Tiara masih belum bisa bernapas normal. Kata-kata “menikah dengan saya” terus terputar dalam kepalanya, seperti ledakan tanpa henti. Namun sebelum ia sempat menyusun respons, Abimana menggerakkan tangan. “Kemari,” ucapnya. Suaranya datar, tapi mengandung tekanan yang tidak bisa dianggap ringan. “Ada satu hal yang harus kamu lihat.” Tiara mengernyit. “Apa maksud Bapak?” “Jangan buat saya ulangi,” ujar Abimana, masih duduk santai di kursinya. Tapi sorot matanya tak santai sedikit pun. “Mendekat, Tiara.” Tiara menggeleng pelan. “Saya lebih baik—” “Kalau kamu tidak mau datang ke saya,” potong Abimana dengan nada lebih berat, “maka saya yang akan datang padamu. Tapi, dengan cara yang tidak akan kamu sukai.” Napas Tiara tertahan. Matanya melebar, tubuhnya kaku. Ia tahu betul pria di hadapa