Saat Rania memasuki café miliknya, Ia baru menyadari keberadaan Renjana di sana.
“Kak, kapan datang?” sapa Renjana. Tetapi sepertinya sang kakak terlalu terkejut dengan apa yang baru dilihatnya.
“Adit?” Hanya itu kata yang terucap, yang dilemparkan dengan mimik dan intonasi tidak percaya.
Raut wajah Rania pun berubah. Dia baru tersadar bahwa kakaknya telah mengamati apa yang terjadi tadi dan mungkin sudah melihat siapa yang mengantar Rania pulang.
“I… itu… tadi…” Rania tak bisa mencari alasan, dan akhirnya menganggul. “Iya.”
“Kamu…. Sejak kapan? Kamu berhubungan lagi dengannya? Kenapa kamu tidak cerita kalau kalian berhubungan lagi? Lalu… Sasti bagaimana? Dirga bagaimana!? Ran! Jangan cari penyakit!!” tegur kakaknya, tanpa basa-basi.
Beberapa orang yang ada di café dan tengah menikmati hidangan mereka, tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke arah Renjana yang sepertinya sangat kesal. Rania melirik was-was ke segala arah dan akhirnya menarik kakaknya ke pojok ruangan.
“Aku tidak kembali kepadanya! Dia hanya… beberapa waktu lalu dia datang minta maaf,” terang Rania. “Dia sudah menjelaskan semuanya dan sangat menyesali perbuatannya, lalu—“
“Ran, dengar, apa yang terjadi setahun lalu, apa yang sudah dia lakukan kepadamu, kepada keluarga kita, itu….” Kekesalan tidak bisa disembunyikan dari wajah Renjana. “Kakak tidak akan mengatakan itu tidak termaafkan, tetapi, bukan berarti kamu harus berhubungan lagi dengannya!”
“Aku sudah bilang, aku tidak berhubungan lagi dengannya, Kak…” Rania bersikukuh.
“Oke, jelaskan padaku, kenapa kamu datang diantar olehnya? Apa dia melakukannya setiap hari?”
“Tidak-tidak!” buru-buru Rania membantah. “Itu tadi hanya… hanya kebetulan…”
“Bohong,” Renjana tidak percaya.
Rania berdecak. “Kak! Pokoknya, aku tidak kembali kepadanya! Percaya kepadaku. Kami memang sudah beberapa kali bertemu, tetapi aku dan dia sekarang hanya berteman saja,” gadis itu berusaha meyakinkan.
Sejenak Renjana mengamati adiknya yang keras kepala. Rania memang orang yang agak tertutup. Seringkali masalahnya hanya dia simpan dan pikirkan sendiri. Sang kakak sudah cukup paham dengan sikap adiknya. Semakin dipaksa, Rania akan semakin menolak bicara, hingga adiknya sendiri yang akan memutuskan untuk membuka diri.
Renjana menghela napas. “Baiklah. Kalau memang itu yang kaukatakan,” katanya.
“Oh ya, kakak… Ada apa? Apakah ada sesuatu yang ingin disampaikan?” tanya Rania.
“Hhh…” Renjana menghela napas lebih dalam saat mengingat lagi masalahnya. “Aku hanya baru mendapat kabar, bahwa lamaran Raka dan Padma ditunda lagi. Apa kau sudah mendengar kabar mengenai hal ini?”
Deg. Kabar itu tak pelak mengejutkannya juga.
Lamaran keduanya ditunda? Sesuatu yang tak nyaman menyelinap ke dalam hatinya.
Rania menggeleng. “Aku baru tahu, diundur berapa lama?”
“Entahlah… padahal katanya Raka sudah membaik, dan terus terang saja… lamaran tidak akan memerlukan terlalu banyak waktu, akan selesai dalam satu hari saja. Entah kenapa ditunda lagi, kakak jadi bingung. Sebetulnya mereka niat menikah atau tidak?” gerutu Renjana, yang bakat ceriwisnya muncul lagi. “Eh, Ran, apa kau benar-benar tidak tahu apa-apa? Apa Dirga tidak mengatakan sesuatu kepadamu mengenai hal ini?” Renjana menatap penuh selidik.
Tiba-tiba, ingatan Rania terlempar kembali pada pemandangan hari itu, yang dilihatnya di kamar Dirga. Pasangan calon ipar itu berpelukan, dan mereka… bercium—
“Ran!” tegur Renjana. “Kok malah melamun? Bagaimana? Apa Dirga sama sekali tidak mengatakan apa pun mengenai masalah ini?”
Rania menelan ludah dan menggeleng. “Kami belum sempat banyak bicara belakangan ini… Mungkin… Entahlah kak, aku tidak begitu paham. Mungkin, karena mereka masih menunggu Dirga benar-benar pulih?” ungkapnya.
Renjana mengerucutkan bibirnya berpikir. “Bisa jadi… gumamnya. ”Entahlah, perasaanku tidak enak, jika hanya sekadar lamaran saja mundur berkali-kali. Memangnya, kondisi Dirga bagaimana sekarang?” tanyanya, mulai khawatir.
“Sudah membaik, sudah bisa mandiri… tetapi beberapa gerakannya masih terbatas dan masih menjalani terapi rutin,” ungkap Rania.
Renjana mengangguk-angguk. “Kuharap, mereka tetap jadi menikah. Eh, apa mungkin, keluarga mereka berubah pikiran karena latar belakang Padma? Lalu mencari-cari alasan untuk menghentikan pernikahan keduanya?”
Setiap pertanyaan kakaknya itu benar-benar membuat Rania terkejut. “Kak, setahuku, sejak awal mereka sangat menerima Padma. Dia sudah bekerja bersama Raka beberapa tahun, mendampinginya bahkan membantu merawatnya saat sakit. Aku tidak pernah mendengar ada yang menolak keberadaan Padma.”
Benar. Lain sekali dengan dirinya. Pak Bayu sudah jelas mengatakan keberatannya. Keluarga besar Pak Bayu apalagi. Mereka sudah mempermalukannya terang-terangan. Mengingatnya saja sudah membuat rahangnya mengetat menahan nyeri.
“Baiklah Ran, kalau begitu. Sepertinya memang hanya perlu menuggu sebentar lagi. Kupikir kau mungkin mengetahui sesuatu. Apakah mereka jadi menikah atau tidak. Sehingga aku tidak perlu beharap terlalu banyak.
Rania hanya menggeleng menanggapi kakaknya. Renjana akhirnya pamit untuk menemui klien klien. Dia juga berpesan agar Rania sering berkunjung ke rumah ibu, “Ajak Dirga, ibu ingin sesekali Dirga mengunjunginya juga.”
Tak ingin membantah dan banyak berdebat. Rania hanya mengangguk saja.
***
Jawaban atas pertanyaan Renjana akhirnya tiba. Rania mendapatkan kejutan saat ia melihat Raka yang tiba-tiba mendatangi café floristnya siang itu. “Kak Raka!” sapa Rania saat melihat pria tampan bersetelan abu-abu itu memasuki toko. Ia tampak sehat dan berseri. Jauh berbeda sejak Rania kali pertama melihatnya.
“Hai Ran, apa kabar? Aku kebetulan sedang berada di sekitar sini, sekalian saja mampir.” Raka menjelaskan sambil berjalan ke area yang dipenuhi meja dan rak berisi bunga. “Bunganya cantik-cantik sekali.”
Rania tersenyum ramah. “Kak Raka mau pesan apa? Atau mau membeli bunga?”
“Cokelat panas boleh, untuk kubawa pulang saja, tidak lama.” Rania lantas menyampaikan pesanan Raka kepada seorang pelayan. Saat ia kembali, Raka masih berdiri mengamati bunga-bunga yang ada di sana. “Mama bilang kamu jarang ke rumah sekarang, Dirga juga tinggal di tempatnya sendiri. Sedang ingin menyendiri, katanya. Apa kamu sungkan datang ke rumah kami? Atau… kalian ada masalah?”
Rania agak panik ditanyai hal itu namun dia sudah punya alasan yang dipersiapkannya.
“Kebetulan ada pegawai sedang cuti, sementara belum ada pengganti jadi aku harus lebih sering berada di sini.”
Raka mengangguk-angguk. “Ini bunga lavender?” dia menunjuk sebuah bunga berwarna ungu dan menghirup aromanya. “Aku menyukainya.”
“Iya. Bunga lavender selain cantik, juga bisa menenangkan,” terang Rania seraya tersenyum. “Lavender salah satu bunga yang terkenal untuk aromaterapi. Lavender juga bisa diartikan kedamaian, keanggunan dan ketenangan. Tetapi, Lavender tidak dianjurkan untuk diberikan dalam buket bunga. Karena Lavender juga memiliki arti lain yang tidak baik. Jika kita memberikan bunga lavender kepada seseorang, bisa berarti, kita sebenarnya tidak mempercayai orang tersebut, atau… mencurigai ada pengkhianatan.”
Raka terpaku mengamati bunga lavender di hadapannya. Ia agak memiringkan kepala, dan menyentuhnya perlahan. Tenang, anggun, kalem… namun tidak bisa dipercaya.
“Sebetulnya, aku mau minta tolong kepadamu,” Raka mengalihkan tatapan kepada Rania.
“Minta tolong apa?”
“Katanya, bunga itu bisa menjadi alat untuk menyampaikan sesuatu yang tidak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata?”
“Ya. Jika kita bisa menggunakan bunga yang tepat.”
“Karena itulah aku membutuhkanmu. Kurasa kamu lebih mengerti hal seperti ini. Aku ingin kamu membuatkan sebuah buket bunga yang terindah untuk orang tercinta.”
Rania segera teringat Padma. Ada rasa miris menghinggapi hatinya
“Untuk tema apa? Ulang tahun? Ucapan selamat atau hanya tanda cinta?” gadis itu mulai mengedarkan tatapannya memilah-milah bunga yang tepat.
“Untuk mengakhiri hubungan.”
Rania tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia terkesiap menatap Raka.
Raka meraih setangkai bunga Lavender dan menatapnya sendu, lalu kembali menoleh kepada Rania dan bertanya, “Maukah, kamu melepaskan Dirga untuk Padma?”
Remasan itu sangat kuat terasa di hati Rania. Ia menatap bunga lavender di genggaman Raka dan menyadari lelaki itu sudah menyadari apa yang selama ini terjadi di belakangnya.
Rania berusaha tersenyum walaupun tidak yakin itulah yang tampak di wajahnya saat ia berkata, “Aku sudah melepaskannya…”
***