Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena rasa takut akan keputusan yang akan ia buat. Ia tahu waktunya habis. Ia tahu Abimana pasti sedang menghitung menit terakhir dengan tatapan dingin dan penuh kalkulasi itu. Akhirnya, dengan napas berat, ia melangkah keluar kamar. Langkahnya pelan tapi pasti. Ketika tiba di ruang kerja, ia mendapati pria itu sudah menunggu. Duduk di sofa sambil membaca laporan, seperti tidak terjadi apa-apa. Abimana mendongak, tatapannya tajam. “Sudah memutuskan?” Tiara berdiri di tengah ruangan, tubuhnya tegang. Napasnya berat. Ia menatap Abimana dengan sorot mata waspada, seolah bersiap diserang. “Saya setuju menikah dengan Bapak,” ucapnya akhirnya. Abimana tidak menjawab. Ia hanya menunggu, alisnya sedikit terangkat. “Tapi saya punya satu syarat,” la