“Terus kamu pikir dengan apa yang kamu lakukan, kamu bisa datang lagi seenaknya dan minta kami menerima kamu begitu saja dan melupakan apa yang sudah kamu lakukan!?” bentak Pak Fajar yang geram melihat kedatangan mantan mantunya yang setahun lalu tak jadi menikahi putrinya. “Hilang tidak ada kabar, sama sekali tidak ada itikad baik untuk menjelaskan! Sekarang, tiba-tiba saja datang lagi, lalu bicara omong kosong untuk menikahi Rania!! Kamu pikir rumah kami ini apa!? Toilet umum yang bisa didatangi kapan saja kamu mau!!??” Pria berusia 55 tahun itu tampak tak kuasa menahan kemarahannya yang tergambar pada wajahnya yang memerah.
Adit hanya menunduk di hadapan Pak Fajar, sementara di dekat kakinya ada asbak dari seng yang tampak tergeletak. Lelaki itu memang sangat tidak mengira bahwa kedatangannya akan disambut dengan kemarahan menjadi-jadi.’
“Aku minta maaf Paa…. Adit benar-benar minta maaf,” lelaki itu mengangkat wajahnya yang penuh sesal. “Aku salah, tapi saat itu Adit dijebak. Adit tidak tahu harus bagaimana. Jika Adit tetap datang, seluruh keluarga kita akan dipermalukan! Jadi Adit—“
“Ohhh jadi kamu lebih memilih, keluarga kami saja yang dipermalukan, begitu!!?” suara Bu Maya terdengar gemetar, juga penuh kegetiran. “Kamu mana mengerti Dit, apa yang keluarga kami rasakan hari itu karena kamu!! Ibu sampai jatuh sakit….” Wanita setengah baya itu tak mampu lagi membendung airmatanya. “Sampai tak berani keluar menemui tetangga! Ditanya sana-sini perihal sesuatu yang kami tidak mengerti. Apalagi Rania sampai mengurung diri tidak mau makan… lalu pergi berminggu-minggu. Ibu masuk rumah sakit... memikirkan hal ini. Saat itu kamu kemana Dit? Tidak ada sepatah kata pun dari kamu dan keluarga kamu.”
“Saat itu keluargaku juga tidak tahu masalahnya Bu,” terang lelaki pelontos itu menghiba.
“Ah! Sama saja!!” kali ini Bu Maya terpekik. “Waktu itu kami menunggu alasan kalian, menunggu itikad baik kalian. Tapi mana!?? Mana yang katanya sudah seperti saudara!? Sama sekali tidak menghiraukan keadaan kami, yang malu setengah mati, menyesal, marah, sedih…!! Menurut kamu ibu harus bagaimana, melihat Rania saat itu…!? Dia masih mau bicara sama kamu saja ibu sudah heran!” serunya tak terima, diiringi air mata yang membanjiri pipi, teringat kondisi anaknya saat itu. “Dia sampai keluar rumah, gara-gara kamu, tahu!!”
“Iya, Bu, iya… Adit tahu, Adit salah… Aku janji tidak akan mengulangi lagi. Aku janji—“
“Ya tentu tidak akan kamu ulangi!! Kamu pikir kami akan biarkan kamu dekat-dekat anak kami lagi!? Sampai matahari terbit dari barat pun, kami tidak akan merestui kamu kembali pada Rania!!” bentak Pak Fajar.
Aditya menelan ludahnya. “Pa… tolong… maafkan Adit Pa…” lelaki itu mendekat, memohon kepada mantan calon mertuanya. Tetapi Pak Fajar yang mengentakkan tangannya yang disentuh Adit.
“Sudah kamu pulang!! Jangan membual lagi!” Seru Bu Maya. “Pulang sana, pulang!!” usirnya sembari menunjuk ke pintu.
“Bu…!!” Adit bersimpuh memeluk kaki wanita yang pernah dianggapnya seperti ibunya sendiri. “Maafkan Adit Bu, Adit janji, tidak akan begini lagi, Adit bersumpah akan menebus semua kesalahanku. Rania juga sudah memaafkan aku, sudah menerima lagi lamaranku! Aku bersumpah, kali ini… kali ini—“
“Kami tidak peduli!!” sembur Pak Fajar. “Terserah kamu mau bilang apa, tapi Rania tidak akan menikah tanpa restu kami! Mau kamu lamar seribu kali, dan dia terima seribu kali, kalau kami bilang tidak, artina tidak!!!”
Lelaki itu menghampiri Adit, dan berusaha menarik lepas Adit yang memeluk kaki istrinya.
“Sudah kamu pulang sana, pulang!! Kamu mau membuat kamu malu lagi!!? Mau kami kembali jadi perhatian tetangga lagi, hah!!? Iya!? Itu mau kamu!?”
“Bukan, Pak… Adit hanya mau…”
“Sudah jangan banyak omong, pergi kamu!! Pulang!!” Pak Fajar menarik tangan Adit, berusaha menyeret lelaki itu yang masih berusaha keras untuk meminta pengampunan dari kedua orangtua Rania.
Gadis itu datang tepat waktu, dia membuka pintu di tengah kehebohan yang terjadi di ruang tamu. Bahkan dia melihat, cermin dan kaca yang pecah di salah satu sudut ruangan. Entah kapan terakhir kali pemandangan seperti ini Rania saksikan, di tengah keluarganya yang bisanya harmonis dan tak banyak berselisih.
Dia sangat terkejut melihat ayahnya sedang berusaha menyeret Aditya.
“Bapak!!” dengan cepat gadis itu menghambur ke arah mereka. “Sudah Pak, lepas! Lepas!!” Rania berusaha melerai. “Lepas, Pak!” pintanya.
Ayahnya melepaskan tangannya dari Aditya, dan gadis itu membantu tunangannya itu berdiri lagi. Ia lalu memandang Bapak yang terengah-engah penuh amarah menatap Aditya. Entah kapan juga pemandangan seperti itu pernah dilihatnya. Mungkin dulu, saat tertipu salah rekan bisnisnya. Sudah lama sekali, Rania masih SD. Tetapi pemandangan itu sangat diingatnya, sama menakutkan dengan hari ini. Gurat-gurat kemarahan sama sekali tidak disembunyikan.
“Pak, jangan bertengkar… malu terdengar sama tetangga…. Pak,” bujuk Rania.
“Kamu jangan bilang, kalau kamu benar-benar mau kembali kepadanya!!” Pak Fajar menunjuk Adit dengan tangannya yang gemetar. “Bapak tidak akan terima! Kalau hanya sekadar minta maaf, kami bisa maafkan, mengingat hubungan baik keluarga kita dulu. Tapi kalau minta kembali lagi, jangan mimpi!! Sampai kapan pun, Bapak dan Ibu tidak akan merestui!!” putus Pak Fajar dengan mata berapi-api. Ibunya tak banyak bicara, tetapi dari rautnya Rania tahu, mereka satu gerbong satu tujuan.
Adit kembali berusaha bicara. “Pak, saya—“
“Dit, sudah,” pinta Rania, meminta pengertiannya.
“Tapi Ran, aku… aku di sini bermaksud baik. Aku menyesal, aku ingin memperbaiki semuanya, aku ingin—“
“Aku tahu, kamu sudah mengatakan semuanya,” Rania menatap wajah Adit, lalu sekilas menoleh pada orangtuanya. “Tapi saat ini bukan waktu yang tepat. Kamu pulang dulu,” Rania meraih tangan Adit. “Nanti kita bicara lagi.”
“Tapi—“
“Dit!” gadis itu menatap tajam kekasihnya, meminta lelaki itu sekali ini mendengarkannya.
Akhirnya Aditya menghela napas, menyerah, Ia menoleh dan berpamitan kepada kedua orangtua Rania.
“Tidak usah diantar!! Kamu diam di sini, kami ingin bicara!” tegas Bu Maya kepada Rania.
Gadis itu menurut. Ia melepaskan tangan Adit yang keluar rumah dengan lunglai.
***
“Dan sekarang kamu benar-benar sudah kembali kepada Aditya!? Jadi ibu tidak salah!?” Renjana membulat total mendengar pengakuan Rania. Dia tampak lelah dan bingung. Gadis itu memutuskan menginap di rumah kakaknya karena suami Renjana sedang tugas keluar kota.
Rania bercerita semua tentang dirinya, Dirga, Aditya dan Sasti. Hanya masalah Dirga dan Padma yang tidak diceritakan. Rania beralasan Dirga berpura-pura menjadi kekasihnya hanya untuk membantu Rania datang ke acara reuni.
Renjana mengangkat dagu Rania dan menatapnya penuh pengertian.
“Ini bukan seperti wajah gadis yang sedang bahagia setelah dilamar.”
Rania melipat bibirnya. “Aku bingung, Kak. Aku memang pernah mencintai Aditya, tapi aku—“
“Sudah tidak mencintainya? Kamu hanya terpaksa karena terdesak dan tidak tega setelah melihat semua yang sudah dia rencanakan dan melihat kondisinya kehujanan seperti itu.”
“Aku bingung, Kak,” Rania yang biasanya tidak banyak mengeluh menutup wajah dengan kedua tangannya. “Aku merasa dulu sangat mencintainya.”
“Tapi kamu tidak bisa melupakan bagaimana dia pernah melukaimu, bukan?”
“Walaupun dia bilang itu jebakan…” Rania melirih. “Aku merasa semuanya tidak bisa kembali seperti dulu. Kenangan hari itu terlalu menyakitkan.”
Renjana tersenyum menguatkan. “Kamu itu beruntung. Ada dua orang lelaki yang mencintaimu. Dan dari yang kukenal, mereka lelaki yang baik. Namun yang seorang, kamu tidak bisa menerima karena trauma masa lalu. Yang satu lagi, kamu tidak bisa meneruskan karena meragukan masa depan. Tapi tanyakan hatimu sekarang Ran, saat ini. Siapa yang kamu cintai. Kamu pasti paling tahu jawabannya.”
Tentu Rania tahu pasti siapa yang dicintainya. Jika saja bukan karena janjinya kepada Bayu Kamajaya. Jika saja bukan karena kesepakatannya dan Raka, jika saja bukan karena dia pun tahu sudut hati Dirga yang terdalam, dan bagaimana adegan di kamar Dirga masih membayang nyata di kepalanya, Rania pasti sudah menyerahkan segalanya kepada Dirga.
“Tadi siang Kakak dapat kabar. Raka Kamajaya dan calon istrinya batal menikah. Kamu sudah tahu mengenai hal ini?” tanya Renjana. Rania menggeleng perlahan.
Jadi, Raka pun sudah melepaskan Padma? Dirga mungkin belum tahu mengenai hal ini karena Raka bilang lelaki itu tinggal di kediaman pribadinya.
Renjana tersenyum tipis penuh simpati melihat kegundahan adiknya. Ia lalu meraih bahu Rania dan menepuknya.
“Ran, apa kamu pernah berpikir? Kamu dan Dirga mungkin awalnya memang hanya pura-pura, tetapi tidak mustahil kalian jadi benar-benar saling jatuh cinta. Setidaknya kakak tahu kamu sungguh mencintainya. Saat Kakak melihat kalian, Kakak yakin, Dirga juga merasakan hal yang sama.”
Andai saja, Rania memiliki keyakinan sebesar Kakaknya. Tetapi Renjana tidak pernah melihat Dirga saat bersama Padma.
***