Selama dalam perjalanan, Rania tampak sangat pendiam. Bahkan, Adit tidak mampu membuka percakapan. Sesekali dia mencoba, tetapi selalu berakhir dengan buntu.
“Bagaimana toko bungamu?” tanya Adit.
“Baik.”
“Kau juga membuat café ya?”
“Iya.”
“Lalu… Apa bisnismu berjalan lancar sejauh ini? Ada halangan?”
“Semua baik.”
Dan gadis itu bahkan sepertinya tidak menyadari sudah menunjukkan bahwa pikirannya tidak berada di sana. Aditya tahu benar bahwa Rania sangat jarang mampu menutupi pikirannya. Walaupun Rania tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Dirga, Aditya bisa melihat gadis itu tampak sedang gelisah karena sesuatu. Setidaknya, pikiran gadis itu tidak ada di tempatnya.
Bahkan setelah mereka tiba di arena ice skating, salah satu hobi Rania semasa kuliah yang biasanya selalu membuatnya ceria, kali ini sangat berbeda. Dia masih selalu melamun, hampir tidak menanggapi ucapan Aditya.
Bermain ice skating pun tampak tidak bersemangat. Adit sampai bertanya-tanya, apa yang sebetulnya terjadi antara Dirga dan Rania sebelum kedatangannya tadi.
“Ran, awas!” Dengan cekatan pria jangkung itu menarik lengan Rania saat hampir saja memasuki jalur luncur orang lain.
Gadis yang patah hati itu sempat terkejut dengan menghengtikan skatingnya segera. Ia menoleh kepada Adit dengan tatapan kaget dan bingung, hingga dia menyadari seseorang meluncur lewat di depannya dengan cepat. Sepertinya ia hampir saja tertabrak.
“Jangan melamun, Ran…” Aditya mengingatkan.
Rania mengangguk tetapi sepertinya itu hanya tindakan otomatis yang dilakukan lehernya tanpa benar-benar menyerap perkataan mantan kekasihnya. Faktanya, Aditya masih sampai harus berkali-kali menegur gadis itu yang tampak linglung.
Seringkali saat skating Rania seperti kebingungan sendiri. Kadang-kadang dia tiba-tiba diam dan membuat pemain lain menabraknya.
“Baiklah Ran, kita sudah saja,” ajak Aditya yang menyadari ada sesuatu yang benar-benar salah di pikiran Rania.
Lelaki itu lantas memutuskan untuk mengajak Rania beristirahat sambil makan bersama. Keduanya duduk di pojok sebuah lounge café dengan musik kekinian yang terdengar mengalun.
“Kau saja yang memesan, aku tidak lapar,” kata Rania saat ditanya ingin makan apa.
Aditya sejenak menatap gadis itu. Dia tahu apa yang harus dilakukan jika sedang begini. Lagipula, bertahun tahun mereka bersama, Aditya juga sudah hapal dengan seleranya sehingga tidak terlalu pusing memesankan makanan apa untuk gadis tersebut.
“Makaroni panggang jamur spesial dan teh chamomile 1,” pesan Adit kepada waitres yang menunggu pesanan mereka. Hal itu menarik perhatian Rania.
Ahh… jadi Adit masih hapal menu favoritenya?
“Teh chamomile nya sedang kosong,” terang si waitress.
Adit menatap menu sejenak dan kembali memesan, “the blackcurrant, es-nya sedikit saja,” pintanya.
Waitress pergi setelah mencatat dan mengulangi pesanan mereka.
Mata Rania lantas beradu dengan mata Aditya.
“Aku sudah bilang tidak ingin makan,” Rania lalu menunduk lemah.
“Sudah berjam-jam perut kamu kosong, masa tidak makan?” bujuk Aditya, yang hanya ditanggapi gelengan.
Setelah itu, Rania kembali lagi dengan lamunannya. Sama sekali tidak berniat walaupun hanya sekadar berpura-pura di hadapan Aditya bahwa dia menikmati semua ini.
Perlahan Aditya menghela napas, sebelum kembali memulai percakapan.
“Aku tahu kamu pasti sedang ada masalah dengan Dirga. Benar?” Tebakan jitu, Rania kembali menatap Aditya dengan mata terbuka lebih lebar saat mendengar nama putra kedua Kamajaya itu disebut. “Kamu bahkan tidak mengenakan cincin pemberiannya.” Aditya menunjuk dengan dagunya.
“Aku tidak ingin membicarakannya,” desah Rania lelah.
Ketidak-antusiasan itu malah membuat Aditya bersemangat. Sepertinya benar, mereka berdua sedang dalam masalah besar. Atau mungkin sudah berakhir.
Tiba-tiba Aditya meraih telapak tangan Rania dan menggenggamnya, tak pelak membuat gadis itu terkejut, bahkan berusaha menarik tangannya lagi.
“Lepaskan, Adit!!” perintahnya, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil.
“Kembali kepadaku,” dia menggenggam tangan Rania. “Aku akan membuatmu bahagia. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakanmu lagi Ran. Aku akan melakukan apa pun… Apa pun untuk memperbaiki kesalahanku di masa lalu. Aku berjanji. Aku bersumpah!! I love you so much.”
Aditya kemudian mengeluarkan sebuah cincin di hadapannya. Mata Rania membulat. Itu cincin pertunangan mereka dulu.
“Ran…” lelaki itu menatap penuh harap. “Please….” Dia menyodorkan cincin di hadapan Rania.
Ya ampun. Dirga-Aditya-Dirga-Aditya-Dirga-Aditya.
Rasanya kepala Rania ingin meledak karena perilaku dua orang pejantan itu.
Apa mereka tidak bisa membiarkannya hidup tenang? Ya. Hidup tenang!!
Hanya itu yang dia inginkan sekarang. Tidak perlu memikirkan Dirga dan Padma, Aditya dan Sasti. Bapak dan Ibu yang ingin segera melihat dia menikah lagi, atau Kak Renjana yang sempat kecewa mendengar lamaran Raka dan Padma ditunda dan mulai mengalihkan harapannya agar Rania dan Dirga akan menggantikannya.
Dia muak, lelah! Lelah memikirkan harapan semua orang, nasib semua orang!
Dia harus menyelesaikan semuanya. SE-MU-A-NYA! Dan itu, dimulai dari pebasket pelontos di hadapannya ini.
“Aku tidak bisa,” tegas Rania, menatap Aditya sambil menarik kuat tangannya hingga terlepas, dan mendorong cincinnya menjauh sebagai penolakan. Rautnya serius saat berkata, “Kamu pernah jadi sahabat dan kekasihku. Kita… pernah melalui banyak hal bersama. Aku tidak akan melupakan apa yang pernah kamu lakukan untukku, semuanya sangat berarti—“
“Aku juga, Ran… aku tidak bisa—“
“Tunggu Dit, biarkan aku bicara,” Rania mengangkat telapaknya tegas. “Karena semua hal itulah, aku mungkin bisa jadi temanmu lagi, tapi aku tidak bisa jadi kekasihmu lagi. Tidak akan pernah bisa, Dit… Maksudku… setelah semua yang terjadi setahun yang lalu…. Dan setelahnya. Rasanya…”
Aditya menunduk, dia jelas sangat terpukul dan kecewa. Rania tidak mengira mantan tunangannya tersebut akan tampak sekecewa itu. Apa dia tidak pernah memikirkan betapa malu, sedih, kecewa, marah dan trauma Rania dibuatnya dulu? Apa hanya karena Rania kembali tersenyum kepadanya, mau bicara, jalan bersama dan menerima kehadirannya, maka menurutnya Rania masih ingin menghabiskan sisa umur dengannya?
“Kupikir, kamu mengharapkan hal yang sama denganku,” ungkap Aditya, “Memberi kesempatan kepada kita. Aku tahu, kamu mungkin masih sedih… tetapi aku yakin sekali kita masih saling mencintai seperti dulu Ran… selama ini, aku selalu, selalu mencintaimu. Tidak pernah bisa melupakanmu. Aku yakin, jika kau mau memberi sekali lagi kesempatan—“
“Kalau kamu mengharapkan pertemanan, ya. Jika lebih dari itu, tidak.”
Keduanya kembali berpandangan, dan Adit mendapati kembali tatapan tegas Rania yang hampir seharian ini tidak dilihatnya tadi. Dia tahu, Rania bersikukuh dengan keputusannya.
Suasana tegang di antara mereka, terputus oleh kehadiran pelayan yang mengantarkan pesanan. Rania akhirnya makan juga karena pesanannya sudah datang.
Setelah itu, Aditya yang jadi tidak banyak bicara juga. Mereka menghabiskan waktu dengan lebih banyak diam, hingga makan malam selesai.
Kejutan mengahmpiri Rania saat dia baru saja hendak keluar dari café tersebut. Beberapa orang remaja tampak masuk sambil tertawa-tawa, dan salah satunya mengenali Rania.
“Kak Rania?” sapanya, dengan suara terkejut sekaligus riang.
Yang disebut namanya sontak menoleh kepada gadis itu, “Agni…” Rania pun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Kalian duluan aja, nanti aku menyusul,” pesan Agni kepada teman-temannya, sebelum kembali berbicara dengan Rania. “Kakak sedang apa di sini? Sendirian?” tanya Agni, hingga menyadari sepertinya ada sesuatu yang salah, ketika Aditya yang baru selesai membayar menghampiri mereka.
Tatapan Agni beralih kepada Aditya yang tak berkata apa pun, dan kemudian menatap Rania berusaha menutupi kecurigaannya.
“Sama… sama temanku,” jawab Rania, tanpa rencana untuk memperkenalkan keduanya.
“Oh, ya,” Agni mengangguk-angguk. Gadis supel dan ceria itu merasakan ada sesuatu yang salah, hingga memutuskan mengakhiri obrolan mereka dengan alasan sudah ditunggu teman-temannya.
Agni masih mengamati keduanya hingga Rania tak lagi terlihat bersama Aditya. Dia merasa sepertinya ada sesuatu yang salah.
Aditya mengantarkan Rania ke kafe seperti yang dimintanya. Gadis itu bahkan tidak berbasa-basi mengajaknya mampir. Malah mengatakan, ada uruasan penting yang harus dilakukannya hari ini. Akhirnya Adit memutuskan untuk pamit. Tapi di akhir pertemuan mereka hari ini, Aditya sempat berkata, “Aku belum menyerah. Aku yakin sekali cinta itu masih ada.”
Ya ampun (lagi). Ingin rasanya Rania membenturkan kepalanya ke dinding sekarang juga. Ada apa dengan hari ini? Mungkin dia harus mulai membaca ramalan zodiak, siapa tahu ada peringatan bahwa dia akan berhadapan dengan dua lelaki yang akan memaksakan kehendak mereka sendiri.
Dia tidak akan pernah kembali kepada Aditya.
Lantas rasa nyeri itu melintas di hatinya saat ia melihat lagi bunga primrose di atas meja berandanya. Satu kelopaknya terlepas. Ia meraih kelopak hati putih itu dengan sendu.
Begitu juga Dirga. Rania tidak akan kembali kepadanya.
***