Restu Orangtua

1958 Kata
Makan malam di keluarga Kamajaya tidak lengkap karena Dirga masih tidak bergabung dengan mereka. “Dirga mana?” tanya Bu Puspa kepada Raka. “Aku belum melihatnya Ma, aku kan baru pulang,” terang Raka. “Tadi aku sudah ketuk-ketuk pintu kamarnya, Kak Dirga tidak bersuara. Aku juga kuatir Ma… tadi siang juga Kak Dirga seperti banyak melamun, aku tanya kenapa, tidak mau menjawab. Hanya bilang baik-baik saja, tapi sepertinya tidak baik-baik saja….” Si adik terlihat sangat khawatir. “Jangan-jangan sakitnya kambuh lagi, tapi dia tidak bilang?” Bu Puspa jadi ikut khawatir. “Dia itu dari dulu, suka sok kuat! Biar Mama yang bicara,” wanita itu beranjak dari tempat duduknya. “Sepertinya bukan begitu,” ungkap Aghni meragu. “Sepertinya Kak Dirga…. Dia…” “Kenapa?” Bu Puspa menatap putrid bungsunya yang sepertinya mengetahui sesuatu dengan lekat. “Dirga kenapa?” “Ma, sudah… makan dulu,” tegur Pak Bayu sang kepala rumah tangga. “Nanti saja, kalau mau bicara dengan Dirga. Kalau sudah beres makannya.” Walau masih cemas, Bu Puspa menurut, dia duduk lagi di kursinya untuk mulai makan malam. Tetapi informasi Agni yang terpotong, masih membuatnya penasaran. “Kamu tahu sesuatu tentang Kak Dirga, Dek?” tanya Bu Puspa lagi di tengah makan malam mereka. Kembali Agni tampak ragu, tetapi akhirnya buka mulut juga. “Sepertinya… Uhm, Agni tidak begitu yakin sih Ma… tapi… sepertinya… Kak Dirga, putus… dari Kak Rania,” ungkapnya. Bu Puspa jelas sangat terkejut mendengar perkataan itu. “Putus? Dari Rania? Kenapa…” tampak nada tak rela darinya. “Mama pikir mereka baik-baik saja. Apalagi Dirga sudah sampai melamar. Apa masalahnya?” wanita berhati lembut itu mulai risau. Pak Bayu membisu. Dia juga terkejut mendengar kabar itu, sekaligus lega. Karena sepertinya Rania sudah memenuhi janjinya di rumah sakit. Demikian juga Raka. Ia tak mengira hubungan keduanya dengan cepat berakhir. Dia memintanya kepada Rania. Tetapi dia tak menduga jika benar Dirga sampai menjadi sangat murung hanya karena hal ini… Apa adiknya itu juga punya perasaan kepada Rania? Bukankah selama ini dia bermain cinta dengan Padma, tunangannya? “Agni sudah bilang, Agni tidak tahu… tapi Kak Dirga….” Sejenak gadis itu menjeda lalu menghela napas. “Nanti Mama liat saja sendiri,” anjurnya. *** Sesuai niatnya, Bu Puspa membawa nampan berisi makanan ke kamar putra keduanya. “Dirga… buka pintunya Sayang, ini Mama bawakan makan malam…” seru si Ibu di pintu. Tak ada suara apa pun dari dalam kamar putranya itu, dan Puspa mulai benar-benar khawatir. “Dirga, tangan Mama sakit nih, bawa nampan berat, nanti Mama pingsan depan kamar kamu loh…” keluh Bu Puspa membual. Tentu saja Dirga mengetahui taktik basi ibunya, tetapi akhirnya kamar si anak tengah terbuka juga. Bu Puspa terkejut melihat sepertinya Dirga sedang bersiap seperti hendak pergi. “Kamu mau kemana?” “Ke rumahku,” jawab Dirga singkat. “Mau tapa lagi?” goda ibunya, meletakkan nampan di atas meja. “Kamu lagi ada masalah apa sih?” Dirga tak menjawab, hanya duduk di tepi tempat tidurnya. Sejujurnya Puspa sangat jarang melihat anak keduanya bersikap begini. Diamatinya rambut-rambut di wajahnya yang jelas tidak dicukur dan lebih panjang dari biasanya. Wajah kuyunya, dan sepertinya separuh energinya terhisap habis oleh sesuatu. “Adduuhh… ini si Ganteng kenapa jadi lemas begini, kamu kenapa sih? Ayo cerita sama Mama, jangan bikin cemas… Nanti Mama jadi stress memikirkan kamu. Kamu tahu ‘kan, stress itu bisa meningkatkan risiko umur makin pendek, kamu mau umur Mama berkurang karena—“ “Mama…” Dirga mengerang, sebelum ibunya semakin dramatis. “ Aku tidak apa-apa, aku baik.” “Kalau baik, makan dong,” Bu Puspa menyodorkan sendok ke hadapan putranya. “Kamu makan yang baik. Mama janji tidak akan melarang kamu mau kemana,” katanya. Dirga mengamati sendok yang ibunya sodorkan, akhirnya dia ambil dan makan juga. Usianya sudah lebih dari seperempat abad. Tetap saja, bagi Bu Puspa, Dirga masih anak-anak yang harus diurus saat harus diurus. “Kamu ada masalah sama Rania?” tanya Bu Puspa lembut. Sejenak ia melihat gerakan sendok Dirga berhenti, tetapi lelaki itu tak mengucapkan apa pun. Mungkin benar saat adiknya bilang kalau Dirga putus dari Rania. “Mama tidak akan ikut campur,” Bu Puspa meneruskan. “Tapi Mama hanya mau bilang, yang menjalani itu kamu dan Rania. Jangan diteruskan kalau salah satu dari kalian menderita… Tapi…. Perempuan itu… Ada kalanya ingin mundur bukan karena tidak cinta lagi, tapi karena merasa tidak yakin kalau dia dicintai.” Dirga menoleh dan menatap ibunya bimbang. Bu Puspa hanya tersenyum. “Kamu yang paling tahu apa yang sebaiknya kamu lakukan. Kalau masih ingin menenangkan diri, tidak apa-apa. Tapi makan yang baik, jangan menambah masalah dengan masalah lainnya kalau kamu sampai sakit.” Bu Puspa berdiri dan menepuk bahu Dirga lembut. “Kamu sudah dewasa, Mama percaya apa pun keputusan kamu, pasti itu yang terbaik.” Lelaki itu menoleh dan mendongak. “Terima kasih, Ma…” Bu Puspa tersenyum lembut dan meninggalkan putranya itu sendirian di kamarnya. Dirga terdiam, memikirkan apa yang harus dia lakukan. Energinya memang benar-benar sudah terkuras saat melihat pemandangan di taman komplek Rania. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Seperti kehilangan tujuan, bahkan semangat hidup. Rasanya melakukan apa pun tak lagi membuatnya bersemangat. Tak ingin mendengarkan lagu dari musisi favoritnya, menonton film kesukaannya, membaca topik yang diminatinya, atau berlatih panjat dinding lagi. Rasanya, jika ia bisa mendaki puncak gunung tertinggi saat ini pun, Ia masih tak akan merasa puas dan bahagia. Demikian sengsaranya dia kehilangan Rania. Andaikan tidak dilarang, Dirga mungkin sudah menghabiskan beberapa batang rokok saat ini. Sekarang dia hanya bisa gelisah dan kehilangan arah. “Ck!!” Dirga mulai kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa dia begini? Sampai tidak tahu apa yang harus dilakukannya seperti ini? Setidaknya, jika dia menetap di rumahnya, Dirga bisa mengalihkan perhatiannya dengan memperhatikan hewan-hewan kesayangannya. Setelah selesai makan, Dirga memutuskan kembali lagi ke kediamannya. *** Bu Puspa mengamati mobil Dirga yang meluncur pergi menyusuri halaman rumah mereka. “Ada apa Ma?” tanya Pak Bayu yang saat melihat istrinya terpaku di jendela. Bu Puspa menutup tirai jendela dan berbalik. “Dirga kembali ke rumahnya,” terang sang istri, berjalan mendekat dan naik ke atas tempat tidur dimana suaminya sudah terbaring terlebih dahulu. “Sudah, biarkan saja… mungkin karena masih sakit, suasana hatinya jadi kurang bagus. Raka juga suka begitu kalau sedang sakit, ‘kan?” “Ini lain, Pa… Dirga kalau hanya sakit fisik dari dulu tidak pernah seperti itu. Malah suka bandel, dibilang jangan ini, malah begini, dibilang jangan itu, malah begitu… Air infusan saja mau diminum biar cepat pulang. Tapi sekarang kok…” “Mama jangan terlalu banyak khawatir, sudahlah,” tukas sang suami. “Sepertinya betul-betul patah hati,” Bu Puspa mulai cemas lagi. “Nah, kamu ini…” Pak Bayu menegur, “Kamu ini yang suka banyak memikirkan ini itu, cemas berlebihan masalah anak-anak. Kalau pun patah hati, ya sudahlah… namanya juga anak muda, nanti dia bertemu yang baru juga lupa… sudahlah, Mama tidak perlu ikut cemas. Sudah, Papa mau tidur,” putus Pak Bayu dan mulai menutup matanya. “Mas, Mas!!” Bu Puspa menggoyang bahu suaminya. “Jangan tidur dulu, ada yang mau aku bicarakan,” katanya. Setengah mengerang Pak Bayu membuka matanya lagi, “Ada apa lagi sih Maa… Apa tidak bisa menunggu besok!?” “Aku sudah tahu, aku sudah dengar apa yang terjadi di pesta Aryani dari Agni.” Perkataan istrinya sekarang membuat mata Pak Bayu terbuka penuh. Agak waswas dia menoleh kepada Puspa. “Selama ini… Mas memang tidak pernah setuju, ya, Dirga bersama dengan Rania?” Pak Bayu menghela napas, sebelum kemudian bangkit dari pembaringannya. *** “Selain Utari semuanya sehat,” kata dokter Dyah, dokter hewan yang dulu merupakan teman kampus Dirga. “Dilihat saja perkembangannya satu-dua hari ini.” Dengan cemas Dirga mengusap-usap Utari yang hari ini selalu memuntahkan makanannya. “Terima kasih, Dy,” Dirga mengulurkan tangannya. Dyah memang rutin memeriksa hewan-hewan peliharaan Dirga di rumah pribadinya ini. Salah satu pegawainya tergopoh-gopoh menghampiri Dirga. “Den, ada Tuan Bayu.” “Papa?” Dirga agak terkejut mendengar kedatangan papanya. Dirga bergegas mencuci tangan dan menghampiri pria itu. Bayu tampak sedang mengamati burung-burung yang bernyanyi dalam sangkar di halaman. “Papa. Ada apa Papa ke sini?” Keduanya duduk di kursi rotan yang ada di teras. Semilir angin dari pepohonan di kebun membuat sejuk suasana di rumah itu yang bergaya seperti vila-vila di tempat wisata bumi parahyangan. Sama sekali tidak terasa bahwa mereka tengah berada di ibu kota. Ini memang tempat yang dibuat khusus untuk melarikan diri dari segala kepenatan. Dua cangkir kopi dan camilan segera dihidangkan tanpa menunggu waktu lama. “Kenapa masih sakit malah diam di sini? Orang rumah jadi khawatir. Terutama Mamamu. Kamu marah kepada Papa?” tanya Bayu tanpa menatap anaknya. Dirga mengunci kalimatnya sekian lama. Ia tahu kenapa ayahnya bertanya mengenai hal itu. Saat ingatan Dirga yang hilang kembali, sekaligus mengungkit permintaan Bayu yang sempat terlupakan. Papa sempat meminta Dirga memutuskan Rania dan setuju dipertemukan dengan putri sahabatnya yang baru kembali dari luar negeri. “Aku di sini bukan karena perkataan Papa dulu,” tampik Dirga. “Lalu kamu sudah membuat keputusan sekarang?” “Aku hanya ingin bersama Rania.” Singkat. Tegas. Tanpa kompromi. Suasana menegang seiring diam yang menjelang di antara mereka. “Aku mengerti maksud Papa baik. Tapi aku juga tahu siapa yang paling baik untukku. Aku tidak bisa menukar Rania dengan apa pun, bahkan dengan bakti kepada orang tua. Kuharap Papa mau mengerti. Ini mengenai kebahagiaanku, dan kebahagiaan orang yang saat ini paling aku pedulikan.” Tidak pernah Dirga terdengar seserius ini sebelumnya. Bayu meraih cangkir kopinya dan menyesap dua tegukan. “Papa mengerti. Maaf Papa sempat memaksakan pendapat.” Dirga terkesiap menatap ayahnya. “Papa… mau mengerti?” “Ya. Papa bicara dengan Mamamu semalam. Mamamu marah, katanya Papa tidak punya hati. Egois. Dulu, mamamu juga bukan dari kalangan berada,” senyum nostalgia agak merona itu muncul di bibir Bayu yang tidak lagi muda. “Kakekmu juga tidak setuju Papa memilih Mamamu. Papa mau dijodohkan. Papa hampir saja lupa. Papa malah hendak melakukan kesalahan yang sama seperti kakek dulu. Untung saja, Mamamu mengingatkan semalam. Dia benar, Papa tidak bisa memaksakan bahwa apa yang menurut Papa terbaik untukmu sudah pasti yang paling benar.” Dirga merasa lega. “Papa sudah memilih wanita terbaik sebagai istri.” Pak Bayu tertawa. “Ya. Mamamu, mungkin bukan wanita ningrat, tapi dia wanita dengan hati paling besar dan paling penuh kasih sayang yang pernah Papa tahu. Mungkin jika bukan karena dia, keluarga kita tidak akan seperti ini.” Bayu menatap Dirga. “Papa juga bisa melihat, bahwa Rania gadis yang baik. Sampaikan permintaan maaf Papa kepadanya.” Alis Dirga agak bertaut. “Permintaan maaf untuk apa?” *** Panggilan telepon yang tiba-tiba membuat Rania terkejut, itu panggilan dari ibunya. “Halo, ada apa Bu? Rania masih kerja sekarang,” katanya, sembari merangkai bunga pesanan konsumennya. “Kamu berhubungan lagi dengan Aditya? Kamu mau menikah sama dia?” tanya ibunya dengan nada panic dan tidak percaya. Sontak Rania menjatuhkan bunga dari tangannya, dan jantungnya berdebar kaget. “Bu-bukan begitu, Bukan… maksudku, aku…” “Kenapa kamu tidak bilang apa?? Kalau kamu sudah putus dari Dirga, terus sekarang… Aditya…” “Bu, Ibu tenang dulu, tenang… Lagipula, ibu dengar dari siapa? Soal itu, Rania—“ “Ini Aditya sendiri yang datang ke sini. Dia yang bilang itu semua, rasanya ibu ingin marah, ingin jambak! Tapi tak ada rambutnya! Bapak sampai murka dan lempar asbak! Bilang Dek, apa benar yang dia sampaikan!?” Gadis itu terperanjat. “Rania ke situ sekarang, Bu! Rania ke situ… tunggu sebentar ya tunggu!” Rania lalu meminta seorang pegawainya untuk meneruskan pekerjaan, sebelum segera meraih helm dan kunci motor untuk mendatangi rumah orangtuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN