Lamaran di Tengah Hujan

1308 Kata
Rania mengurut keningnya lelah. Ia sedang mencari tempat baru untuk kiosnya di internet. Tetapi ia tidak bisa benar-benar berkonsentrasi. Ia teringat kedatangan Raka, dan ingatannya tidak mampu beranjak dari Dirga. Rania tersiksa sekali dengan rasa benci rindunya ini. Mengingat Dirga terasa menyakitkan dan mengaduk perasaannya. Tetapi, jiwanya seakan menikmati rasa sakit ini, terus saja mengingat Dirga dan berharap bisa melihatnya lagi atau mendengar suaranya. Harapan yang besar itu seakan mendapat jawaban saat ponselnya berbunyi. Rania melihat nama yang beberapa hari ini tidak pernah muncul, tiba-tiba tertera di pendar ponselnya. "Dirga?" Rania cepat-cepat membaca pesannya. "Keluar sekarang," hanya itu pesannya. Alis tebal Rania berkerut. Ia menuju jendela kamar dan membukanya. Ia tidak menemukan siapa-siapa. Tapi, ada sesuatu di halaman rumahnya yang berbeda. Rania bergegas turun, dan membuka pintu, menemukan taburan kelopak primrose dua warna di halamannya, menuju ke pagar. Rania mengikutinya. Apa Dirga yang melakukan semua ini? Sejak Rania meminta Dirga pergi, lelaki itu tidak pernah menghubunginya, tetapi setiap hari, Dirga meninggalkan buket bunga yang berbeda di pintu rumahnya. Dan malam ini, di pagar rumahnya Rania juga mendapati beberapa tangkai primrose putih. Rania meraihnya. Ia keluar rumah, matanya berputar ke sana kemari, bingung apa lagi yang harus dia lakukan. Hingga dia mendapati seikat primrose di pagar rumah lainnya. Rania berjalan ke sana. Ia mengikuti tanda berupa bunga primrose itu yang terkadang ditempel di tiang listrik, pagar rumah ataupun pohon yang ada di sana. Tanpa sadar Rania terus mengikutinya, hingga dia tiba di taman kompleknya. Rania mengamati keadaan taman dengan terkejut. Taman itu sudah dihias pita dan lampu-lampu hias. Dan di tengah taman yang merupakan lapangan basket, juga sudah ada sebuah buket tergeletak. Rania heran melihat sekelilingnya yang sepi. Sekali dua kali kilatan petir tampak di langit. Rania beranjak mendekat dan meraih buket bunga itu. Tiba-tiba musik terdengar, Rania terperanjat. Beberapa orang cheerleaders muncul, menari sambil membawa papan di tangannya. Lalu muncul para pemain basket, juga menari sambil memainkan bola basket di tangan mereka. Rania menoleh ke sana kemari, masih terkejut, juga takjub dengan semua kemeriahan di sekelilingnya. Bola lalu dilemparkan pada seorang pemain yang Rania hapal. Lelaki itu melompat dan melakukan slam dunk, diakhiri musik berhenti dan para cheerleader memegangi papan bertuliskan "Will You Marry Me?" Rania terkesiap, matanya membulat dan seketika kalut memenuhi kepalanya. Di antara para cheerleaders, lelaki yang tadi menampilkan slamdunk itu berjalan menghampiri, salah tingkah, gugup. Tangannya merogoh saku celana meraih sesuatu. Rania masih tidak mengerti. Kenapa, ada Aditya? “A-Adit… apa yang kamu lakukan di sini?” desis Rania, sarat kebingungan. “Aku berhasil membuatmu terkejut?” Adit tersenyum lebar. Rania hampir jantungan. Tidak menjawab adalah jawabannya. Aditya salah tingkah lagi, ia menelan ludah dan mulai bersikap serius. “Maaf memanggilmu keluar tiba-tiba malam-malam begini,” dia berdeham. “Tapi aku tidak bisa menunda lagi. Aku sudah membulatkan tekadku.” Ia meraih tangan Rania yang pikirannya belum benar-benar berada di sana. Bukankah Dirga yang tadi memintanya keluar? Atau… Rania menyadari, pikirannya yang tidak pernah lepas dari Dirga telah membuat kesalahan dengan mengira pengirim pesan dari ADITYA sebagai A.DIRGA. Kesadaran Rania meningkat saat Aditya berlutut di hadapannya. “Dari dulu, hingga sekarang, aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Dan aku percaya, kita hanya untuk satu sama lain.” Ia kembali membuka cincin yang pernah Rania tolak. “Menikahlah denganku dan aku akan membuatmu menjadi gadis paling bahagia di dunia.” "K-kamu tidak seharusnya melakukan ini semua," tampik Rania, risau. Ia tidak suka berada dalam kondisi didesak seperti ini. Teman-teman Aditya masih menyerukan kata "Say Yes!!" dengan semangat, membuat Rania tambah kalut. "Please Ran, give me another chance. Aku janji segalanya akan lebih baik. We are mean to be together," Adit menjamin. "I love you so much. No one else..." "Dit..." Rania memelas, tanpa sadar berharap drama ini cepat selesai. "A-aku tidak..." Tiba-tiba hujan turun, suasana langsung riuh. Teman-teman Aditya menyingkir mencari perlindungan. Namun Aditya bergeming. Berlutut di hadapan Rania yang panik. "Dit, hujan..." Rania mengingatkan seakan Aditya tidak menyadarinya. "Dit, cepat berdiri! Hujannya semakin deras!" gadis itu tidak mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. “Nanti kamu sakit. Bukankah kamu akan ada pertandingan penting!!?” "Aku tidak akan berdiri sampai kamu menerimaku,” tegas Aditya yang mulai kuyup. "Aditya!!" sergah Rania, berharap lelaki itu tidak berbuat konyol. Tapi Aditya serius. Ia bergeming di tempatnya. Rania pun tidak sanggup meninggalkan Aditya kehujanan sendirian di tengah lapangan. "Adit!! Please! Nanti kamu sakit!" Ia semakin cemas. "Hidupku tidak berarti tanpamu, Ran. Please, say yes! Kita tahu apa yang hati kita inginkan. Rencana kita yang tertunda, bisa kita laksanakan," Aditya menggenggam tangan Rania erat. "Say yes..." pintanya. Dari pinggir lapangan teman-teman Adit kembali menyemangati. "Say yes! Say yes! Say yes!" seru mereka seraya bertepuk tangan, bersaing dengan derasnya hujan. Rania menatap wajah Aditya yang semakin kuyup namun tanpa keraguan. Cuaca semakin dingin namun lelaki itu semakin teguh. Hati Rania, merasa kasihan dan khwatir, sekaligus tidak bisa lebih tersentuh lagi dengan keteguhan Aditya. Belakangan Aditya melakukan sangat banyak untuknya, berusaha meyakinkan bahwa dia sudah berubah. “Ran, pleaseeee…. Beri aku kesempatan sekali ini lagi. Aku bersumpah akan memperbaiki semuanya dan tidak akan menyia-nyiakanmu lagi,” pintanya dengan wajah yang sangat kuyup. Dari kejauhan suara petir mulai menyambar dan membuat Rania sangat khawatir. “Marry, me… Ran…. Please… aku akan membuatmu bahagia…” mohon Adit dengan raut menghiba. Rania menelan ludahnya, dan menghela napas perlahan di tengah dinginnya cuaca. "Yes... I do..." jawab Rania akhirnya. Aditya begitu sumringah mendengarnya. Dia bangkit dan memeluk Rania erat. Gadis itu terpekik, lantas ikut tertawa. Hujan semakin deras tetapi suasana di taman itu begitu ramai dan meriah saat teman-teman Aditya kembali bergabung di tengah lapangan dan bersorak. Dirga mengamati dari kejauhan. Hatinya sakit bukan main. Ia meremas cincin di tangannya dan membuang buket bunga di tangannya. Sekali lagi, cinta itu pergi meninggalkannya saat ia telah menumpukan harapan begitu besar padanya. *** Dirga menanggapi dingin perhatian para pelayannya yang terkejut melihat kondisinya yang pulang tiba-tiba dalam kondisi kuyup. Ia segera berlalu menuju kamarnya untuk berganti pakaian tanpa menghiraukan Raka dan Padma yang sedang berada di ruangan lain. Dirga merasakan lengannya berdenyut sakit. Pasti akibat dingin yang menusuk karena kuyup tubuhnya. Tapi rasa nyeri di hatinya jauh berlebihan dari sakit di paha dan lengannya. Agak terpincang Dirga menuju kamar mandi, menyalakan shower air hangat. Otot pahanya kram lagi. Sial! Rasanya begitu menyiksa! Dia tidak pernah merasa begitu menderita dan ingin mengeluh sebesar ini. Jika saja bukan karena kakinya kambuh, Dirga pasti pulang ke zoology pribadinya yang berlokasi lebih jauh. Selesai mandi Dirga melakukan sedikit peregangan yang diajarkan fisioterapinya. Ketukan di pintu terdengar. Ia sedang sangat enggan diganggu, namun akhirnya beranjak juga membuka pintu sekaligus untuk melenturkan pahanya. “Padma?” Ia terperanjat mendapati gadis itu lagi. “Katanya kamu kehujanan, aku buatkan wedang jahe. Kakimu bagaimana?” Gadis itu begitu perhatian dsan seakan melupakan ketegangan di antara mereka sebelumnya. “Aku tidak apa-apa,” sanggah Dirga. Ia meraih cangkir yang dibawakan Padma. “Terima kasih, aku akan meminumnya sebelum tidur.” Padma mengamati Dirga. Lelaki itu tidak pernah tampak sedingin dan semuram ini. Dirga benar-benar terlihat tidak berperasaan. Walaupun terkesan tidak acuh, Padma paling tahu Dirga punya hati yang begitu hangat. Tapi tidak kali ini. Ada yang salah dengan lelaki di hadapannya. “Dirga, kamu benar tidak apa-apa?” lembut Padma menyentuh lengan Dirga, sarat cemas dan menyalurkan perhatian mendalam. “Sudah bertemu Rania?” “Aku baik,” Dirga ingin segera menyudahi. Berbicara dengan orang lain membuat kepalanya jenuh dengan rasa marah yang tidak terlampiaskan. Ia tidak mau kemarahan itu tersalurkan kepada orang yang salah. “Aku harus masuk sekarang. Mau istirahat.” “Dirga, kalau—“ “Padma, tolong!” sanggah Dirga dengan suara meninggi tegas. “Aku benar-benar sedang tidak ingin diganggu.” Kalimat itu setajam dan sedingin belati es. “Selamat malam.” Dirga tidak memberi Padma kesempatan bicara. Ia menutup pintu. Ia duduk di tepi tempat tidurnya dengan kedua telapak saling menggenggam erat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN