Seharian ini menjadi hari paling melelahkan dalam hidup Tif karena hampir dua belas jam ia bersama dengan Gilang. Layaknya sepasang kekasih bahagia yang dimabuk cinta. Membuat tif kesal karena pria itu menempel seharian padanya.
Gilang datang di pagi hari membawakan sarapan untuk mereka berdua makan bersama. Tif kira setelah selesai sarapan pria itu akan pergi tetapi pria itu justru bergeming di sana dan menunggu jam makan siang untuk bisa pergi makan di luar, lengkap dengan nonton film keluaran terbaru yang sedang ramai di bicarakan orang-orang. Dengan terpaksa tif mengikuti seluruh kemauannya demi meraih hati Gilang karena dengan begitu ia akan menjadi kekasih idaman laki-laki ini.
Untung saja pria itu tidak jadi memesan kursi tipe velvet, kursi bioskop yang dirancang untuk sepasang kekasih agar dapat menonton sambil berbaring berdampingan.
Jika di perhitungkan, ia sudah hampir dua bulan bersama dengan pria ini. sandiwara ini membunuh dirinya perlahan-lahan karena ia harus menahan emosi dan dirinya untuk tidak melempar pria itu dari atas gedung setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, yang omong-omong, hampir setiap hari kecuali hari libur.
Film di layar bioskop sudah menampilkan baris kredit pembuatan film ini dan lampu-lampu di sana sudah mulai nyala untuk membimbing para penonton keluar dari teater.
Gilang bangkit lebih dulu dan menggandeng Tif untuk keluar dari situ. “Bagus kan film nya?” tanya pria itu sambil berbisik di telinga Tif. Membuatnya sedikit merinding karena jijik, ia kira selama ini telinganya adalah titik sensitif, tetapi ternyata itu hanya berlaku untuk beberapa orang yang ia sukai saja, tidak termasuk pria itu.
“Bagus, endingnya agak ga kebaca, tapi itu yang bikin filmnya bagus.” Jawab tif senormal mungkin. Untungnya film yang mereka tonton memang bagus sehingga tif bisa fokus dan serius menikmati tayangan itu hingga akhir.
“Iya kan? Minggu depan kita nonton lagi ya.” Kali ini tif hanya menggumam menjawab pertanyaan pria itu. urusan minggu depan bisa ia atur hingga waktunya tiba.
Gilang menuntun jalan tif ke salah satu restoran mewah di mal itu. pria itu menyebutkan namanya pada pelayan yang menyambut kedatangan mereka di pintu masuk. sepertinya ia sudah memesan tempat terlebih dahulu karena pelayan tersebut mengantarkan mereka pada sebuah meja yang telah dituliskan tanda ‘reserved’.
Restoran itu terlihat elegan dan pasti mereka memiliki menu dengan harga yang mahal jika dilihat dari dekorasi interiornya. Sekali lihat dari luar saja orang-orang akan tahu ini termasuk restoran kelas atas yang biasanya tidak di datangi tif karena makan di tempat seperti ini kadang-kadang membuatnya malas dan kaku. Seolah-olah ia takut akan melakukan kesalahan seperti salah mengambil sendok untuk makan sup atau mungkin salah mengambil pisau untuk ia gunakan memotong steak.
Pelayan di restoran mahal sekelas inipun biasanya ramah pada orang-orang yang terlihat kaya raya. Jika kalian datang dengan pakaian seadanya dan hanya memesan menu yang termurah di restoran itu, sudah pasti kalian akan di pandang sebelah mata. Well, tidak semuanya seperti itu memang. Tetapi, sejauh pengalaman yang ia rasakan selama ini memang selalu seperti itu. apalagi tif adalah tipe orang yang kadang-kadang memakai pakaian semaunya. Bisa jadi ia hanya mengenakan kaus dan celana jins robek yang sudah belel ditambah lagi sandal teplek yang membuatnya nyaman untuk di gunakan berjalan lama mengitari mall.
“Aku udah pesen makanan pembuka dan main course nya juga, tapi kalo kamu mau nambah silakan, minta pelayannya aja.”
Beberapa pelayan memang sudah mulai mengantarkan makanan yang Gilang pesan sebelumnya. Tif menggeleng pada pria itu. “Cukup kok, kita makan ini aja dulu nanti kalo kurang aku pesen lagi yang lain.” Ujar Tif. Bagaimana mungkin ia bisa makan dengan lahap dan banyak jika berduaan dengan musuh.
Belakangan ini berat badannya menurun, ia mulai mengerti kenapa. Salah satu penyebabnya karena ia selalu makan bersama Gilang dan membuat nafsu makannya menurun. Satu-satunya ia bisa makan dengan tenang adalah makan malam, sepluang kantor ia selalu makan sendirian entah itu di apartemen atau di perjalanan pulang tanpa Gilang. Namun, ia tidak terbiasa makan banyak di malam hari jadi ia makan seadanya. Padahal seharusnya seorang ibu hamil harus banyak makan makanan bergizi dan bertambah berat badannya. Ia sebaliknya.
Beberapa minggu ini ia juga mencemaskan sandiwaranya itu, ia khawatir kehamilannya akan menggagalkan rencana itu. maka dari itu ia harus menyelesaikan ini secepat mungkin.
“Sayang,” Pria itu memanggil Tif dan membuyarkan pikirannya. “Gimana kalau hari minggu kamu ketemu orang tuaku?”
Tif yang sedang menelan steak mendadak berhenti dan menatap pria itu dengan horror. “Maksud kamu besok?” tif menenggak air putih yang ada di depannya. “Buat apa?”
“Aku rasa ini waktu yang tepat buat aku bertanya sama kamu. Aku tau mungkin ini terlalu cepat tapi aku ngga pernah seyakin ini sama kamu. Aku mau kita lebih serius.”
Tif masih memproses omongan pria itu. “Maksud kamu serius gimana sih? Aku serius kok.”
Gilang tertawa kecil dan meraih tangan Tif. “Aku tau kamu serius, makanya aku mau ajak kamu ketemu orangtuaku. Buat bicarain lamaran kita.”
Tangan gilang yang lain meraih ke dalam saku jaketnya dan mengeluarkan sekotak beludru berwarna biru gelap. Pria itu membukanya dan menghadapkan sebuah cincin pada Tif. “Aku mau kita nikah, kapanpun saat kamu siap.”
Mata Tif terbelalak. Tuhan seperti menjawab permintaannya untuk mengakhiri ini secepat mungkin tapi ia tidak menyangka pria b******n ini melamarnya saat umur berkencan mereka belum lebih dari tiga bulan.
“Lang, kita baru aja menjalin hubungan.” Ujar tif membuat bahu pria itu menurun dan sedikit kecewa. “Eh tapi bukan maksud aku ga mau nikah sama kamu. Aku mau tapi apa ga sebaiknya kita tunangan dulu?” tif buru-buru mengoreksi perkataannya sebelum pria itu salah mengartikan maksudnya.
“Jadi kamu mau?” binar bahagia di mata gilang terpancar.
Tif mengangguk. Pernikahan akan memakan waktu lama untuk menyiapkan segalanya dan akan merepotkan untuk melakukan prosesnya. Sementara pertunangan bisa dilakukan dengan cepat.
“Tapi aku mau pertunangan ini di adakan besar-besaran. Biar semua orang tahu kalo kamu serius sama aku, Lang. masalahnya, saat ini karir aku belum stabil dan tabungan aku belum cukup. Aku masih harus bayar sewa apartemen dan yang lainnya. Aku ngga ada uang untuk bikin pesta semacam itu di waktu sekarang-sekarang. Kita undur aja tahun depan, siapa tahu tabunganku udah cukup.” Tif berpura-pura memasang wajah sedih untuk memancing simpati pria itu. tabungannya sudah lebih dari cukup untuk mengadakan pesta pernikahan sekalipun tetapi ia tidak sudi mengeluarkan uang sepeserpun untuk laki-laki itu.
“Kamu ga usah khawatir, ga perlu pikirin biaya apapun. Aku yang tanggung semua. Aku akan bikin pesta termewah untuk kamu. I love you, sayang.”
Tif tersenyum mendengar itu, tangannya terulur di atas meja untuk meraih wajah Gilang dan mengusapnya seolah-olah ia benar-benar mencintai pria itu. “Love you too.”
Jika semua orang dapat melihat ekspresi bahagia Tif terukir di wajahnya maka kemampuan berakting wanita itu semakin bagus karena jauh dalam lubuk hatinya ia ingin menguliti pria itu sekarang juga. Mengucapkan cinta pada seorang wanita yang baru ia kenal beberapa bulan dan ingin menikahinya secepat itu. oh, dasar pria b******n. Tif menyembunyikan dengusannya saat ia memikirkan itu.
Jika benar mereka akan bertunangan sebaiknya pertunangan itu di lakukan dalam waktu dekat sebelum perutnya terlihat membesar dan membuat orang-orang curiga. Tif akan membujuk pria itu untuk mengadakan pesta pertunangan secepatnya.
=-=
Gilang sudah datang pagi-pagi sekali untuk menjemput Tif. Hari ini adalah hari dimana pertemuan itu akan terjadi. Perkenalan antara calon menantu dan mertua serta membicarakan detail pesta pertunangan mereka berdua.
Mereka berdua tiba di sebuah rumah mewah berlantai dua, rumah kediaman orangtua Gilang. Tif menyembunyikan senyum gugupnya. Walaupun ini hubungan pura-pura tetapi ia tetap akan menghadapi orangtua dari seorang pria yang berkencan dengannya. Ia harus mengambil hati mereka untuk melanjutkan hubungan ini ke tahap berikutnya, bukan?
Gilang mengusap bahu dan tangannya. “Kamu ga usah khawatir, mereka akan suka sama kamu. Tenang aja.” Tif memaksakan seulas senyum di wajahnya dan mengikuti Gilang masuk ke dalam rumah tersebut.
Saat mereka menginjakan kaki ke dalam ruang tamu, ia di sambut oleh seorang wanita paruh baya yang tersenyum dengan hangat. “Halo, kamu pasti Tiffany ya?” Wanita itu memancarkan senyum ramah yang tulus dari hati saat menyambut kedatangan putranya bersama seorang gadis.
“Iya tante, perkenalkan saya Tiffany.” Tif mengulurkan tangannya pada wanita itu yang di balas dengan pelukan. “Gilang udah cerita banyak mengenai kamu. Ga usah sungkan sama tante ya. Ayo kita masuk ke dalem, papanya Gilang sedang di ruang tv.” Ibu gilang meletakkan tangannya di lengan tif dengan lembut. Tif dibawa menuju tempat dimana ayah Gilang sedang duduk bersantai dengan segelas kopi di tangannya. Pandangannya masih terfokus pada layar besar di ruangan itu.
“Pah, udah dulu nontonnya ini ada tamu.” Ucap ibunya gilang pada pria itu yang masih tidak menyadari kehadiran mereka di ruang tv nya.
Laki-laki yang sebagian rambutnya beruban itu mendongak dan mengalihkan perhatian dari TV pada Tif. “Oh, ada tamu.” Lelaki itu bangkit dari sofanya dan mengulurkan tangan pada Tif untuk berjabat tangan. “Saya papanya Gilang.”
“Halo om, saya Tiffany.” Tiff membalas uluran tangan pria itu. Untuk ukuran pria berumur enam puluh tahunan, lelaki itu masih terlihat muda. Terlepas dari rambutnya yang sudah terlihat memutih. Gilang mewarisi wajah tampan itu dari ayahnya, rupanya. Ada sesuatu dari wajah mereka yang mengingatkan tif pada regan, tentu saja, karena mereka bersaudara. Tetapi, charisma ketampanan mereka berbeda dengan yang di miliki regan. Jika gilang dan ayahnya memiliki charisma tampan yang memikat, regan sebaliknya, pria itu memiliki charisma tampan yang gelap. Sehingga, membuat orang berpikir dua kali untuk mendekatinya. Walau pun ia membuat semua wanita yang melihatnya itu penasaran dan ingin mendekat.
Perkenalan singkat berjalan dengan lancar sejauh ini, tif tidak merasa tertekan lagi karena sudah melewati masa-masa yang ia anggap menegangkan. Saat ini kedua orang tua Gilang sudah terbukti menerima Tif di dalam keluarganya. Atau lebih tepatnya, ke dalam rumahnya. Karena, ekspresi ibu gilang selanjutnya tidak seperti yang tif perkirakan sebelumnya.
Setelah Gilang mengutarakan maksud dan tujuan ia membawa Tif ke rumahnya, kedua orangtuanya diam dan saling berpandangan. Ibu gilang terlihat khawatir sedangkan ayahnya tidak bereaksi apa-apa. Tadinya tif pikir, ayah gilang bingung karena tidak mengatakan apa pun tetapi sekarang ia yakin laki-laki itu memang tidak bereaksi apa-apa terhadap perkataan Gilang atau mungkin pria tua itu tidak tahu harus mengatakan apa pada permintaan anak tunggalnya itu.
“Ma?” Panggil Gilang menyadarkan ibunya.
“Eh, iya, hm sebentar ya. Mama ambilkan lagi cemilan ya sayang.”
Ibunya Gilang melenggang pergi bergitu saja ke dapur, Gilang meremas tangan Tif dan ia bangkit mengikuti ibunya.
*
“Ma, kok mama gitu reaksinya, mama ga setuju sama pacar Gilang yang sekarang?”
Gilang bertanya, sambil berbisik menurunkan nada suaranya karena khawatir tif akan mendengar percakapan mereka, begitu mereka tiba di dapur dan memastikan Tif tidak dapat mendengar percakapan mereka.
“Sayang, mama bukan ga setuju. Tapi apa ini ga terlalu cepet buat kamu?” Ibunya memandang gilang dengan raut wajah cemas. Tangannya memegang bahu anak itu untuk bertanya lebih serius. “Kamu ngga mau memikirkan ini lebih lama?”
Gilang menghela napasnya. Ia tahu orang tuanya khawatir karena kesalahan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Tapi, bukan berarti ia akan melakukan hal yang sama lagi kali ini. Maka dari itu, gilang berusaha meyakinkan lagi ibunya mengenai niatnya kali ini. “Ma, aku yakin sama tiffany. Aku ga mau nunda terlalu lama dan akhirnya aku yang menyesal jika sampai aku kehilangan dia.”
“Maksud mama, kamu kan baru aja batal nikah beberapa bulan lalu. Apa yang bakal orang-orang bicarakan jika kamu udah mau nikah lagi sekarang?” Ibu gilang akhirnya mengutarakan kecemasan yang ia pikirkan sejak tadi pada putranya.
“Aku ga bilang mau nikah sekarang-sekarang, aku mau adain pertunangan aja ma. Buat kasih tau orang-orang bahwa hubungan dia dan aku semakin serius.” Lebih tepatnya, untuk mencegah regan merebut wanita itu darinya. Karena ia tahu, jika tif tidak segera ia ikat ke dalam hubungan pertunangan, celah regan untuk masuk dan merusak hubungan mereka masih besar. Ia tahu seperti apa sepupunya. Walau pun terkadang sepupunya itu tidak tertarik untuk bersenang-senang dengan banyak wanita yang berbaris untuk melemparkan diri padanya. Tetapi, ia tahu regan memiliki ketertarikan lebih pada tiffany. Wanita yang saat ini ia kencani. Maka, untuk menghindari itu terjadi, ia harus mengambil satu langkah di depan sepupunya itu.
Ibu gilang, Widya, terlihat khawatir dengan anaknya. Ia takut akan melakukan kesalahan yang sama dua kali seperti beberapa bulan yang lalu. Pasalnya, pernikahan anaknya yang batal dilakukan beberapa bulan lalu membekas di ingatan teman-temannya. Semua teman-temannya mengasihani Widya karena anaknya melakukan hal semacam itu. Membuat widya malu dan tidak berani muncul lagi di acara pertemuan bulanan yang selalu rutin di adakan sebagai acara kumpul-kumpul mereka.
“Kalo mama takut aku kabur lagi seperti waktu lalu, mama bisa sita semua harta aku. Aku serius kali ini.”
Ibunya menghela napas berat, “Ya sudah, kita bicarakan lagi baik-baik sama papa ya.”
*
Di perjalanan pulang suasana hati Gilang sangat baik. Terlihat dari wajahnya yang tersenyum tiada henti hingga membuat tif takut pria ini akan menjadi gila.
“lang kamu kenapa sih kok dari tadi senyum-senyum sendiri.”
Pria itu tidak menoleh dari jalanan di depannya, tetapi ia menjawab. “Aku seneng akhirnya mama setuju untuk adain pesta pertunangan kita.”
Tif terdiam mendengar jawabannya.
“bahkan mama bilang, semuanya dia yang akan urus karena aku bilang kamu sibuk sama kerjaan kamu dan mungkin butuh event planner untuk ngurus semua ini.”
“Kamu yakin mama kamu ga keberatan kalo aku ga ngurus ini sama sekali?”
“Udah kamu tenang aja, semuanya pasti akan beres.”
“Kita sewa event planner aja, jangan mama yang urus semua.” Tif tentu saja merasa tidak enak jika ibunya Gilang mengurus acara ini semua. Ia akan merasa bersalah nantinya.
“Ya udah, nanti aku ngomong lagi sama mama ya.”