Hanami

1068 Kata
Ketika Paris hendak memasuki restoran tiba-tiba telapak tangan Samuel meraih pergelangan tangan Paris kembali lalu sebelah tangannya meraih pinggang Paris dengan cara yang sangat posesif. Membuat jarak mereka sangat dekat, nyaris hanya di pisahkan kain yang melekat pada tubuh mereka. Paris tampak menahan napasnya, membelalakkan matanya menatap Samuel dengan tatapan permusuhan yang selalu ditunjukkan oleh Paris sejak ia bertemu Samuel hari itu. Samuel menatap wajah Paris langsung dengan tatapan datar. “Jika berani membatalkan pemotretan ini, aku akan menelanjangimu di sini,” ucapnya dengan nada sarat ancaman. Ia menyeret paksa Paris ke sudut teras agar tidak menghalangi orang yang akan melewati pintu. Paris mengangkat dagunya dengan angkuh. “Kau pikir aku takut? Telanjangi saja!” Samuel tersenyum miring. “Oh, rupanya kau pemberani sekali, ya? Kau tidak sabar ingin bercinta denganku, bahkan kau ingin bercinta di tempat umum seperti ini,” katanya. Paris membalas senyum miring Samuel dengan senyuman sinis. “Kau tidak akan berani,” desisnya. “Kata siapa aku tidak berani?” Samuel menyeringai licik. “Kalau begitu... ayo, buktikan!” tantang Paris. Samuel tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibir Paris, sementara satu tangannya berpindah di bagian belakang kepala Paris. Menahan Paris agar tidak melawan. Paris meronta-ronta berusaha melepaskan dirinya tetapi tenaganya jelas tak sekuat Samuel, meski ia berulang kali memukul d**a Samuel yang sekeras batu nyatanya pukulan Paris seolah tak berarti bagi tubuh Samuel. Bibir pria itu terus menggodanya hingga akhirnya Paris tak berdaya dan membuka mulutnya membiarkan lidah Samuel menyeruak masuk membelai lidahnya. Memanjakannya dengan cumbuan yang sangat luar biasa dan ahli. Paris mengerang merasakan sensasi liar dan memabukkan yang ia rasakan. Bukan hanya Paris yang mengerang, Samuel bahkan tenggelam dan lupa pada tujuannya. Bibir Paris, adalah bibir termanis yang pernah ia cecap. Bibir itu memabukkan melebihi anggur termahal yang pernah ia nikmati. Ketika terdengar suara orang terbatuk di sekitar mereka, keduanya terkesiap dan mengakhiri cumbuan bibir mereka. Sial! Wanita kasar ini, memabukkan! Samuel menata gejolak gairah di dalam dirinya yang telah terbakar. Ia mengembalikan ekspresi wajahnya yang datar dan menantang Paris. “Kau takut jika ketiga pelayanmu itu mengetahui kelakuanmu bukan? Jika kau tidak ingin mereka melaporkan kelakuanmu pada suamimu maka ikuti apa mauku atau kubuat kau mengerang di depan mereka,” ancamnya. Samuel tahu, di balik sifat pembangakang dan sombongnya, Paris tidak seberani itu. Paris mengatupkan bibirnya, ia bahkan membuang wajahnya ke arah samping karena tidak mampu bertatapan mata langsung dengan pria di depannya yang jelas-jelas telah meruntuhkan kesombongannya. Samuel meraih dagu Paris dengan lembut. Membuka bibir Paris menggunakan ujung ibu jemarinya. “Jadilah patuh, aku tidak akan menyulitkanmu,” katanya. Paris menatap Samuel dengan perasaan yang tidak menentu, jantungnya berpacu cepat hingga mengganggu pendengarannya. Jengkel, gugup, entahlah. Paris sendiri tidak mengerti tetapi ia segera memasang topeng keangkuhan yang selalu ia kenakan di depan pria yang pernah ia tiduri. “Lepaskan aku,” desisnya. Samuel tersenyum, wanita yang masih berada di dalam kungkungan lengannya itu benar-benar menarik. Keras kepala, angkuh dan sombong. Sangat membuatnya tertantang. “Kau benar-benar ingin kutiduri di dalam restoran di depan ketiga pelayanmu itu rupanya,” ucap Samuel dengan nada sinis. “Kau gila! Kau benar-benar gila!” “Aku tidak gila, aku hanya ingin meminta maaf dengan kepadamu dengan cara memotretmu. Sederhana bukan?” Bibir Paris terbuka tanpa mengeluarkan suara. “Jangan terlalu lama berpikir karena aku tidak memberikan kepadamu waktu untuk berpikir,” kata Samuel. “Kau meminta maaf dengan cara memaksaku? Aku rasa kau harus belajar dalam tata Krama atau pergi ke ahli jiwa, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang meminta maaf dengan cara memaksa korbannya,” kata Paris dengan nada yang sangat jengkel. “Korban? Korban apa? Apa kau korban pelecehan s****l?” tanya Samuel diiringi tawa kecil. Bibir Paris kembali terbuka tanpa bisa mengucapkan kalimat apa pun mendengar ucapan Samuel yang sangat vulgar, bukan hanya sangat vulgar tetapi pria itu mengucapkannya seolah ia tidak pernah mencurangi diri Paris dengan cara menyamar menjadi pria bayaran. “Cantik, kau bukan korban pelecehan s*ks*al sayang, tadi malam kita melakukannya dengan sangat berkesan dan kau tidak terpaksa. Aku harap, aku memiliki kesempatan lagi untuk lakukan itu denganmu,” kata Samuel sambil ujung jemarinya membelai wajah Paris, menyingkirkan beberapa anak rambut yang nakal tergerai dekat telinga Paris dengan gerakan lembut. “Lepaskan aku...!” pinta Paris lagi. “Aku tidak akan melepaskanmu hingga kau berkata, iya,” kata Samuel dengan nada tegas namun menggoda. Paris menghela napasnya dengan kasar. “Kau benar-benar tidak tidak tahu malu.” *** Di Tokyo, bunga Sakura akan mulai mekar pada pertengahan bulan Maret dan akan mekar sempurna pada akhir bulan Maret hingga awal bulan April. Pemandangan terindah bunga Sakura adalah saat satu minggu pertama bulan April. Pada minggu kedua bulan April, bunga Sakura sudah berguguran dan daun-daun hijau yang disebut "hazakura" mulai bersemi. Itu artinya musim hanami sudah terlewat.Biasanya wisatawan yang ingin menikmati hanami, datang saat minggu pertama bulan April. Meskipun di Tokyo berjejer gedung-gedung yang tinggi tetapi bunga Sakura masih bisa di nikmati di sana, salah satunya di Chidorigafuchi. Di sana pengunjung dapat menikmati bunga Sakura yang sedang mekar sambil menaiki perahu. Air sungai akan berubah tampak seperti lautan bunga jika kita datang ke sana pada akhir hanami karena kelopak bunga Sakura yang telah gugur akan menutupi sebagian besar air sungai. Samuel bersedekap, ia menatap Paris dengan tatapan jengkel, bagaimana tidak? Paris terus saja memberengut. Bagaimana ia akan mengambil foto wanita itu jika ekspresi wajahnya terus saja di tekuk hingga sama sekali tidak nyaman untuk di lihat. Samuel mendekati Paris yang berdiri di bawah pohon sakura, tepat di depan pagar pembatas sungai. Seperti Samuel, Paris juga bersedekap. “Apa kau tidak lelah terus saja bersikap seperti ini?” tanya Samuel sambil memasangkan jaketnya ke bahu Paris. Paris hanya mengenakan dress yang berbahan kain lembut tanpa lengan. Paris rupanya benar-benar enggan merespons Samuel, ia hanya memandangi air sungai yang jernih dan di penuhi dengan perahu yang di naiki oleh wisatawan. Lengan Samuel merangkul pundak Paris. “Aku akan mengambil fotomu, ayo kita naik perahu,” ucap Samuel mengajak Paris. “Aku....” Paris tidak melanjutkan ucapannya, tatapan matanya tampak sedikit panik. Samuel tersenyum. “Kau takut?” tanyanya dengan nada lembut. Ragu-ragu Paris mengangguk. “Aku akan menjagamu, bahkan jika nyawaku taruhannya,” kata Samuel dengan nada serius. “Aku pastikan kau aman bersamaku.” Paris menatap Samuel dengan tatapan curiga. “Jangan katakan kau tidak bisa berenang.” Samuel memiringkan kepalanya. Paris membesarkan bola matanya, bibirnya terkatup rapat. Tebakan Samuel benar, ia memang tidak bisa berenang. “Kau tidak akan tenggelam, aku perenang yang handal. Percayalah aku bisa berenang lebih cepat dari lumba-lumba,” ucap Samuel dengan ekspresi konyol membuat Paris akhirnya melengkungkan bibirnya. “Omong kosong,” kata Paris. Ekspresinya telah sedikit melunak. Keduanya akhirnya berjalan menuju tempat di mana mereka bisa menyewa perahu kecil. Awalnya Paris terus berpegangan kepada Samuel, ia seolah tidak ingin melepaskan tangannya yang mencengkeram kain di bagian pinggang Samuel. Tetapi, setelah beberapa menit ia tampak mulai rileks dan menikmati keindahan bunga sakura yang berada di atas perahu yang mereka naiki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN