“Mas, bagaimana kondisi Dirga?” tanya Padma saat keduanya selesai rapat.
Raka mengamati Padma yang terlihat begitu cemas. “Sejak semalam dia sudah keluar rumah. Mungkin kembali ke zoology-nya.”
“Tapi dia baik-baik saja? Saat terakhir melihatnya aku sangat khawatir, aku tidak pernah melihat Dirga seperti itu. Dia kenapa?”
Raka mengamati resah di wajah Padma yang belum hilang sejak semalam. Ia pun tidak pernah melihat Padma begitu gelisah seperti sekarang. Raka memang belum mengungkapkan niatnya. Itu karena setiap ia hendak mengutarakannya, lidahnya kelu dan dadanya terasa berat. Dia sudah mengatakan kepada Yudha bahwa masalah pernikahannya mungkin ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Tetapi belum sepatah katapun Raka utarakan kepada calon isterinya. Terus terang dia tidak sanggup rasanya harus melepas Padma. Apalagi, jika dia membayangkan Dirga bersanding dengan Padma kemudian. Entah bagaimana hatinya harus merasa.
Namun, dia harus konsisten dengan keputusannya. Apalagi dia tahu, Rania sudah melepaskan adiknya.
“Padma, pulang kantor makan dulu yuk,” Raka menyentuh wajah Padma lembut. “Kamu saja yang tentukan ke mana.”
“Ke mana, ya, Mas? Terserah Mas saja,” mata Padma masih tampak resah. Tentunya bukan soal harus makan dimana.
“Selama ini aku terus yang menentukan. Sekali-kali kamu yang tentukan.”
“Tapi aku benar-benar tidak tahu mau ke mana.”
Raka menurunkan tangannya. “Kamu dan Dirga dari dulu sering jalan bersama, bukan? Biasanya kalian kemana? Kalian punya tempat favorit?”
“Oh, itu…” samar, tapi senyuman itu ada dalam suaranya. “Ada café yang bertema roof garden café. Kami—”
“Kita ke sana saja,” putus Raka. Melakukannya di tempat yang paling gadis itu sukai mungkin akan membuat perpisahan ini lebih sempurna.
***
Padma sempat tidak menyadarinya, tapi saat mencapai lokasi yang dia maksud, ia agak resah. Café ini terletak di gedung tinggi dengan lokasi terbuka yang disetting seperti taman terbuka. Dengan lampu-lampu hias, sekaligus bisa melihat bintang dari tempat mereka duduk, suasana romantis memang cukup kental.
Padma resah kalau-kalau Raka mencurigai sesuatu saat melihat suasana di tempat ini. Tadi ia spontan saja menyebutkan saat lelaki itu bertanya.
Sejenak Padma melirik, tetapi tampaknya Raka terlihat tenang dan senang berada di sana. Putra sulung Kamajaya itu lantas berkomentar tempatnya bagus.
Keduanya lalu memilih duduk di meja pojok, dekat pagar pembatas yang membuat mereka juga bisa melihat pemandangan lima lantai di bawah mereka. Keduanya melalui makan malam itu seperti biasa. Mengobrol hal yang biasa, saling menanggapi dengan biasa. Padma agak lebih pendiam dari biasanya. Sepertinya sesuatu mengusik pikirannya. Tetapi Raka tidak bertanya apa, karena dia sendiri tahu jawabannya.
Di ujung makan malamnya, Padma mulai merasa, bukan hanya dia yang sibuk memikirkan Dirga, Raka juga sepertinya sedang tenggelam memikirkan sesuatu.
“Mas, ada apa?” Padma agak menelengkan kepala ingin tahu. “Sepertinya ada yang sedang Mas pikirkan?”
Raka menatap Padma, merasa kehilangan walau gadis itu masih nyata di hadapannya.
“Kamu suka makanannya?”
Alis Padma berkerut.”Y…ya…” Ia heran dengan pertanyaan Raka. Pria itu masih menanyakan hal-hal lain yang terasa berputar-putar sebelum sampai tujuan.
“Baguslah, kalau semua hal sedang berjalan baik untukmu,” Raka meraih tangan Padma, dan menggenggam tangan yang agak dingin karena angin malam itu. “Kamu akan merasa lebih baik lagi sekarang,” katanya.
Raut Padma kembali berubah, antara antisipasi sebuah kesenangan dan keheranan.
“Ada apa? Kok Mas aneh… Tidak biasanya Mas banyak basa basi begini.”
Raka menghela napas dalam, menatap Padma mantap. “Kita putus saja.”
Gadis itu terkesiap. Bengong seperti baru terbangun dari mimpi, menggeleng tipis dan mengerjapkan matanya sebelum mendesah, “Apa…?”
“Kita putus. Kita sudahi saja hubungan kita. Aku tidak mau melihatmu menderita lagi.”
“M-Mas ini bicara apa?” suara Padma melirih. “Kenapa tiba-tiba—“
“Ini bukan tiba-tiba. Ini hasil pemikiran yang sangat lama dan keputusan paling berat yang pernah kuambil.” Digenggamnya tangan Padma erat. “Aku mencintaimu Padma.”
“Aku tidak mengerti, Mas…” desah Padma kalut.
“Aku mencintaimu, hingga aku harus rela melepaskanmu. Membiarkanmu bersama pria yang benar-benar kamu cintai. Yang bisa membuatmu bahagia.”
“Mas, aku—“ ucapan Padma terputus saat telunjuk Raka menyentuhnya lembut. Padma tidak pernah melihat pria itu sepilu saat ini.
“Aku tahu pasti siapa yang kamu cintai, Padma. Sejak dulu aku tahu.” Ia menurunkan telunjuknya. Menunduk sedih. Sakit sekali hatinya. “Bukan aku…” Ia mengangkat lagi wajahnya. “Tapi Dirga. Kamu mencintai Dirga.”
Padma terkesiap. Ia tidak sanggup mengelak. Matanya langsung berkaca-kaca.
“Aku sudah lama tahu. Bahkan sebelum melamarmu,” Raka tersenyum pahit. “Aku memang culas. Aku tahu Dirga tidak pernah dekat dengan gadis mana pun. Hanya kamu yang sangat sering berkomunikasi dengannya. Hanya kamu juga yang sering dia bawa ke rumah. Walaupun kalian selalu mengaku hanya berteman, aku tahu kamu istimewa untuknya.”
Raka menelan ludah dan menghirup napas dalam. Ia harus mengakui dosanya.
“Saat kamu magang di perusahaan, aku mulai jatuh cinta kepadamu. Aku menutup mata dari fakta bahwa aku tahu kalian sebetulnya menyimpan rasa kepada satu sama lain. Dirga, dia berbeda denganku. Dia bisa melakukan apa pun yang dia mau. Dia bebas. Dia sehat! Sedang yang kuinginkan hanya kamu. Dan aku yakin, jika aku memperlakukanmu dengan tepat, kamu bisa jatuh cinta kepadaku.”
“Mas…” Padma membekap bibirnya, mulai menangis. Ia sangat terkejut.
Raka meneruskan. “Aku mendekatimu, dan melamarmu. Kupikir, aku sudah menang. Hingga aku menyadari, cinta kalian sama sekali tidak padam. Aku bisa melihat sorot kehilangan dan kepedihan saat kalian saling memandang. Lalu, sorot penuh cinta dan kerinduan. Aku tahu semuanya tentang kalian selama ini, Padma, dan aku pun tahu, aku sudah gagal membuatmu mencintaiku.”
Padma menahan isakannya. Ia tidak mengira Raka membiarkan drama diantara mereka bertiga berlangsung sejauh ini. “Maafkan aku, Mas…”
“Aku yang minta maaf. Aku tidak seharusnya berada di tengah-tengah kalian,” ia menggenggam erat tangan Padma. “Kamu bisa bersama Dirga sekarang. Aku sudah bicara dengan Rania. Dia juga sudah tidak bersama Dirga.”
Padma menatap tidak percaya. Semuanya berakhir seperti harapannya.
Raka menggenggam tangan Padma erat dan menciumi punggung tangannya lembut.
“Terima kasih untuk semua kebaikan dan waktu yang telah kamu sisihkan untukku. Aku tidak akan pernah melupakannya. Aku akan menyimpannya dalam hatiku sampai kapan pun.”
Padma menunduk dalam dan mulai tergugu. “Maafkan aku, Mas… Maafkan aku…”
Saat Raka memeluk Padma, kata-kata itu masih terus meluncur berkali-kali.
***
Rania membuka matanya, dan kepalanya terasa teramat pusing. Beberapa hari ini tidurnya tidak nyenyak. Setelah pertengkaran orangtuanya dan Aditya, serta pembicaraannya dengan Renjana beberapa hari sebelumnya, ia jadi benar-benar kalut dan tidurnya tidak nyenyak.
Gadis itu beranjak ke jendela, membuka tirai dan sangat terkejut saat ia kemudian membuka jendela kamarnya di pagi buta itu kemudian mendapati ada sosok menjulang yang amat dikenalnya berdiri di depan pagar rumah.
“Dirga…” nama itu terucap lirih, diiringi detak jantung berirama cepat.
Lelaki yang disebut namanya mematung menatapnya, cukup membuat Rania tahu bahwa lelaki gagah itu ingin bicara.
Sambil meremas-remas jemarinya gelisah Rania memutuskan untuk turun ke bawah dan beranjak keluar rumah. Sisa hujan masih meninggalkan jejak di mana-mana, termasuk rasa dingin yang menusuk saat matahari masih enggan bangkit dari tidurnya. Rania lantas teringat kejadian saat di taman komplek. Ia sekarang sudah menerima lamaran Aditya. Ia tidak mampu menatap Dirga.
“Ada apa? Sejak kapan kamu berdiri di situ?” tanya Rania. Fajar masih sangat muda, lampu jalan pun masih menyala. Rania sengaja tidak membukakan pintu pagar.
“Aku mau bicara. Ijinkan aku masuk.” Terdengar memerintah walau diucapkan perlahan dan lembut.
“Tidak! Katakan saja di sini!”
Andai saja tubuhnya dalam kondisi fit, Dirga mungkin sudah memanjat pagarnya.
Rania menatap penuh tuntutan saat Dirga tidak juga kunjung bicara. Saat ia hendak membuka mulut mengusirnya, barulah lelaki itu buka suara.
“Apakah perasaanku masih belum jelas bagimu? Kamu sangat berarti. Istimewa.”
Rania terkesiap. Genggamannya di pagar mengerat. Ia tidak mengira mendengarnya sekarang. Mata beningnya membulat mencari rekayasa di mata suram Dirga. Ia tidak bisa membacanya. Tidak mampu menakar apakah kalimat itu jujur atau dusta.
“Apa maksudmu…” Rania melirih, tenggorokannya tersekat.
“Kamu tahu apa maksudku! Kupikir seharusnya kamu tahu!”
Rania pernah berpikir dia tahu perasaan Dirga kepadanya. Tapi satu aksi telah meluruhkan semua keyakinannya.
“Cukup, Dirga! Sudah! Jangan melakukan sesuatu jika bukan dari hatimu!” Ia menatap nanar.
“Seperti kamu yang menerima Aditya walaupun kamu tidak mencintainya?”
“Kamu bicara apa!?” sergah Rania sengit. Ia lupa mereka berada di luar rumah dan menggigil. Tidak ada satupun dari mereka yang mempedulikannya.
Dirga mengamati jemari Rania yang polos.
“Apa alasan seorang gadis yang baru saja dilamar tapi tidak mengenakan cincinnya?”
Mata Rania membulat panik. Dirga tahu!? Lelaki itu tahu bahwa Aditya melamarnya?
Telapak Dirga yang dingin menggenggam punggung tangan Rania yang melingkar di pagar. Mengubah tatapan Rania kian resah kepada lelaki itu.
“Kamu tidak akan mengambil keputusan t***l dengan menikahinya, ‘kan?” Ia mengejek.
“Dan memilihmu? Apa jaminan itu bukan tindakan yang lebih t***l?”
Dirga mengeratkan rahangnya. “Kenapa kamu bersikap seperti ini? Jangan katakan bahwa kamu lebih memilih Aditya. Aku tidak akan mempercayai omong kosong itu!”
“Tapi aku memang sudah memilih dia!” Suara Rania meninggi. “Terimalah kenyataannya. Tidak semua hal berjalan sesuai kehendakmu. Saat ingin bermain, permainan dimulai. Saat ingin berhenti, permainan berhenti. Tidak, Dirga. Walaupun kamu masih ingin memainkan permainan yang sama. Aku sudah muak. Aku ingin berhenti. Sekarang juga!”
Keduanya bertatapan tajam. Tiba-tiba rasa dingin berubah menjadi panas karena amarah di hati masing-masingl.
“Katakan kamu lebih mencintai Aditya ketimbang aku.” Suara itu rendah, geram dan menantang. Tatapan kelam Dirga memasung semakin dalam saat ia mendekatkan wajahnya di antara celah pagar.
“Kamu tidak bisa memerintahku!” kecam Rania.
Rania benar. Tepat sekali. Dirga tidak pernah memaksakan kehendaknya. Ia keras kepala mengenai banyak hal. Ia punya prinsip sendiri. Tetapi memaksakan perasaan orang lain bukan salah satunya.
“Kamu tinggal mengatakannya. Mudah saja. Dia sekarang calon suamimu, bukan?” ejekan itu masih ada di sana. “Katakan kamu lebih memilih bersama Aditya ketimbang bersamaku.”
“Katakan kamu lebih memilihku ketimbang Padma!!” Rania balik menuntut, mendongak mencondongkan wajahnya ke kisi pagar.
“Aku lebih memilihmu ketimbang Padma!” Dirga mendekatkan wajahnya menggeram. “Aku lebih memilihmu dibandingkan siapa pun.”
Rania membeku. Kalimat itu membuatnya terikat, tidak bisa bergerak. Kecuali aliran darah yang menderas dan derapan jantung yang mengeras.
Apa lelaki ini serius? Atau ini hanya permainan lainnya? Dia pasti tidak ingin lamaran kakaknya gagal. Dia pasti hanya ingin membuat Rania menjadi tameng dari perasaannya sendiri kepada calon kakak iparnya. Seandainya Dirga bersungguh-sungguh…
“Sekarang katakan, kalau kamu lebih mencintai Aditya ketimbang aku.” Ia balik menuntut.
Rania menelan ludahnya. Ia membuka bibirnya ragu. “A-aku… lebih mencintai Aditya.” Bohong. Ini sebuah kebohongan besar. “Ketimbang kamu.”
Dirga mengecup dahi Rania di antara kisi pagar. Suhu dingin di antara mereka sejenak menghangat walaupun fisik Rania semakin membeku. Tergurat sebuah tarikan asimetris di bibir Dirga.
“Bagaimana kamu bisa menikah kalau kamu tidak bisa menolak kecupan dari lelaki lain?”
Gadis itu tersentak. Kesal pada dirinya sendiri. Hingga ia ingat insiden lain.
“Kamu juga!” serangnya. “Bagaimana bisa mengatakan semua itu kalau kamu masih….”
Masih sanggup mencium wanita lain.
“Apa?” tanya Dirga, menunggu Rania menyelesaikan kalimatnya.
Rania bahkan tidak sanggup mengucapkannya karena itu amat menghujam jantungnya. Ia menunduk, menahan air matanya agar tidak jebol saat itu juga.
“Apa karena Papa? Kami sudah bicara. Aku sudah tahu perminaatn Papa kepadamu. Papa memintaku menyampaikan permintaan maaf. Dia sudah mengerti bahwa aku memilihmu dan tidak menghendaki yang lain.”
Rania terkejut mendengar hal itu. Dirga bahkan telah membelanya di hadapan Bayu Kamajaya? Nanar Rania menatap Dirga. Tapi bukan hanya itu persoalannya.
“Apa kamu selalu tertarik kepada tunangan orang lain?” serang Rania tiba-tiba. “Setelah tahu aku bersama Aditya, apa aku jadi lebih menarik di matamu?”
Tampaknya kalimat itu menohok Dirga. Rania bisa melihat otot rahangnya mengerat.
“Aku mencintai Aditya atau tidak, itu urusanku. Aku ini sudah bertunangan! Aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu. Apa kamu lupa dengan perjanjiannya? Jika salah satu dari kita sudah menemukan orang lain, kesepakatannya diakhiri. Inilah saatnya,” putus Rania. “Semua akan terasa sulit dan rumit jika berkaitan denganmu. Aku lelah bersamamu. Pulanglah.”
Dirga mengamati gadis keras kepala di hadapannya, berusaha menenangkan emosinya sendiri. “Jika salah satu di antara kita jatuh cinta kepada orang lain, tentu perjanjiannya harus diakhiri. Tapi kamu….”
Dirga kembali membungkuk mendekatkan wajahnya, takut-takut Rania segera menggerakkan kepalanya ke belakang berusaha menjaga jarak. Lelaki itu mendengus, salah satu sudut bibirnya tertarik. Sepertinya sesuatu membuatnya puas.
Lelaki itu menegakkan kembali tubuh tegapnya. “Baiklah. Aku akan membiarkanmu berpikir. Tapi tidak lama. Besok, aku akan menunggumu di arena kompetisi ice skating. Datanglah. Aku akan menunggumu sampai kamu datang.” Ia menjulurkan tangannya melewati pagar, menyisihkan sejumput rambut Rania dan menyelipkannya di telinga gadis itu. “Jangan mempertaruhkan kebahagiaanmu, Ran.” Lelaki itu permisi dan berbalik beranjak pergi.
“Aku wanita bebas. Aku akan memilih sendiri apa yang terbaik untukku!” seru Rania pada punggung Dirga.
Lelaki itu berbalik sejenak. “Kalau begitu kamu pasti akan datang besok,” Dirga meyakini. Melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Rania dengan hati lebih kacau lagi.