Tangan Abimana bergerak tenang membalik halaman demi halaman berkas di meja. Tiara masih terduduk di pangkuannya, tubuhnya kaku, pipinya merona hebat. Jantungnya berdetak tak karuan setiap kali tubuhnya bergesekan dengan d**a bidang Abimana yang begitu dekat. “Mas… aku… aku mau turun,” bisiknya dengan nada hampir memohon. “Diam,” sahut Abimana pelan, tanpa menoleh. Jemarinya tetap sibuk menandai angka di atas kertas, seakan-akan posisi Tiara di pangkuannya bukan hal yang aneh sama sekali. Tiara gelagapan, ia menunduk, menggenggam ujung rok dengan gugup. Tubuhnya terasa panas, napasnya pendek. Baginya, detik demi detik adalah siksaan. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Tok. Tok. Tok. Tiara langsung tersentak, tubuhnya menegang. “Mas, aku harus turun. Cepat!” ucapnya panik. Namun Ab

