Sementara itu, di ruang baca lantai dua, Abimana masih terduduk dalam diam. Whiskey di meja tidak disentuh. Napasnya perlahan mulai kembali stabil, tapi otaknya belum. Nama itu kembali bergema dalam kepalanya. Dan tubuhnya masih bereaksi, meski wanita itu kini terkurung dalam kamar. Bukan karena rayuan, bukan karena usaha apa pun, tapi karena hanya wanita itu yang bisa menyalakan api dalam dirinya. Seseorang mengetuk pelan. Surya masuk dengan membawa dokumen. Wajahnya tetap tenang seperti biasa. “Laporan dari divisi properti, dan—” “Taruh saja di meja,” potong Abimana. Ia tidak menoleh. Surya meletakkannya tanpa suara. Namun sebelum berbalik pergi, ia berkata hati-hati, “Ada info tambahan. Tentang latar belakang gadis itu.” Abimana menoleh cepat. “Tiara?” “Ya. Dia tinggal berpindah-