Tapi aku ingin bertemu dengannya.”
“Dirga! Jangan bilang… kalau kamu benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya. Itu tidak mungkin! Aku tahu kamu, aku kenal kamu! Kamu tidak mungkin jatuh cinta kepadanya,” mata Padma berkaca-kaca, tak lagi bisa menahan sakit hatinya. “Aku tahu, aku sudah menyakiti hatimu… tapi jangan begini, Dirga, jangan membalasku seperti ini.” Air mata Padma meluruh, sementara Dirga terpaku melihatnya.
“Jangan menangis,” Dirga meminta tak tega.
Tetapi Padma tak peduli, bahkan saat pegawai Dirga datang membawakan perlengkapan makan dan beberapa masakan, Padma sama sekali tidak menyembunyikan derita. Dirga hanya diam dengan raut dingin, sementara pegawainya yang bingung, hanya pura-pura tak melihat apa-apa karena tahu itu bukan urusan mereka.
“Padma… dengar…”
“Dirga, kamu yang harus mendengarku sekarang!” Padma agak meninggikan suaranya. “Aku tidak tahu apa saja perjanjianmu dengan Rania. Tetapi kamu sepertinya tidak sadar, Rania mungkin sedang memanfaatkanmu. Aku tahu, apa saja yang sudah kamu lakukan untuknya, kamu memberikan café kepadanya, kamu buatkan rumah kaca, bahkan memberikannya cincin pertunangan. Aku bertanya-tanya apa sebenarnya yang kamu lakukan? Apa kamu tidak bisa melihat, bahwa kamu sudah dimanfaatkan olehnya?” gadis itu berusaha keras meyakinkan lelaki yang dicintainya.
“Padma, kamu salah paham! Kamu sama sekali tidak mengerti masalah aku dan Rania. Tapi dia bukan gadis seperti itu. Sudahlah!” Raut Dirga mengeras. “Aku harus pergi sekarang, kalau kamu masih mau tinggal di sini, tinggallah… Aku masih ada urusan!” putus Dirga.
“Kamu mau kemana, Dirga?” Padma menghambur, menghampiri Dirga, tetapi dengan mudah lelaki itu membebaskan diri, membuat Rania terkejut.
“Aku harus menemui Rania,” tegasnya, dan Padma tahu Dirga tidak bisa dicegah lagi. Dengan agak tertatih lelaki itu pergi. Dia lalu mendengar suara lantang Dirga yang meminta mobilnya untuk disiapkan.
Padma menoleh ke arah meja, menatap sup dan buket bunga dari Rania. Apa dia benar-benar kalah kali ini? Benar-benar akan kehilangan Dirga selamanya? Hati Padma terasa sangat hampa, seperti ada lubang yang tak berdasar di sana.
Tuhan…
Rasanya menyakitkan sekali patah hati seperti ini.