Pertemuan di Gerbang

1230 Kata
“Kak Dirga masih di rumahnya ya?” tanya Agni kepada ibunya saat mendapati Dirga masih tidak tampak terlihat sebelum makan malam. “Belum, sudah biarkan saja, katanya ingin menenangkan diri di sana,” jawab Bu Puspa, berusaha menenangkan anaknya. Agni terlihat resah, ada sesuatu yang cukup mengusiknya sejak melihat Rania hari itu bersama lelaki lain di sampingnya. Belum lagi, Dirga yang tak kunjung pulang dari kediamannya dan memang telah lama juga Rania tak datang untuk menjenguk Dirga. “Ada apa?” Padma yang sedari tadi mengamati Agni, turut penasaran. “Apakah ada sesuatu soal Dirga?” Ia bertanya penuh perhatian seperti biasa. Sejenak Agni terlihat gelisah dengan pertanyaan calon kakak iparnya tersebut. Tetapi sepertinya tak ada lagi yang bisa diajak bicara selain perempuan yang memang juga telah lama menjadi sahabat Dirga. Khawatir ibunya mendengar, Agni agak menyeret Padma ke tempat yang agak tersembunyi di salah satu ruang duduk keluarga mereka. “Kak… hmm… apa kakak tahu soal hubungan Kak Dirga dan Kak Rania?” Agni menatap khawatir mencoba mencari tahu. “Soal Dirga dan Rania… ada apa soal mereka? Aku belum punya info apa-apa,” Ia berterus terang. Agni memainkan jemarinya. “Bukan apa-apa…” gadis yang mau lulus SMA itu terlihat gelisah. “Aku hanya khawatir saja karena Kak Dirga tidak pulang-pulang. Tetapi aku sempat bertemu dengan kak Rania. Dia…. Jalan dengan teman laki-lakinya. Entah kenapa, aku merasa… dia terlihat canggung. Selain itu, tidak ada cincin di tangannya.” Seakan menyadari bahwa dia tengah bergosip, Agni berhenti bicara sejenak. “Aku bukan menuduh yang bukan-bukan!” sanggahnya seraya mengipas-ngipas telapak tangannya. “Aku hanya berpikir apa mereka… ya… apa hubungan mereka baik-baik saja?” Padma cukup terkejut mendengar perkataan Agni. Dia tentu tidak akan bohong jika masalah ini sedikit membuatnya senang. Walaupun dia tahu bahwa keduanya memang hanya berpura-pura pacaran, bahkan bertunangan… Bukan mustahil jika saat ini terbuka lagi kesempatan untuk dirinya bersama Dirga. Lelaki itu memang menolaknya saat itu. Dirga bilang, dia sudah tidak cinta. Sejak saat itulah Dirga keluar dari rumah dan belum kembali lagi. Mungkin untuk menghindarinya yang masih sering datang ke rumah Kamajaya untuk menemui Raka. “Kak,” tegur Agni, agar Padma tak melamun terlalu lama. “Ah, ya… ya… Kakak kurang tahu, tapi nanti, coba kakak ke sana, tanya ada apa,” terang Padma berusaha menenangkan. “Apa aku ikut? Aku juga rindu,” putus Agni. “Jangan!” sanggah Padma cepat dia lantas tersenyum lembut meminta pengertian. “Kalau ada kamu, Dirga tidak akan terus terang. Karena dia pasti tidak mau membuat kamu khawatir. Sudah, tidak apa-apa, nanti kakak yang bicara.” Padma mengusap bahu Agni lembut. Gadis remaja itu mau mengerti, dan dia akhirnya mengangguk-angguk. *** Rania terdiam mengamati ponselnya. Dirga sempat berusaha menghubunginya berkali-kali, tetapi gadis itu enggan mengangkatnya. Apalagi, sejak permintaan Raka kepadanya. Jelas sudah semua bahwa lelaki itu sudah merelakan perempuan yang sangat dicintainya untuk adik lelakinya. Sekarang, halangan satu-satunya bagi Dirga dan Padma untuk bersatu memang hanya dia saja. Sejak Rania mengirimkan pesan kepada Dirga untuk memberinya ruang dan waktu, membiarkannya sendiri dulu, sepertinya lelaki itu mengerti dan tidak menghubunginya lagi. Setelah galau beberapa hari ini, akhirnya Rania tahu apa yang harus dilakukannya. *** Rania mengendarai motornya mendekati pagar zoology Dirga yang beberapa kali dikunjunginya. Sejenak dia terpaku menatap pagar rumah itu, sebelum merasa benar-benar ragu untuk menemui Dirga. Untuk mengakhiri semuanya. Tak lama terdengar sebuah mobil menghampiri, Rania menoleh dan mendapati mobil itu berhenti juga di depan pagar. Seseorang turun dari pintu belakang dan itu cukup mengejutkan Rania. Dia melihat Padma yang langsing turun dengan anggun dari sana. Gadis itu juga sama terkejutnya mendapati Rania tengah terpaku di depan pagar rumah lelaki pujaannya. “Pulang saja, nanti saya minta diantar Dirga pulang,” kata Padma, meminta si sopir tak perlu masuk ke dalam rumah. Mendengarnya, rahang Rania mengetat. Jelas dari nada bicaranya Padma berperilaku seperti dia lebih berhak dari pemilik café florist itu untuk berada di sana. “Halo Ran,” sapa Padma cukup tegas, tak pernah Rania mendapatinya seperti itu. “Mau bertemu Dirga?” tanyanya. “Iya,” jawab Rania singkat. “Kamu—“ “Oh, Dirga sudah menunggu. Aku merawatnya belakangan ini,” bohong Padma kepada tunangan palsu itu. Rania menatap gadis itu pedih. Apakah Raka sudah mengakhiri hubungannya dengan Padma? Batin Rania. Sepertinya Padma sama sekali tidak ada niat lagi untuk pura-pura tidak memiliki kepedulian kepada Dirga. “Itu… untuk Dirga?” Padma mengamati bawaan Rania. “Iya…. Ini…” “Biar aku yang berikan,” tanpa diminta Padma mengambil alih apa yang ada di tangan Rania. “Itu…” Rania bingung dan agak tersinggung, “itu biar aku—“ “Tidak usah pura-pura,” potong Padma sedikit sinis, hal yang lagi-lagi tak pernah Rania lihat dari gadis itu sebelumnya. “Aku sudah tahu semuanya.” Satu kalimat itu sudah bisa membuat Rania terperanjat. “Kau…” “Dirga sudah mengatakan semuanya kepadaku. Kamu dan Dirga… kalian hanya pura-pura saja, ‘kan? Pura-pura pacaran, pura-pura tunangan.” Ungkap Padma terus terang. “Buat apa sekarang ke sini? Pura-pura peduli kepadanya sekarang?” “Aku tidak pura-pura, aku hanya—“ “Kenapa? Apa perjanjian pura-pura kalian, sudah membuat kamu benar-benar jatuh cinta sama dia?” Padma bertanya penuh sindiran. “Kamu jatuh cinta pada Dirga, Ran?” Didesak tiba-tiba seperti itu, Rania tak tahu pasti apa yang harus dikatakannya. “Lebih baik kamu pulang saja. Dirga, dan aku…. Kamu pasti tahu. Kami saling mencintai. Benar-benar saling mencintai.” Sesaat itu rasanya leher Rania mendapat cekikan mendadak yang membuatnya tak bisa bernapas. Gadis itu berusaha terlihat tenang tetapi Rania sebenarnya tak sanggup lagi bertahan. *** “Den, sepertinya tadi saya melihat ada Non Rania di depan pagar,” ungkap salah satu pegawai Dirga. “Apa mau diminta masuk saja?” tanyanya. Mendengar hal itu, Dirga senang bukan kepalang. Dia berdiri dan meninggalkan kelincinya. “Rania? Rania datang ke sini?” tanyanya antusias, lantas dengan cepat beranjak menuju gerbang depan. Dirga masih sedikit tertatih-tatih mendekati ke arah gerbang zoologinya, saat pintu pagar itu terbuka lebar. Tetapi yang dilihatnya bukan Rania, melainkan wanita lain. Padma. Gadis itu juga sepertinya terkejut mendapati Dirga yang napasnya agak terburu menghampirinya. “Padma?” Dirga terlihat bingung, lantas matanya mengelana ke arah pintu luar. Gadis itu juga menoleh ke belakang. “Kamu mencari siapa?” tanya Padma menyelidik. “Kamu sendirian?” Dirga memastikan. “Ya, aku sendirian,” Padma berjalan menghampiri sembari tersenyum. “Orang rumah khawatir karena kamu tidak pulang-pulang, jadi aku menjenguk, untuk melihat keadaanmu,” terangnya penuh sayang. Raut kalut di wajah Dirga tidak juga menghilang. “Apa tadi kamu melihat Rania?” Ia memastikan. “Rania?” dengan cepat Padma memasang wajah bingung. “Tidak, tidak… tidak ada siapa-siapa, aku hanya sendirian. Tadi bersama sopir, tetapi dia kuminta pulang dulu.” Kekecewaan tergurat jelas di wajah Dirga. Sepertinya lelaki itu benar-benar mengharapkan kedatangan Rania, dan hal itu membuat Padma sangat kesal. “Dirga!” tegur Padma, agak meninggikan suara. Lelaki itu sepertinya mulai tersadar. Ia lantas mengamati Padma. Apa mungkin pegawainya salah melihat? Mengira Padma sebagai Rania? “Aku baik-baik saja,” Dirga berujar. “Kamu sebaiknya pulang saja.” “Aku baru datang, masih lelah. Apa kamu sama sekali tidak akan membiarkanku minum kopi?” pinta Padma. Dirga menghela napasnya, ia akhirnya tak ada alasan lagi menolak Padma. “Masuklah,” kata Dirga, sembari berbalik. “Tapi jangan macam-macam.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN